1. BERADA DI JALAN BUNTU

11 0 0
                                    

Sebelumnya terima kasih buat yang udah mau mampir.
Jangan lupa klik bintang kalau memang kamu menghargai usahaku, wkwk...
Baca sampai selesai kalau memang kamu suka.
Jangan lupa pantengin terus cerita ini kalau memang kamu tertarik.

~Selamat Membaca~

Bila kamu tanya kabar 'bagaimana keadaanku saat ini?' Jawabannya, aku seperti berpijak di lorong waktu yang memanjang, berjalan di persisian black hole super padat, berputar-putar di pusaran air yang tidak tahu kapan akan berhenti. Sejak awal, aku sebenarnya memang tidak memiliki konsep hidup. Terus terang, masa depanku segelap gulita malam. Aku tidak punya cita-cita, tidak punya satupun impian. Namun lucunya di sini, aku punya sebuah harapan. Suatu saat nanti, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku dan tinggal bersama dengan orang yang kucintai selamanya. Dua keinginanku itu, apakah bisa aku genggam? Apakah aku bisa memiliki segala hal yang tidak mampu kumiliki dalam hidup? Harapanku itu ... hanya secuil dari nyaliku yang benar-benar ingin ku penuhi sekali seumur hidup.

Angkasa yang mulai redup
Disisi jendela usang, ditulis di buku bersampul biru.
15.56

***

Satu alasan spesifik yang membuatku tidak mau menurut pada keluarga yang menurutku terlalu overaktif. Aku tidak suka diatur-atur. Apalagi ini mengenai kehidupan pribadiku. Jika salah satu impianku masuk kuliah telah dihapus dari list mimpi oleh keluarga karena faktor biaya, oke iya, itu tidak apa-apa bagikku. Aku masih punya banyak cara dan mimpi-mimpi yang tiada habis dan tidak sempit untuk diwujudkan. Tetapi, maaf jika kemungkinan hal ini mengenai urusanku yang sama sekali tidak memerlukan diskusi dan harus sampai menjodoh-jodohkan, itu diluar nalarku.

Tidak ada satupun raut suka mampu aku terbitkan di wajahku saat ini. Kecuali ibu dan kakak-kakakku yang mampu bersikap ramah padanya. Percayalah aku masih ingat tata krama yang benar menyambut tamu sesuai ajaran ibuku. Tapi, untuk kali ini aku benar-benar tidak sanggup berbohong pada diriku sendiri. Bahkan uniknya tadi, wejangan serasa ancaman bagiku dari ibu--telah aku terima sebelumnya, persis saat kakak ipar pertamaku memberitahukan kepada kami jika 'dia' akan datang ke rumah. Seolah-olah ibu mendikte-ku berakting di depannya secara layak. Omong-omong, kami sudah memulai permainan drama ini semenjak eksistensinya ditarik ke dalam gubuk tua reyot.

Suasana di ruang tengah begitu pekat aura mencekam. Padahal di luar sana langit begitu cerah, seharusnya mampu membuat suhu di ruangan kecil ini terasa hangat. Alasan terkuatnya karena kehadiran seseorang yang masih terasa asing bagi kami. Kami semua sama-sama merasa kaku dan canggung.

Ibu memang sosok wanita hebat yang mampu menjalankan setiap perannya dengan baik. Karena sejak awal ibu yang paling antusias menyambutnya dan sebagai tokoh yang cukup penting dalam sandiwara ini pula--dialah yang mendapatkan bagian adegannya juga paling banyak, tentu saja.

Lama kami saling terdiam di ruang tengah, tidak ada satupun diantara kami yang ingin memulai percakapan. Saking heningnya, aku sampai terlonjak kaget hanya gara-gara suara decitan kursi tua rapuh yang sengaja di dorong oleh badan ibu. Ibu tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya, menawarkan minum padanya, tanpa menunggu jawaban lain, ibu lekas bergegas pergi ke dapur. Terlepas dari drama, sebenarnya cara ibu memperlakukan tamunya itu sudah bagus dan benar.

Aku melihat pergerakan ibuku dari arah dapur dengan nampan di kedua tangannya dibawa sedikit kikuk. Nyaris tumpah gelas berisi air di atasnya itu, jika ibu tidak cepat-cepat menyeimbangkan pegangannya. Ingin sekali aku bantu dengan tambahan rencana ku untuk kabur dari sini. Aku telah siap berdiri. Namun ibu tetaplah seorang ibu. Sekali baca gerak-gerik ku seperti kurang nyaman di tempatnya, beliau bisa langsung tahu. Dan benar saja, karena setelahnya ibu memberiku ultimatum lewat tatapannya bahwa aku harus tetap berada di sana. Bukan kehendak ku memang untuk menolak dan jujur ... aku merasa keberatan atas ketidakadilan yang ku hadapi sekarang.

Dengan hati-hati ibu menyimpan gelas yang berisi air putih ke atas meja kayu kumuh. Menengok ke arahnya, ibu tersenyum sungkan sambil berkata; "maaf, yah! Kami hanya bisa menyediakan air putih saja, kamu datangnya juga mendadak. Kalau kamu mengabari kami sehari sebelumnya, pasti saya sediakan camilan."

Lelaki berjas diseberang sana tersenyum maklum kemudian menjawab; "Ah, tidak apa-apa! Air putih saja bagi saya sudah cukup, lagipula saya datang kemari tidak direncanakan. Kebetulan pulang kerja saya lewat jalan sini, saya lalu teringat rumah ibu. Kedatangan saya kemari memang hanya ingin melihat putri ibu saja."

Setelah mendengarnya, sudut-sudut pada bibir ibu membentuk cekungan bulan sabit sempurna. Melihat ke arahku dengan tatapan penuh arti, tak lama kemudian sosok ibu mengajak kakak-kakakku pergi ke teras rumah bersamanya. Maksud mereka mungkin ingin memberiku space supaya kami bisa mengobrol lebih leluasa. Sayangnya, ini terlalu mengejutkanku sedangkan aku masih dalam keadaan belum siap.

***

Seharusnya setelah hadirnya hujan badai, ada pelangi muncul untuk membasmi kesedihan dan ketakutan yang timbul akibat guntur. Sayangnya pada kenyataan, kehidupan tidaklah se-menyenangkan dan semudah seperti khayalan yang ada dalam pikiran. Tidak selalu selaras dengan apa yang dibayangkan, tapi ini bisa jadi pelajaran juga untukku.

Aku tidak tahu lagi bagaimana menjalani hidup normalku dan menjadi diriku sendiri. Terutama yang paling aku takutkan disini adalah motivasi dari orang-orang terpenting hilang seutuhnya. Tanpa adanya penyokong dan pendukung itu aku mudah rubuh. Semenjak aku tolak mentah-mentah lelaki berjas tempo hari, aku seperti dimusuhi oleh seluruh anggota keluarga. Padahal, bukan tanpa alasan aku menolaknya. Hanya saja bibirku tidak mampu menjelaskan semuanya dengan rinci dan betul. Selalu saja tersendat-sendat dan pasti selalu berujung air mata.

Ibuku mendiamkanku dalam beberapa hari ini, kakak-kakakku menjauhiku setalah hari itu, dan kakak ipar yang juga ikut terlibat mengenalkannya padaku--nampak jelas bahwa ia sungguh kecewa serta malu atas sikapku yang terkesan sombong. Penyebabnya tidak jauh dari seputar laki-laki itu yang sulit aku terima, padahal orangnya sungguh baik. Terkadang aku memang suka sekali menjadi gadis bodoh, tapi jika ini mengenai perkara hati? Jujur, itu tidak mudah bagikku. Berbeda dengan soal-soal kehidupan lainnya aku mungkin bisa lebih senang menerimanya. Hati itu memang sulit dan rumit.

Mataku nampak sayu dan sembab di pantulan kaca jendela akibat semalaman menangis. Lebih detailnya, penampilanku sekarang tidak berbeda jauh dari bunga mawar di hadapanku yang kelopaknya mulai menghitam akibat layu karena sering lupa ku siram. Dan ... aku baru saja terbangun dari rasa kantukku, yang ternyata hasilnya masih sama, rasanya masih menyimpan berat di punggung dan di dada. Sesak dan pengap.

Kamu tau rasanya jika tumpukan beban dijatuhkan semuanya kepadamu? Ya, seperti kamu menanggung jutaan ton beras dipikul sendirian. Sejatinya aku memang orang yang tidak pernah mampu dan melakukan hal-hal diluar keahlianku. Untuk itu ... sekarang aku ditentang habis-habisan oleh anggota keluarga karena pilihanku. Aku sedang berada dalam fase pemberontakan.

Seharusnya waktu ini aku fokus menciptakan jalan masa depanku, SEHARUSNYA!

Namun keadaanku tidak memungkinkan, aku masih diam terhambat batu besar yang mengurungku di goa, dan sepertinya akan tertahan lama. Aku tidak bisa berpikir jernih, perasaanku kalut. Aku butuh cahaya yang dapat menuntunku keluar, perlu bantuan untuk merdeka dari jajahan musuh yang disebut masalah.

Tolong aku, aku tidak bisa apa-apa ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Diarry DilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang