Gubuk Daun Pinus

100 17 24
                                    

Mungkin kemarin kita jatuh tersandung kerikil kecil. Semoga besok kita bisa mengangkat batu besar.

Gadis itu terus berlari, meninggalkan Deri lalu bersembunyi di bawah cekungan tanah yang tertutup rimbun dedaunan. Dia tidak mengindahkan gelapnya bawah tanah itu, bahkan tak khawatir jika ada ular. Sebab sejak kecil dia sudah dilatih untuk menyerang.

Dia terdiam, ingatannya membawa kepada kejadian semalam. Dimana dia dan kakaknya melarikan diri dari para kaisar yang mengaku akan merawat mereka ketika kedua orangtuanya belum ditemukan. Kedua orangtuanya hilang saat semua ksatria sedang mengelana di hutan perburuan timur. Akan tetapi dia dan kakaknya tidak percaya dengan kaisar, mereka curiga, sebab mereka tidak melihat adanya usaha pencarian kedua orangtuanya sehingga merak memilih untuk mencari sendiri. Yang mana tentu saja pihak bangsawan tak mengijinkan dan memerintahkan untuk mengurung mereka di ruang bawah tanah, katanya sebagai perenungan. Sebelum akhirnya mereka berhasil melarikan diri dan kakaknya tertangkap, ah, entah tertangkap saja atau sampai terbunuh, bahkan dia tidak tahu.

***
Di lain sisi, laki-laki yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Deri di depan gadis yang belum sempat menyebutkan namanya masih mematung, dengan posisi dimana saat dia dipukul oleh gadis itu. Hingga sejurus kemudian dia meletakkan ember kecil di samping kakinya, duduk untuk bersiap melemparkan umpan pancing.

Matahari masih berada di bawah, belum meninggi mendidihkan ubun-ubun, sehingga masih diterima tubuh untuk sekedar menghangatkan tubuhnya yang hanya dibalut kain tipis dengan lengan sepundak.

"Iya ... Semalam ada keributan di sepanjang jalan Aksa---nama jalan di sepanjang bangunan milik bangsawan---lalu saat kuintip dari jendela ternyata menuju ke hutan."

"Wah ... sepertinya ada pengkhianat lagi."

"Eh, jangan sembarangan dalam mengatakan sesuatu kamu!"

Deri mendengarkan diam-diam pembicaraan dua perempuan paruh baya yang biasanya dari  desa untuk mengambil air atau bahkan mencari makanan di hutan. Sampai akhirnya mereka mengalihkan pembicaraan, tentang anak-anak mereka yang mulai berjalan, tentang sanak saudara mereka yang mulai ikut mengikuti perekrutan kesatria bangsawan. Hal-hal itu sudah menjadi makanan keseharian Deri. Ah, bukan. Akan tetapi menjadi hal yang ia catat dalam benaknya, lalu ia uraikan ke atas kertas ketika sudah kembali ke gubuknya.

Deri menatap air yang mengalir dengan tatapan kosong, tangannya tetap dengan posisi siaga kalau-kalau ikan akan terpancing dengan umpan yang dia pasang dengan cacing umpan yang dia cari kemarin sore di dekat pohon Pinus yang menutupi gubuknya. Dia tidak menghiraukan dengan dua perempuan yang tak jauh darinya, sampai-sampai ketika salah satu perempuan tak sengaja terpeleset sehingga tumbang menimpanya. Satu detik, dua detik, dia belum sadar. Sampai akhirnya dia tersadar ketika topi yang tadi di atas kepalanya sudah terlepas dari tempatnya.

Dia panik, melepaskan alat pancingnya, segera memasang topinya kembali, lalu menatap dua perempuan yang sekarang sedang menatap tajam terbelalak ke arahnya. Dia masih dengan degup jantungnya yang tak karuan, langsung mengambil  ember di sampingnya yang masih kosong, lalu berpamitan pada dua perempuan itu. Terburu-buru.

Dia berjalan cepat menjauhi mereka, namun masih mampu mendengar mereka berdua berbisik membicarakannya.

"Kamu melihat tanda di jidat kirinya? Bukankah itu tanda untuk kesatria? Benar, bukan?" ucap salah satu mendahului.

"Mana mungkin? Kamu pasti salah lihat!"

"Tidak mungkin aku salah lihat!"

"Tuan!" Salah satu dari mereka berteriak memanggil, yang tentu saja itu ditujukan kepada Deri. Akan tetapi Deri tetap terus melanjutkan perjalanannya. Bahkan tidak menoleh sama sekali. Dia fokus dengan jalanan yang sudah setiap hari dia lalui, lalu berjalan naik melalui jalan tanah yang sedikit basah dan licin. Jalan yang tidak biasa dia lalui, lalu menoleh ke belakang tergesa.

"Syukurlah mereka tidak mengikutiku, tapi akan bahaya jika mereka menceritakan tentang apa yang mereka lihat. Aku harus segera pergi. Tapi ...." Dia berhenti sejenak, melambatkan langkahnya.

Deri menghela napas panjang, melepas topi kainnya yang sudah berubah abu-abu warnanya. Tangannya menegang, meremas kuat topinya dan napasnya mulai memberat.

Dia terus melangkah. Awalnya dia naik, lalu kini turun perlahan menuju pohon Pinus besar di dekat air terjun. Dimana ternyata di balik pohon itu ada gubuk yang tadi ia ceritakan pada gadis yang memiliki rambut berantakan.

"Apa aku harus pindah sebelum aku mendapatkan teman berjalan? Padahal kupikir gadis tadi sepertinya cocok jika kuajak untuk berkelana," ucapnya sambil tersenyum. Mengingat wajah gadis tadi yang tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Apa perlu kuberi nama sendiri dia? Haha, mungkin gadis matahari cocok untuknya." Dia tergelak, mengingat rambut gadis itu yang mirip matahari ketika terpantulkan ke  air sungai.

Setelah lama tergelak, menenangkan dirinya sendiri, menatap air yang tumpah ruah dari atas tebing, memejamkan matanya sebentar lalu tersenyum lagi.

"Ayolah Deri, kita berkemas."

Deri masuk ke dalam gubuknya, gubuk yang dari luar hanya tampak papan kayu yang terlihat rapuh dan atap daun Pinus yang ditata dan menjulur ke bawah, ternyata kondisi gubuk dalamnya sama sekali tidak begitu, dindingnya dicat rapi, ada tumpukkan buku tebal di atas meja kayu yang masih mengkilap, di sampingnya ada ranjang setinggi lutut yang disertai selimut tebal berwarna coklat muda, dan lampu yang menggantung bukan lampu biasa. Melainkan lampu yang biasanya dipasang di beranda rumah para kaisar.

Dia duduk di depan meja, merogoh tas berwarna hitam dari bawah meja lalu menaruhnya di atas meja. Matanya memandangi peta di depannya, yang dia tempel dengan beberapa gambar manusia yang entah siapa. Tangannya yang belum berkerut langsung memasukkan buku-buku yang bertumpuk ke dalam tas, peta yang tadi dilihatnya, lalu menyemprotkan saripati pohon Cendana ke seluruh isi gubuknya. Setelah semua itu, dia keluar dari gubuk itu, membiarkan ranjang dan mejanya tetap di sana. Dia hanya membawa buku-bukunya. Lalu berjalan naik menuju puncak air terjun sampai punggungnya hikmah di balik semak yang menutupi sisi air terjun.

Belum ada lima menit berlalu Deri meninggalkan gubuknya, ada suara geruduk langkah kaki yang terburu. Bukan hanya sepasang kaki, akan tetapi ada sekitar 3 suara pasang kaki menuju gubuk itu.

"Benar, ada gubuk disini!" teriak salah satu di antara mereka. Seseorang dengan tanda di jidat kirinya. Tanda yang tadi dibicarakan dua perempuan paruh baya di sungai.

Mereka langsung masuk ke gubuk yang tidak dikunci pintunya.

"Sial, dia melarikan diri!" ucap salah satu di antara mereka (lagi) setelah menemukan kertas di atas meja Deri. Kertas yang hanya berisi satu kata "you lose".


Waaah ... Gimana cerita bagian ini? Yuk, berikan kritik dan saran yang membangun.
Vote dan komen kalian sangat bermanfaat bagi saya.

Happy read 😍

HaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang