Katanya mati satu tumbuh seribu.
Lalu bagaimana dengan Alexa-ku?
~Luna~
Enam bulan bukan waktu yang cukup untukku melupakan kejadian siang itu, rasa bersalah enggak bisa kuhilangkan begitu saja walaupun kata orang-orang semua itu takdir, kehendak Tuhan dan bukan salahku tetap saja aku merasa diriku sebagai perantara. Aku lah orang yang mengantarkan Alexa ke tidur lelapnya.
Dia pergi...
pergi dengan tenang diirigi lagu favoritnya, dengan hati yang tengah bahagia menjelang hari pertunangannya, meninggalkan aku serta memberikanku hadiah terakhir yang enggak aku lupakan. Rasa bersalah."Luna." Aku menoleh kearah pintu kamar yang sejak tadi memang terbuka. Naren berdiri disana sambil membawa nampan.
"Masuk aja Ren," jawabku.
"Kata ibu, kamu malas sarapan ya?" tanyanya sembari berjalan mendekatiku yang sejak tadi melamun di meja kerja. Perlahan ia meletakkan nampan berisi segelas susu dan setangkup roti tawar di atas meja. "boleh duduk disini?" tanyanya lagi sambil menunjuk ranjangku.
"Iya, duduk aja Ren," jawabku.
"Kenapa enggak mau sarapan?" tanyanya lagi.
Aku tersenyum. "Malas turun aja, niatnya mau sekalian makan siang aja," jawabku. "Kamu baru sampai atau udah daritadi?" tanyaku balik.
"Baru aja," jawabnya yang terus memandang ke arahku.
"Disuruh ibu ya?" tebakku.
Naren terkekeh. "Ibu kamu khawatir Luna, katanya semalam kamu juga enggak makan ya?" Pertanyaannya membuatku hanya bisa menggaruk kepala karena ketahuan aku berbohong padanya saat ia meneleponku semalam.
"Hari ini aku enggak ada kegiatan, kamu mau enggak nemenin aku jalan?" tanya Naren.
Ini yang kusuka dari Naren, ia enggak mencecarku terus menerus karena enggak menjawab pertanyaannya, ia akan menggalihkan pembicaraan begitu melihat gelagatku yang enggak nyaman seperti saat ini.
"Bukannya kamu mau kerja?" Pakaiannya sudah sangat rapi. Kemeja hitam, celana bahan hitam, eits tunggu... "eh kamu mau melawat ya?" tanyaku membuat Naren tertawa.
"Kayaknya aku salah pilih warna ya, Lun... ini tadi aku buru-buru asal ambil aja di lemari gantung," jawabnya.
"Tapi keren kok," pujiku.
" Thank you. Jadi gimana?"
"Aku turun ke bawah buat sarapan aja malas Naren, apalagi jalan-jalan," tolakku.
"Ya udah kalau enggak mau, tapi itu sarapannya dimakan ya," katanya.
Aku menoleh ke nampan diatas meja.
"Aku loh yang buat susu sama rotinya," sambung Naren membuatku meliriknya enggak percaya. "Serius deh," katanya berusaha meyakinkanku.
"Iya iya aku makan," kataku lalu mulai mengunyah roti.
~
"Udah mandi?"
Aku cukup kaget mendengar suara Naren, kukira lelaki itu sudah pulang tapi ternyata ia masih betah disini. Kakiku melewati anak tangga terakhir, berjalan menuju ke arahnya yang sedang duduk di depan meja makan bersama ibu dan abi.
"Udah," jawabku.
"Mau makan, Lun?" tanya ibu
"Nanti aja Bu, mau ngemil dulu" Jawabku. "Aku kira kamu udah pulang," kataku sambil mengambil satu buah pisang dimeja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
General FictionPergi mengunjungi Annecy menjadi hal tergila yang Luna lakukan, bersama Naren, tunangannya, ia mewujudkan keinginan sahabatnya yang telah berpulang. Namun, siapa sangka disana hatinya diuji ketika bertemu dengan Rendra. Entah Naren lelaki pilihan o...