First Step

4.6K 426 75
                                    

Sorak-sorai langsung memenuhi ruang saat aku menceritakan perihal obrolan bersama Papa. Tiga perempuan ini tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika tahu aku berhenti untuk berlari dari kenyataan. Mereka berkali-kali mengucap syukur, karena akhirnya aku mau kembali ke Jakarta.

Dengan perasaan gamang aku juga mengabari Reinard. Ya, tentu saja aku tahu nomor ponselnya karena tadi dia sempat datang kemari untuk meminjam ponselku. Tindakannya itu ternyata untuk menyimpan namanya di daftar kontak. Sungguh pandai.
Sisa malam aku habiskan dengan merenung di balkon. Ada banyak hal yang terjadi hanya dalam waktu singkat. Pikiranku kini diisi penuh oleh bayang-bayang mendiang Mama.

Entah Mama bahagia atau tidak atas kekalahanku dalam mempertahankan ego di awal. Hanya saja aku memang tidak bisa terus-menerus melukai hati Papa, meski sebenarnya aku sendiri masih meringis setiap kali ingat bahwa ada seorang wanita di sisi Papa.

Kutatap bulan yang bercahaya pucat, sembari berharap terangnya selalu mampu menerangi hatiku agar tidak salah dalam memutuskan sesuatu, dan terjebak dalam kegelapan. Setelah pagi tiba, aku juga harus menyiapkan diri atas perubahan keadaan. Ada Papa, Tante Shila, dan Reinard yang harus aku pikirkan.
Ponselku berdering, segera kuambil dari meja, lantas mengerutkan kening saat tahu siapa pemanggilnya.

Tadinya aku enggan menjawab, tapi percakapan kami tadi sore melintas di benak. Dia ingin kesempatan, hanya itu. Dan langkah pertama yang harus diambil adalah merespons niat baiknya yang mau bicara denganku.

"Lagi banyak pikiran, ya, makanya belum tidur?"

Ck! Laki-laki ini tidak ada basa-basinya dulu.

"Kamu sendiri belum tidur, Rei."

"Masih sibuk mikirin kamu, gimana aku bisa tidur, Ra?" Aku berdecak, tapi mau tak mau juga tersenyum mendengar gombalan Reinard. "Makasih buat kesempatan yang kamu kasih," sambungnya, yang entah mengapa malah berhasil membuatku merasakan sesuatu.

"Kalau pada akhirnya kita nggak bersama gimana, Rei?"

"Setidaknya aku pernah berjuang untuk memperbaiki kesalahanku empat tahun lalu karena nggak langsung cari kamu."

Aku memang masih bimbang atas rasa pada Reinard. Cinta atau tidak, aku belum tahu. Tapi ada satu hal yang bisa aku pastikan, mengobrol dengannya itu bisa membuat nyaman. Keresahanku perlahan menguap hanya karena mendengar suara Reinard saat ini. Selama empat tahun aku juga sering memikirkannya, hanya saja tidak pernah berharap bahwa dia akan datang. Karena aku sadar, aku sendiri tidak punya hak untuk menuntutnya bertanggung jawab atas malam penuh gairah itu.

"Ra, aku tahu ini kalimat basi, tapi aku beneran kangen kamu. Aku kangen kehidupan kita waktu itu."

Mataku terpejam, menghayati sebuah rasa yang kini aku sadari ternyata ada di hati. Bisakah kalau aku juga mengatakan kangen pada Reinard? Pembicaraan kami malam ini telah berhasil menyentuh hatiku.

"Apa kamu pernah ingat malam itu, Rei?"

Helaan napas panjang Reinard terdengar. Aku membuka mata sembari menunggu jawabannya. Entah apa yang aku harapkan dengan melontarkan pertanyaan barusan. Tapi jika tahu dia pun tidak bisa melupakan malam itu sama sepertiku, mungkin aku akan berpikir bahwa aku cukup penting untuknya.

"Setiap malam aku selalu mengingatnya, Ra. Kamu dan malam itu adalah ingatan terindah aku."

"Kamu menyesal ngelakuin itu sama aku?"

"Satu-satunya hal yang aku sesali sampai saat ini adalah terbangun tanpa kamu di sisiku."

Bolehkah aku percaya dengan kata-katanya? Karena aku merasa tersentuh. Di setiap malam juga aku sering membayangkan bagaimana reaksi Reinard waktu itu. Aku sering bertanya-tanya apakah dia merasakan pedih walau sedikit ketika terbangun dan tidak mendapatiku di sisinya. Sama, seperti aku yang membawa perih saat harus melarikan diri, sebab tidak mau larut dalam malu.

Conquering Lyra (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang