Raymond Parker

101 3 4
                                    



Setelah mengguyur badannya tepat tengah malam, Raymond menyemat handuk lalu berjalan menuju lemari ek di sudut kamarnya. Ia meraih celana khaki hitam sambil terus memilah kemeja mana lagi yang harus ia kenakan agar tampak apik di persidangan. Pilihannya jatuh pada warna krem. Pilihan yang payah. Hitam di bawah matanya belum hilang meski sudah dibilas sabun cuci muka berpuluh-puluh kali. Wajahnya tetap kusut, minim ekspresi seolah tidak punya selera untuk hidup. Lalu, dia memilih kemeja krem untuk menambah kesan bahwa ia memang tidak punya warna di hidupnya. Pria itu sungguh tidak mengerti persoalan mode.

Pagi-pagi sekali Raymond sudah menuruni anak tangga dengan tumpukan berkas di tangannya. Bahkan roti lapisnya belum sempat ia comot dan lagi susunya ia ganti dengan kopi hitam tanpa gula. Raymond memang selalu disiplin soal ketepatan waktu. Satu detik lebih awal dan satu detik terlambat selalu punya pengaruh besar terhadap keputusan di masa depan. Tidak heran jika hakim senang-senang saja jika ia yang menjadi pengacara dalam persidangannya. Pria itu tidak suka basa basi. Ia tidak pernah tertarik sengaja melakukan pendekatan dengan pekerja hukum di pengadilan. Baginya, ia bukan teman yang baik untuk semua orang, dan semua orang bukan teman yang baik untuknya.

Malamnya, laki-laki itu pulang larut dengan wajah kusam sangat kelelahan. Tapi ia masih saja senang meladeni tumpukan kertasnya. Ia belum mau menyentuh kasurnya, belum tergoda untuk tepar meski sebentar. Berbekalkan secangkir kopi hitam, ia berani menembus malam berkencan dengan kertas-kertas itu. Banyak sekali yang ia corat-coret. Aku yang sudah suntuk melihat rutinitasnya menyiksa diri itu mendekat lalu menegur.

"Apalagi, eh?"

Ia hanya melirikku sebentar, "Masih mengerjakan mosi, yang kemarin-kemarin ditolak. Sialnya lagi banyak banding yang menunggu dan besok pemeriksaan juri."

Aku hanya memijit pelipis mendengar alasannya.

"Pantas saja pacar-pacarmu lari." Ia mengernyit. Aku melanjutkan, "Pacarnya lebih suka meladeni kliennya dibanding dirinya."

"Setidaknya kau tidak lari," ujarnya menyeringai tipis.

"Aku bukan pacarmu." Aku cepat-cepat membantah argumennya.

Tanpa sedikit pun rasa hormat kepada si pria sok sibuk, aku mendudukkan diri di meja kerjanya. Tanganku dengan iseng mengambil kertas acak yang berserakan di meja. Kubaca kata per kata mencoba memaknai tulisan seperti apa yang selalu membuat onyxnya betah tidak tidur seharian.

"Kasus pembunuhan lagi, eh?" ia hanya mengangguk.

"Jadi, sekarang sumber uangmu hasil dari memperkarakan kematian seseorang eh? Pengacara sering kali memang bajingan ya."

Aku tertawa mengejeknya. Profesi Raymond bukan sesuatu yang ingin dan akan kukerjakan selama hidup. Ternafkahi karena masalah orang lain terasa lucu saja untuk dijalani. Mencoba menuntaskan masalah orang lain dengan menambah masalah untuk diri sendiri bukan hal waras yang mau kukerjakan. Entah Raymond menganggap seperti apa pekerjaannya. Pikiran kami memang sering berselisih paham. Pendapat kami selalu ada untuk diperdebatkan satu sama lain.

"Kau salah, nona," sang pria menatapku. Satu seringai kembali terpatri di wajahnya. Ia meneguk kopi hitamnya sebelum mengucap pengakuan yang membuat alisku mengernyit karena kebingungan.

"Menangani kasus ini justru membuatku harus kehilangan pundi-pundiku."

"Kenapa? Takut memeras klienmu? Atau menunggu dibayar tunai saja saat kasusnya selesai?" tanyaku.

"Klienku seorang jompo sakit-sakitan. Ia tinggal di rumah pensiunan tentara. Pesangon pensiunnya tidak cukup untuk menghidupinya apalagi untuk membayarku. Lagipula, uangnya sudah habis untuk pembunuhan berencananya tempo hari."

"K-kau memihak seorang pembunuh?"

Teman PengacaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang