EKA

3 1 0
                                    

Di saat kalian tersenyum bahagia, penuh hingar bingar kebahagian di antara tangisku. Tidakkah kalian sadar bagaimana cara mataku mengumpati kalian satu per satu? Tidakkah kalian paham jika air mataku turun sebab kalian?

Aku mungkin menangis dalam pandangan mata kalian, terlihat begitu menyedihkan dan lama bagai manusia tanpa tulang yang nampak menjijikkan pada lensa kalian. Tapi coba lihat ke dalam mataku, baca lebih dalam bagaimana aku tertawa pilu melihat cara kalian memperlakukanku.

Disini, di dalam hati ini, aku tertawa. Terpingkal-pingkal melihat kebodohan kalian yang otaknya sudah hilang terkikis benci. Nyaris sama denganku yang mati hatinya karena menyimpan dendam di dalam sana.

Lebih dari itu, rasa-rasanya aku tidak bisa lagi merasakan apapun lagi selain sakit hati, benci, dan dendam. Seiring waktu juga menyengat hidung bagaimana busuknya hatiku karena mendendam pada kalian terlalu lama.

Kalian berdiri disana, menatap rendah padaku yang mengucurkan air mata tiada henti. Memaki kalian dalam pakuan mata. Meminta semoga Tuhan membuat kalian celaka di esok hari.

Tidak!

Jangan berpikir aku seorang karakter baik hati disini. Aku antagonisnya. Hatiku busuk sama seperti caraku berpikir pada mereka yang merendahkanku. Jadi jangan pikir aku adalah seseorang yang baik hati dan penuh keramah-tamahan.

Aletta memang lemah.

Aletta memang penuh dengan tangisan.

Penuh dengan nanah hatinya.

Tapi Aletta Anela, penuh dengan dendam dan benci. Kalaupun ditelusuri, hati ini, hati seorang Altta Anela hanya dipenuhi dengan dendam pada manusia di dunia. Nyaris tak bersisa ruang sedikitpun untuk dirinya tidak membenci.

"Hahahah..., lihatlah, dia menangis," kamu, si kacamata putih menertawakanku. Menggiring kekehan yang lain agar membahana lagi tawa kalian di setiap sudut gudah kotor ini.

Kamu mendekat padaku, menarik rambutku, menyunggingkan senyuman sinis yang tidak ada bandingannya denganku.

"Menangislah, aku suka melihatmu menangis," ujarmu lalu menumpahkan air berwarna merah tepat diatas kepalaku. Kamu juga mendecih. Dan kau pikir aku tidak bisa melalukannya?

Diam-diam aku tertawa dalam hati, menertawakan manusia rendahan seperti kalian dengan apik dari dalam sana. Sambil sayup-sayup do'a paling buruk untuk kalian kujabahkan pada Yang Berkuasa.

"Mau memukulinya?" Tanya dia si kacamata yang tak lain. Gina Cantika, satu-satunya manusia yang kudoakan hal paling buruk. Dia berkacak pinggang sembari menyugar rambutnya. Tertawa paling girang bersama empat temannya.

"Oh, tentu saja. Kita punya mainan bagus sekarang, dan harus dimainkan sebaik mungkin," empat manusia lainnya mendekat. Tersenyum sombong menatapku dengan beberapa benda ditangan masing-masing. Siap mendarat pada tubuhku.

Bagh 

Bugh 

Bagh 

Bugh..

Terus berulang sampai Gina memberi perintah untuk berhenti memukuliku. Berniat untuk mengunci diriku di gudang sekolah yang pengap tanpa cahaya. Tapi sebelum mereka benar-benar mengunciku sendiri disini, mereka tidak akan lupa untuk memberi acara penutup.

Meludah dihadapanku seolah aku sampah. Mereka terbiasa melakukannya, tapi aku tak terbiasa menerimanya. Aneh bukan? Atau memang sudah sewajarnya aku tidak terbiasa?

Pintu ditutup, di detik yang sama pula aku mengusap air mataku. Menggiring tawa merendahkan keduanya dengan lelehan air mata yang ternyata tidak bisa berhenti turun.

"Menjijikkan!"

Kulepas ikatan tali yang menjerat tangan dan kakiku, tersenyum sinis setelah puas menertawakan keduanya.

"Gina, Vita, Andin, Nofa, Devi, mari bermain denganku nanti malam,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang