BAGIAN 1 | RECRUITMEN

24 0 0
                                    

Panik dan bingung.

Orang-orang berpakaian militer terlihat berlarian kesana-kemari. Bunyi dentuman terdengar, disertai asap hitam tebal yang mengepul ke udara.

"Astaga! Sial!" Kata-kata itu keluar dari mulut seorang pemuda berambut oranye. Ia cemas, kalut, sehingga spontan memegang kepala dengan kedua tangannya.

Beberapa personel militer terlihat sigap.
Rona mata mereka terlihat mengkilap.
Sambil menggerak-gerakan tangan, mereka menulis sebuah tanda dengan jari-jari mereka. Garis-garis bercahaya muncul, memuat beragam kode dan simbol yang membekas di udara.

Tak lama, selang yang berasal dari salah satu pompa air bekerja, bergerak sendiri, naik ke atas kobaran api, lalu, menyemburkan air deras hingga kemudian memadamkannya.

Wajah-wajah yang tadinya tegang, sekarang berubah menjadi tenang.

"Maaf, Kau dinyatakan gagal," kata seorang Instruktur yang berada di depan pemuda yang cemas tadi, wajahnya terlihat dongkol.

"Tolonglah Pak.. berikan aku satu kesempatan lagi.." Pemuda itu berusaha memelas.

Sambil menunjuk ke arah tempat yang barusan terbakar, instruktur itu berkata dengan kasar, "apa kau bercanda!? kau baru saja menghancurkan sebuah tank!"

Dengan perasaan menyesal pemuda itu menjawab, "ma .. maafkan aku Pak, itu tidak disengaja."

Instruktur itu pun membentaknya, "Tidak ada alasan!"

Pemuda itu tertunduk lesu, ia merasa tidak ada lagi harapan. Suara-suara bergumam di belakangnya, membicarakan kejadian yang baru saja terjadi. Sebagian percakapan mereka masih sempat masuk ke telinganya. "Dasar R-Direct, seharusnya ia tahu diri," yang lain menyambung, "benar," dan beberapa orang lagi berkata, "seharusnya jangan mendaftar dari awal."

Ia sudah terbiasa dengan nada-nada merendahkan seperti itu. Seorang R-Direct seperti dirinya, memang kerap kali dianggap remeh. Karena memang seperti itulah persepsi yang ada di Negaranya. Namun kali ini, kata-kata itu benar-benar masuk ke dalam batinnya.

Instruktur itu lalu memerintahkan pemuda itu untuk mengemasi barang-barangnya dan pulang. Dengan wajah kecewa pemuda itu melangkah pergi, mengemasi barang-barangnya, dan pulang. Persis seperti yang diperintahkan instruktur itu.

Dua hari setelah kejadian itu, pemuda berambut oranye tersebut sedang berada di sebuah kafe yang terlihat nyaman. Kipas angin dari tembaga bergerak perlahan, membuat angin sepoi menerpanya. Ia duduk di salah satu sofa, dekat dengan jendela berukuran besar. Membuat ia bisa melihat hal-hal yang terjadi di luar kafe. Yaitu, orang-orang, kendaraan yang lalu lalang, serta, tanda lampu lalu lintas yang berganti warna dari merah ke hijau. Termasuk, selebaran politik yang bertebaran di jalan, layaknya rumput yang tumbuh menutupi trotoar. Beberapa orang memakai megafon, lengkap dengan atribut kelompok partai sedang berorasi di luar. Namun, tidak membuat pemuda itu sedikitpun tertarik, ia hanya melamun, memikirkan nasibnya ke depan.

Seorang pelayan mendekatinya. "Satu kopi dengan double espresso," katanya sambil meletakkan minuman yang di pesan. "Sudah beberapa hari ini kau terlihat murung terus, Erik," katanya lagi.

Pelayan itu kemudian duduk di depannya. Melipat kakinya yang ramping, berbalutkan rok mini ketat, dan stoking hitam. Ia mengenakan atasan kemeja putih berenda dengan lengan panjang, yang terlihat pas di tubuhnya, sehingga, menampilkan lekukan tubuh yang terlihat atraktif. Rambut hitamnya disanggul, dandanan tebal serta lipstik yang terlalu merah, menghiasi wajahnya. Nampan yang ia bawa, ia dekatkan lekat ke dadanya. Pelayan ini mengenal pemuda itu dengan baik, karena sudah menjadi pelanggan tetap di kafe itu sejak lama. Tidak ada salahnya untuk bertingkah peduli dengan pemuda itu, lagipula mereka berdua sudah saling mengenal.

ACT (PENDING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang