***
Okta keluar dari kamar itu dan menatap dalam-dalam semua yang ada dalam kamarnya, sambil berkata, "Tunggu aku pulang kamarku."
Setelah itu Okta turun dari kamar untuk menemui ibunya dan memberikan uang yang disisihkan.
Di depan gerbang rumahnya, ia kembali terdiam dan meneteskan air mata. Dan akhirnya Okta berangkat ke bandara dan ditemani dengan ibu.
Dalam perjalanan Okta hanya terdiam rasa senang bercampur sedih, seakan tak tega meninggalkan ibu.
Mereka sampai di bandara tepat waktu. Sebelum Okta naik pesawat ia memeluk ibunya lagi.
"Hati--hati ya, kalau sampai kabarin ibu," pesan ibu yang tak rela meninggalkan anaknya.
Sambil mencium tangan ibunya, Okta berkata, "Terima kasih bu, secepatnya aku akan kabari ke ibu."
"Sebelum melakukan sesuatu, kamu harus ucap bismillah."
"Iya bu, aku pergi dulu. Assalamu alaikum."
"Waalaikum salam."
Dengan gemetar Okta menaiki pesawat untuk yang pertama kalinya, tanpa seseorang yang menemaninya karena teman lainnya yang mendapat beasiswa beda tempat.
Di dalam pesawat, Okta mencari tempat duduk yang kosong sambil memegangi ranselnya.
Ia duduk di bagian pinggir dengan seseorang perempuan yang duduk di sampingnya pula. Dalam pesawat Okta tak pernah berkata-kata.
Yang ia rasakan sekarang hanyalah gugup, untuk membuat dirinya tenang hanyalah mendengarkan musih dari memori card itu.
Sambil mendengarkan, Okta membuka resleting tasnya, mengambil album itu kemudian membacanya kembali.
"Kamu juga suka Bangtan Sonyeondan?" tanya salah seorang yang duduk di sampingnya setelah tak sengaja melirik album yamg dipangku Okta.
"I-iya," ucapnya dengan gugup karena takut ia di hina.
"Aku juga suka BTS, aku pengen jadi istrinya nanti," ucap seseorang itu dengan wajah penuh harap.
Seketika Okta melototkan mata dan mengerutkan dahinya. Ia merasa sangat aneh dengan orang itu. Okta tak tahu mau berkata apa, ia hanya tersenyum.
"Kalau kamu? Kamu juga mau jadi istri dari mereka?" tanya orang itu, dan Okta menjawab sebenarnya.
Ia menggaruk tengkuknya dahulu. "Aku tidak kepikiran ke sana, umurku masih muda, aku ke sana untuk melanjutkan kuliah ke perguruan yang lebih tinggi, aku hanya mengidolakan mereka, aku salut atas perjuangan mereka. Dan aku ingin bertemu mereka hanya untuk berterima kasih. Karena berkat mereka, aku bisa sampai di sini."
"Maksud kamu? BTS membiayaimu gitu?" tanya dia lagi.
"Tidak. Beasiswa yang menanggung semuanya." ucap Okta.
"Kamu ke sana untuk kuliah ya?"
"Iya, kalau kamu?"
"Aku cuman mau healing dan ingin ke gedung BigHit," jawab orang itu.
"Bukankah mereka sudah bubar beberapa tahun lalu?"
"Aku tahu. Tapi BigHit punya banyak anak titisan. Oh ya, aku multifandom. Semua anak BigHit idol aku."
Setelah berbincang-bincang, Okta kembali membuka album itu dan membaca kata-perkata BTS sambil tersenyum.
Tapi tersenyum bukan berarti selalu bahagia, terkadang itu hanya untuk menutupi kesedihan,
Okta sedih karena ibunya ia tinggal sendiri.Tak lama dari itu, sambil mendengarkan lagu, Okta tak sadar tertidur dalam perjalanan.
Beberapa waktu dalam perjalanan, banyak yang ia lalui. Okta hanya mengikuti rute saja hingga akhirnya ia sampai di tujuan dengan selamat.
Para penumpang di minta untuk mengambil tasnya.
"Wahh sudah sampai, ini kan Seoul?aku harus memberi kabar pada ibu," batinnya.
Okta turun dari pesawat menghirup udara di Seoul, Okta menatap kakinya dengan air mata haru yang ia rasa. Segala gedung besar berbaris.
"Negri yang dulu ingin kuinjakan kakiku, kini telah terwujud, luas sekali di sini, masyaAllah," kagumnya penuh syukur.
Okta kembali berjalan untuk mencari mobil dan mencari apartement sambil menarik kopernya dan menggendong ranselnya.
"Aku belum percaya, ini kah Korea Selatan? Tempat impianku! Ayah, anakmu sudah sampai tujuan." Tak bisa menahan tangisan, Okta akhirnya menangis sambil kemudian berjalan dengan kaki yang tak boleh roboh.
"Aku akan mencari apartement yang dekat dengan gedung BigHit, agar nanti aku mudah melihat para member BTS."
Mobil yang di tunggu Okta akhirnya datang. Ia meminta supirnya untuk membawanya keliling dahulu, karena ingin mengetahui isi Seoul.
Dalam mobil itu, matanya selalu berbinar. "Gedung-gedung di sini tinggi sekali. Aku gak nyangka bisa ke sini," ucapnya dalam hati dengan sangat senang.
"Oh ya bagaimana kabar ibu ya. Andai ibu juga ikut ke sini."
Setelah puas berkeliling, Okta kemudian dibawa ke apartement tempat mahasiswi yang tidak jauh dari tempat kuliahnya dan gedung BigHit sendiri.
Okta memasuki apartement itu dan ternyata banyak yang mau kenalan dengannya, tapi Okta menolak karena ia masih canggung.
Dirinya memasuki apartemennya yang jauh berbeda dengan kamarnya. "Apartement ini sangat luas dan jendelanya sangat besar mengarah ke pinggir laut, jauh sekali dengan kamarku, akankah aku betah dengan in?" Menurutnya itu mustahil.
Okta mulai membereskan kamar barunya itu, membongkar semua barang-barang dari koper dan merapihkannya ke lemari.
Setelah itu ia beristirahat karena lelah akan perjalanan jauhnya tadi.
"Aku berpisah dengan ibu belum lama, tapi aku sudah rindu, jaga ibuku ya Allah," gerutuh Okta pelan dengan badan yang ia baringkan sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
"IMPIAN ARMY"
Short Story(Note: rencana mau di terbitin si cuman yakkk gimana yakkk g tau juga gimana) Cerita di kutip dari kisah nyata seorang Army yang memiliki impian yang mustahil, tapi pasti. Seorang anak yang di benci temannya dan selalu di hakimi karna sifat pendiam...