Are You Kidding Me?

2K 263 49
                                    

Dari awal aku memang percaya bahwa Reinard laki-laki baik meski beberapa kali sempat berpikir negatif kalau dia bersikap manis pada semua perempuan. Dengan kedatangannya mencariku di Bali, hingga sekarang kami bisa duduk di mobilnya berdua, aku semakin yakin bahwa dia bisa kuajak berjuang mendapatkan restu Papa.

Pengalaman cintaku memang sangat minim, bahkan hanya pernah sekali berciuman dengan Hadi. Oh, kalau Reinard aku tidak ingat berapa kali kami berciuman malam itu. Mantan pacar pun  bisa dihitung jari tangan. Untuk itu, bisa dipastikan aku bukanlah penjelajah hati laki-laki yang pada akhirnya mengenal dengan baik tentang dunia mereka.

Namun, aku percaya ada banyak waktu untuk mengenal sifat dan kebiasaan-kebiasaannya sebelum kami terikat oleh janji suci. Ada banyak waktu untuk kami saling mengenal satu sama lain agar nanti tidak ada yang merasa dibohongi oleh hal-hal yang ada di hidup kami. Aku juga ingin memanfaatkan waktu yang ada untuk tidak pernah membiarkan rasa sesal memasuki hati.
Sesal karena menumpukan harapan padanya sebagai masa depanku dan tidak menjelajahi hati lain untuk mempertimbangkan mana yang lebih baik.

Jika dia kembali setelah punya kesempatan untuk tidak pernah datang lagi, bukankah itu bisa didefinisikan sebagai keseriusan? Ya, semoga saja tanda keseriusannya dan kesempatan yang aku beri bisa bersatu membentuk hal indah yang akan kami kenang sepanjang masa.

“Ada aku di sampingmu dan kamu masih bisa ngelamun?”

Sentuhan lembut di pipi dan sindiran halus itu menggerakkan kepalaku untuk menoleh. Tidak terlihat kesal, Reinard malah tersenyum manis sebelum kembali fokus menatap jalan.

“Ngelamunin masa depanku.”

“Oh, ya? Coba cerita, aku mau dengar.”

Dia terdengar sungguh-sungguh.

“Lagi bayangin calon suamiku.”

“Hah?! Siapa?!”

Kali ini Reinard sedikit terkejut. Raut wajahnya agak khawatir. Sentuhan di pipiku jadi berpindah ke telapak tangan, diremas pelan, tapi terasa ada ketakutan di sana.

“Ra, kamu udah punya calon suami? Kenapa kamu nggak ada cerita ke aku?”

Melihat dia yang tidak bisa terus-terusan menatapku karena harus melihat jalanan juga, membuatku ingin tertawa. Ekspresinya itu seperti campuran rasa cemas dan kesedihan. Sebuah ekspresi yang mampu menghantarkan hangat dan senang sampai aku nyaris lupa pernah melarikan diri darinya.

“Ra, jawab,” pintanya disertai ekspresi memelas.

Untuk saat ini aku masih bisa menahan senyum dan tawa. Tapi, dibandingkan dua hal itu, kepalaku diisi oleh pertanyaan setakut itukah dia jika kami tidak bersama atau apa aku sangat berharga untuknya. Ah, iya, ada satu hal lagi yang sebenarnya berlarian di kepalaku sejak pertemuan kami di Bali ....

Bagaimana hidup Reinard tanpaku selama empat tahun? Dia sehat, tentu saja. Yang ingin kuketahui adalah bagaimana kabar percintaannya. Apakah dia pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain? Apakah ada perempuan lain yang menghangatkan ranjangnya?

“Ra!”

Ah, sial. Pikiranku melantur.

“Ya, Rei, aku dengar. Nggak usah teriak.”

“Kamu dari tadi nggak jawab.”

“Karena yang aku lagi pikirin adalah kamu sebagai masa depanku.”

Lalu ekspresinya berubah. Tatapan mata itu melemah bersamaan dengan senyum tipis yang menyempurnakan ketampanannya. Diberi pemandangan seperti ini, aku jadi ingin meremas tangan Reinard karena gemas.

Conquering Lyra (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang