2

11 1 0
                                    

"Dik?" Patrick yang berdiri di hadapan Christa itu memanggil beberapa kali. Lantas, ia duduk di sebelahnya. Gadis itu gemetar ketakutan dengan tubuh memeluk lutut. Baru saja, dirinya hendak merangkul menenangkan gadis itu. Tiba-tiba Geo menarik tangan Christa dengan kasar—hampir menyeret. Sadar dengan tatapan ngeri Patrick, ia pun berkata, "Ah, dia tidak akan terbangun dengan suara bisik-bisikmu itu."

Patrick berdiri, mencekal Geo. Sambil memapah Christa, ia berkata, "Aku bingung ada perempuan sekasar dan sekaku dirimu."

Geo hanya mengendikan bahu. Ia tidak punya waktu memikirkan omongan orang lain, apalagi dalam kondisi seperti ini. Dirinya lebih sibuk memikirkan pilihan tetap tinggal dan berkeliling mencari orang-orang seperti Christa, atau pergi ke kota yang barangkali kondisinya lebih baik. Namun, untuk saat ini ditambah pertemuannya dengan Christa, menambah peluang untuk pilihan pertama. Lagipula kemungkinan bahwa warga kota baik-baik saja cukup kecil—mengingat tidak adanya bantuan atau siaran TV mengenai peristiwa ini.

"Argh!" teriak Geo saat kakinya tersandung batu.

"Ada apa, Tuan Putri?" Geo mundur beberapa langkah, lalu meninju perut lelaki itu.

Sudah dua jam mereka berjalan, menyusuri kota. Mayat ditemukan dimana-mana, tak ada tanda-tanda kehidupan. Mereka pun memutuskan untuk beristirahat di supermarket yang sudah ditinggalkan di ujung jalan.

Namun, tiba-tiba terdengar suara tembakan revolver. Sontak Patrick dan Geo pun langsung lari ke belakang dinding rumah. Karena panik Christa yang setengah sadar pun ambruk.

Dari ujung jalan, keluarlah seorang lelaki yang menggenggam revolver itu. Sementara di sebelahnya, terjatuh pria paruh baya dengan peluru di kepalanya. Dari kejauhan ia melihat seorang gadis yang terbaring tanpa daya. Familiar.

"Astaga, Christa!" teriak lelaki itu dari kejauhan, ia berlari cepat setelah memastikan gadis itu.

Geo yang bersembunyi dibalik dinding lekas mengambil kesempatan saat lelaki itu terlihat lengah dan sibuk menyadarkan Christa.

"Kai?" tanya Christa pelan. Memecah ketegangan karena pisau Geo yang menahan leher lelaki itu.

"Geo memang kasar dan kaku, tapi hatinya lembut seperti kapas!" seru Patrick lalu merangkul pundak lelaki itu sambil menepuk-nepuknya.

"Lepaskan," ucap Kai pendek.

"Kai, kau tidak boleh seperti itu," ucap Christa sambil mencoba untuk bangun dan berdiri. Patrick yang melihat Christa kesusahan pun langsung membantu.

Kai memutar bola mata. "Kau memang suka memeluk tubuhku, ya?"

Geo mengendikan bahu, lalu menyayat tipis leher Kai. "Ini tanda, aku dapat dengan mudah menebas lehermu bahkan dengan pisau dapur."

"Sekarang pun tak masalah," ucap Kai santai lalu menarik Christa dan memapahnya.

Geo mendecih kesal. "Kalian pergi saja. Aku dan Christa baik-baik saja," ucap Kai dingin.

Patrick dan Geo pun mematung seketika.

"Oke, baiklah," ucap Patrick canggung, "ayo, George! Kita cari mie instan lagi."

"Georgina," ucap Geo mendelik.

Namun, Christi mencekal lengan Patrick. "Tunggu!"

"Aku yakin, aku dapat membantu," ucap Christi pelan.

****

A/n:

Sorry partnya super pendek, udh lama gak nulis, kaku.

Boleh kritik dan sarannya di komentar;)

see you next time

The Song of DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang