Kotak Kayu

159 5 0
                                    

Seperti layaknya seorang ibu. Ia tidak mungkin membiarkan anaknya terluka apalagi menanggung beban yang teramat besar. Begitu juga yang dilakukan oleh wanita paruh baya ini ia begitu menyayangi anaknya bahkan ketika anaknya berada didalam kondisi yang tidak wajar, antara hidup dan mati.

"Gimana dok? Apa sudah ada perubahan?" Tanya wanita paruh baya itu kepada seorang lelaki yang mengenakan setelan jas putih serta memegang stetoskop ditangannya. Lelaki tersebut menggelengkan kepala untuk memberikan tanda sebagai jawaban kepada sang ibu.

"Tapi masih ada kesempatan kan dok?, masih ada keajaiban untuk anak saya kan?" Sang ibu kembali bertanya.

"Kita berdoa saja, Bu. Keajaiban selalu ada, tapi untuk siapa saja kita tidak pernah tau" Jawab sang dokter dengan raut wajah minim harapan.

Lelaki itu kemudian keluar meninggalkan kamar, hingga tersisa sang ibu dengan anaknya. Suasana semakin menjadi haru ketika ia duduk disamping raga anaknya. Ia memegang tangan anaknya. Sembari berkata, "Nak, cepat sembuh ya. Ibu selalu berdoa untuk kesembuhanmu. Ibu menyanyangimu nak".

***

Malampun telah tiba. Perut sudah terasa kosong, karena sedari pagi karena berbagai aktivitas telah dilalui. Telah tersedia berbagai macam hidangan diatas meja makan. Nasi, lauk pauk, sayur dan tak lupa buah sebagai pencuci mulut. Hidangan yang seharusnya menggugah selera makan justru tampak tak ingin disentuh oleh ibu 3 orang anak itu. Ia hanya diam dengan tangan terpaku diatas meja.

"Bu, mau makan apa? biar Irwan yang ambilkan" Ucap seorang pria dewasa dengan perawakan tinggi, berkulit sawo matang lengkap dengan rambut cepak yang membuatnya semakin tampan.

"Ini makanan kesukaan Damar" Jawab sang ibu dengan air mata yang mulai menetes di pipinya.

"Bu, ayo makan" sahut Irwan dengan nada pelan

"Damar pasti suka sekali tiap ibu masak masakan ini. Damar pasti dengan senang hati menghabiskannya."

"Sudah lah, mau sampai kapan ibu begini? Ibu juga harus makan. Nanti ibu sakit" Timpal Irwan dengan mengambil nasi yang kemudian ia taruh di piring ibunya

"Biasanya di jam seperti ini Damar sibuk dan tidak sempat makan jadi ibu yang suapi dia. Damar . . . . . ."
Belum selesai sang ibu berbicara. Suara gebrakan meja terdengar di telinga.

"Mas sudahlah" Ucap seorang wanita berumur 18 tahun itu kepada Irwan

"Kalo Damar ikut makan disini, pasti dia tidak akan melakukan hal itu kepada ibu" Kata sang ibu dengan tatapan kosong dan air mata yang semakin menjadi-jadi.

"Damar terus Damar terus. Damar itu sudah mati bu, dia sudah mati"

Mendengar kalimat Irwan tersebut sang ibu mulai menangis dan berdiri dari tempat duduknya "Jaga mulut kamu. Adikmu itu belum mati. Dia masih hidup"

"Bu, ayolah aku dan Kayla ini juga anakmu. Kita perlu ibu, kalau ibu seperti ini terus kita semua bisa gila"

"Tapi, Damar juga anak ibu. Dia itu adikmu, kamu harus paham itu"

"Cukup bu, semenjak dia pulang dari Penggaron dia sudah mati bu, dia sudah mati"

"Diam kamu!" sang ibu dengan nada tinggi mulai menunjuk ke arah Irwan "Damar belum mati!" Tambahnya dengan nada yang semakin meninggi.
Sang ibu mulai berjalan pergi meninggalkan 2 anaknya yang berada diruang makan. Suasana masih terasa panas dengan Irwan yang kemudian melemparkan gelas kearah dinding ruang makan tersebut. Pyarrrr bunyi pecahan gelas yang menimbulkan bekas di dinding bewarna hijau itu.

"Mas, sudahlah. Aku juga bisa ikut gila kalau seperti ini terus" Ucap seorang gadis yang telah kita ketahui namanya sebagai Kayla.

"Kamu lihatkan Ibumu. Ini semua gara-gara Damar. Dia sudah mati, tapi Ibumu masih belum mau menerimanya. Kalau bukan karena alat alat itu dia sudah mati sejak 2 bulan lalu. Kalaupun dia memang belum mati. Sekarang biar aku bunuh saja si keparat itu" Irwan dengan emosinya yang tak terbendung mulai beranjak pergi dari ruangan bercat hijau tersebut.

Lingkar NisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang