BAB 3

371 81 8
                                    

"Pagi, Bu Luna," sapa seorang perempuan yang berdiri di ruang tamu.

"Pagi," sapaku balik dengan wajah bingung karena tidak mengenal siapa perempuan dengan setelan blazer rapi didepanku ini. Ia mengulurkan tangan saat aku mendekatinya.

"Saya Adila, sekretaris pak Naren," katanya memperkenalkan diri membuat ekspresiku berubah. Senyum kikuk langsung berubah jadi senyum penuh semangat, karena memang sejak tadi aku menunggu kedatangan mereka. Ya, hari ini kami akan terbang menuju Prancis, setelah sebulan berlalu sejak aku meminta tolong Naren hari ini lah waktunya kami berangkat setelah semua persiapan dilakukan.

"Oh, iya, enggak bareng pak Naren?" tanyaku.

Adila tidak langsung menjawab, matanya malah bergerak memeriksa ruangan tempat kami berbincang."Bapak sudah berangkat ke Jakarta kemarin, karena harus mengurus masalah di kantor pusat," jawabnya sedikit berbisik.

Keningku berkerut mendengarnya, aneh mendengar penjelasan Adila. Semalam Naren masih menghubungiku seperti biasa, ia juga menanyakan kesiapanku untuk berangkat hari ini, ia sama sekali enggak memberitahuku bahwa kami tidak berangkat bersama.

"Bapak bilang, saya harus menemani ibu berangkat duluan," lanjut Adila.

"Duluan?"

Adila diam matanya memandang lurus ke arah belakangku membuatku menoleh, bi Tin datang mendekat ke arah kami sambil membawa baki berisi minuman.

"Silakan diminum," katanya sembari memindahkan cangkir ke atas meja.

"Terimakasih," kata Adila.

"Diminum dulu," kataku mempersilakan. Adila menyesap teh hangat yang disajikan sembari memperhatikan bi Tin pergi.

"Iya, bapak belum bisa memastikan bisa berangkat kapan, jadi saya yang akan temani ibu selama di Prancis," kata Adila setelah meletakkan kembali cangkir ke tempatnya.

"Oh gitu... saya siap-siap dulu kalau begitu, sebentar ya," kataku.

"Oh iya silakan, Bu," kata Adila.

**

Sudah panggilan telepon ke lima yang kulakukan tapi Naren tidak juga menjawab. Aku menarik napas panjang sebelum kembali mencoba menghubungi lelaki itu. Aku butuh penjelasan darinya karena sebelumnya aku belum pernah bertemu dengan Adila, sekedar memastikan benarkah yang dikatakan Adila padaku beberapa menit yang lalu.

"Ya halo Luna."

"Naren, kamu dimana?" tanyaku to the point

" Ah, iya maaf aku enggak memberitahu kamu semalam, Adila sudah menjelaskan 'kan?"

Ah, jadi benar yang diinfokan Adila.

"Ya udah, tapi kenapa mendadak dan enggak kasih tahu aku semalam?"

"Biar kamu enggak panik."

Mendengar jawaban Naren bola mataku berputar, kesal, kalau saja dia memberitahuku semalam aku enggak akan sepanik sekarang ini.

"Terus aku bilang apa sama abi dan ibu kalau mereka nanyain kamu?" tanyaku.

"Bilang aja aku udah di Jakarta karena ada urusan pekerjaan," jawabnya.

"Terus kamu berangkat kapan?"

"Belum tahu, nanti aku kabari... kamu berangkat ke Jakarta bareng Adila dulu aja, nanti kita ketemu di Soetta."

" Oke."

"Oke."

Panggilan usai, aku bergegas mengambil tas dan koper, tidak enak membuat Adila menunggu terlalu lama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang