Part 3

858 169 18
                                    

Arthur bangkit berdiri untuk menjabat tangan Gerald, ayahnya Shana sekaligus rekan kerja Arthur. Gerald sengaja pulang lebih awal karena Arthur minta ketemuan. Akhir-akhir ini memang Arthur sering menghubungi Gerald dalam penyelidikan mereka soal Pak Ilham. Penyelidikan itu sempat tertunda beberapa waktu lamanya.

"Jadi gimana, kamu sudah baca email hasil pencarian anak buah saya?" tanya Gerald pada Arthur.

"Sudah, Om. Tapi saya rasa data yang didapatkan palsu. Mana mungkin dia tidak melakukan transaksi apa-apa selama beberapa waktu terakhir." Arthur mengetukkan jari ke ponselnya.

"Saya rasa juga begitu. Mungkinkah dia punya identitas lain?" tanya Gerald.

Arthur menggeleng, dia tidak pernah terpikirkan soal hal itu. Bukankah sulit untuk membuat identitas baru? Kalau pun bisa, pasti ada jejaknya.

"Yah, memangnya Pak Ilham posisi di mana sekarang?" Shana yang juga ada di sana menyela pembicaraan ayahnya dan Arthur.

Gerald menoleh pada putrinya. "Dia hidup nomaden. Sepertinya dia tahu kalau pihak kepolisian belum menyerah mencari tahu tentangnya. Makanya dia tidak menetap di satu wilayah dalam waktu lama. Kali ini, pihak kepolisian masih berusaha mencari keberadaannya lagi."

"Anak buah om udah cek rumah terakhir yang ditempati Pak Ilham?"

"Sudah, Ar. Tapi ya seperti yang sudah-sudah. Sama sekali tidak ada jejak yang tertinggal di sana. Bahkan kabar terbaru mengatakan bahwa rumah itu sudah ditempati pemilik barunya."

Arthur menghela napas. "Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pengintaian terhadap Pak Ilham ini?"

"Sebenarnya, Ar, saya rasa Pak Ilham ini tidak akan jauh-jauh dari kamu dan kawan-kawanmu. Dia punya dendam pada kalian. Jadi apa kamu mendapat teror lagi?"

"Ada, Yah. Di kampusku, pas ospek tadi ada video berisi ancaman yang entah sengaja atau tidak terputar di sesi pengenalan profil fakultas. Tapi itu nggak semata ditujukan pada Arthur, aku, Agatha, maupun Verrel. Jadi kami ragu apakah ini ulah Pak Ilham atau orang lain. Bahkan sepertinya panitia juga gerak-geriknya lumayan mencurigakan. Jadi video itu belum bisa dianggap sebagai teror dari Pak Ilham."

Gerald mengangguk-angguk. "Kalau gitu, kalian perlu waspada. Ayah dan anak buah ayah baru bisa bergerak kalau ada laporan. Jika tidak ada yang melaporkan, maka kami tidak bisa ikut campur."

"Kami akan terus mengawasi kegiatan ospek ini, Yah. Semoga teror itu nggak sungguhan dari Pak Ilham. Terlebih, semoga nggak akan ada hal buruk yang terjadi." Shana meremas pena yang ia gunakan untuk menulis dengan gemas.

"Ya, Om. Kami nggak akan tinggal diam kalau sampai ada kejadian buruk di kampus baru kami ini." Arthur menambahkan.

"Bagus, kalau kalian butuh pihak kepolisian, kalian langsung buat laporan saja. Biar kami bisa ikut bertindak." Pak Gerald mengangguk-angguk puas.

Arthur memberi hormat, "Siap laksanakan, Om."

***

Malam ini, Agatha masih begadang. Sambil menggerutu, ia menyelesaikan oleh-oleh essainya. Dia memang mengaku salah karena tidak mencicil mengerjakan tugas itu sejak tadi sore. Akhirnya, dia tidak bisa tidur tenang malam ini.

Agatha mendongak saat mendengar kaca jendelanya dilempari sesuatu. Bunyinya berisik. Dari yang Agatha duga, sesuatu yang mengenai kaca jendela kamarnya itu adalah batu kecil-kecil.

Dengan ragu, Agatha bangkit dari kursi belajarnya. Dia berjalan mengendap mendekati jendela kamarnya.

Sial, Agatha terlonjak kaget saat sebuah batu lagi-lagi menghantam kaca jendelanya tepat di depan mukanya. Agatha mendesiskan umpatan.

BOOK 3 MISSION SERIES: MISSION IN CAMPUS (Pindah ke Innovel) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang