Disaat ada bantuan disana akan ada kemudahan
~Luna~
Detak jantungku sudah enggak karuan rasanya saat memperhatikan Naren yang sedang mengobrol dengan abi diteras belakang. Sudah empat puluh menit keduanya berbincang, aku enggak bisa mendengar isi percakapan keduanya hanya kadang tawa terdengar diantara keduanya. Mataku memantau dari ruang makan, lewat jendela besar aku bisa memperhatikan gerak-gerik abi, tapi enggak ada yang aneh, enggak ada ekspresi terkejut atau tampak berpikir, menimbang suatu hal. Sebenarnya Naren sudah mengutarakan keinginanku atau belum sih?
"Kunaon sih Neng?" Tepukan ibu di bahu membuatku kaget.
"Enggak apa-apa bu," jawabku salah tingkah.
"Masa? Dari tadi ibu perhatiin kamu kayak cemas banget lihat abi sama Naren ngobrol." Ibu menarik kursi di sampingku, matanya sempat mengarah ke teras belakang.
"Penasaran aja mereka lagi ngobrol apaan,"kataku sekenanya.
"Iya ibu juga penasaran sih, kayak yang asikbanget ya," sahut ibu. Aku hanya tersenyum lalu menyesap teh hangat yang sama sekali belum kesentuh sejak tadi.
"Lun," panggil ibu setelah beberapa detik kami saling diam. Aku menegakan kepala menatap ke arahnya. " Tadi bu Kartika telepon," lanjut ibu ada jeda disana begitu melihat kebekuanku mendengar nama dari nenek Alexa disebut.
"Ada apa bu?" tanyaku pelan.
"Bu Kartika nanyain keadaan kamu," jawab ibu sambil meraih tanganku untu digenggam. "Katanya mau main kesini kapan-kapan,"sambung ibu yang ku sahuti dengan anggukan beberapa kali.
"Nanti kapan-kapan Luna main kesana," kataku.
"Iya, nanti ibu suruh Naren temani kamu," sahut ibu.
"Enggak usah lah bu, aku udah banyak ngerepotin Naren," tolakku lembutt
"Aku enggak merasa direpotin kok, Lun." Suara Naren terdengar. Lelaki itu berjalan mendekatiku, abi yang semula sedang berbincang dengannya kini sudah mengambil tempat di sebelah ibu.
"Ada apa?" tanya abi.
"Bu Kartika telepon nanyain Luna, katanya kalau ada waktu pengin main ke sini, tapi Luna yang katanya mau kesana," jawab ibu sembari mengupas jeruk.
"Oh ya sudah, nanti Naren bisa nemani kamu sekalian kalian berangkat ke Prancis sebelum ke bandara berkunjung dulu ke rumah bu Kartika, iya 'kan Ren?" Abi melirik Naren.
Tunggu ... maksud kalimat abi barusan itu ...
"Prancis? Kalian mau ke Prancis?" tanya ibu yang lebih kaget dari diriku. Tatapannya tajam membuatku enggak bisa menjawab pertanyaannya.
"Naren ada keperluan bisnis disana, Naren pikir mungkin Luna bisa ikut sekalian refreshing, gimana Lun mau ikut enggak?" tanya Naren.
Hebat! Dia benar-benar bisa dijadikan partner untuk urusan seperti ini.
"Boleh, bi?" tanyaku berpura-pura tidak mengerti rencana Naren padahal aku lah otak dari semuanya.
"Boleh," sahut abi begitu saja tanpa berpikir panjang.
"Eh enak aja, abi kok main boleh boleh aja," omel ibu yang sepertinya enggan memberikan izinnya. Aku diam enggak merajuk berlebih, seolah-olah aku memang benar-benar orang yang diajak Naren dan tidak mengetahui rencana ini sama sekali.
"Enggak apa lah bu, biar Luna enggak bosan, berapa bulan ini dia cuma dirumah enggak, perginya juga sama Naren," ucap abi lalu mencomot potongan jeruk dan mengunyahnya.
"Ya tapi masa anak gadis pergi jauh-jauh bi, walaupun mereka udah tunangan tapi tetap aja enggak baik, bi," sahut ibu.
"Tapi tadi ibu nyuruh Luna ke Jakarta sama Naren." Aku mulai ikut ke perdebatan keduanya.
"Beda dong, itu 'kan enggak terlalu jauh, lagian kalian ke rumah bu Kartika enggak mungkin macam-macam," sahut ibu.
"Ya kalau dasarnya mau macan-macam bisa aja Naren bawa Luna kemana-mana dulu sebelum sampai ke rumah bu Kartika," sambar abi.
Naren tertawa mendengar ucapan abi barusan. "Naren enggak bakal macam-macam kok, bu, nanti kami pergi bersama sekretaris Naren juga, perempuan juga jadi pasti aman," kata Naren membuka suara.
Ibu tampak salah tingkah. "Maaf ya Naren, bukannya ibu nuduh kamu yang macam-macam, tapi ibu cuma punya anak satu, Luna, enggak mungkin ibu lepasin dia pergi gitu aja sama lelaki ke negara orang," kata ibu.
"Iya Naren ngerti kok bu," kata Naren sembari tersenyum.
"Jadi boleh 'kan bu?" tanyaku memastikan.
"Iya tapi jangan lama-lama ya," jawaban ibu membuatku tersenyum kecil, lewat tatapan aku mengucap terima kasih ke arah Naren yang dibalas lelaki itu dengan senyuman juga.
~
Biru mulai menjadi jingga saat kami lagi-lagi duduk berdekatan di teras belakang. Lagi-lagi ditemani secangkir teh buatan bi Tin dan ubi rebus yang masih mengeluarkan asap, kami berbincang dengan suasana hatiku yang lebih baik dibanding dua hari lalu.
"Kamu jago juga bohong," kataku dengan suara pelan, berjaga-jaga takut abi atau ibu tiba-tiba pulang dari hajatan tetangga mendengar.
Naren terkekeh. "Aku kebetulan memang ada pekerjaan di Lyon, jadi aku enggak bohong 'kan?" katanya.
"Oh... jadi sekretaris kamu benaran ikut?"
"Iya," jawabnya singkat lalu menyeruput teh dicangkir. "Kenapa?" sambungnya sembari meletakkan cangkir kembali ke meja.
"Enggak apa-apa," kataku. Jujur saja ku pikir semua hanya karangan Naren, kupikir selama dua hari ini ia berpikir keras mencari alasan yang tepat. Namun, ternyata lelaki ini enggak butuh itu, mungkin Tuhan enggak rela kalau laki-laki ini menambah dosa hanya untukku.
"Kalau niatnya baik, pasti Tuhan bantu kita dengan cara yang baik kok, Lun, percaya deh," kata Naren. Mata kami saling berpandang, entah kenapa aku enggak suka kalimatnya barusan, bagiku kata-katanya barusan terdengar mengguruiku.
"Kapan aku bisa ngurus visa?" tanyaku yang enggak ingin meneruskan pembahasan tentang kebaikan Tuhan.
Naren menghela napas panjang. "Masih marah?" tanyanya.
Aku menoleh ke arahnya menatap penuh rasa kesal. "Kalau Tuhan emang selalu bantu niat baik umatnya kenapa Dia enggak bantu Alexa dan pacarnya, kenapa Tuhan malah kirim bencana kenapa Tuhan enggak ngasih bantuan ke aku yang punya niat baik bantuan Alexa nyiapin acara untuk niat baiknya? kenapa?" kataku penuh emosi.
Tatapan Naren enggal bisa kuartikan, mungkin di dalam kepalanya ia tengah memakiku karena perkataanku barusan. Biarlah ... aku enggak peduli.
"Cobain deh tehnya, siapa tau hati kamu jadi menghangat," katanya. Untuk pertama kalinya akhirnya aku menemukan sifat menyebalkan Naren.
Dengan hati diliputi kesal aku mengikuti sarannya. Kuteguk habis teh dicangkirku sampai kulihat Naren terkejut dengan tindakanku, tapi tidak sampai disitu saja, usai cairan coklat kukuningan itu lenyap ku letakan cangkir dengan sedikit keras ke meja. "Tehnya udah abis, makasih buat sarannya bukan cuma hangat, tapi sekarang malah kebakar," kataku kesal dan yang makin membuatku kesal adalah Naren yang malah tertawa mendengar ucapanku barusan.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku nyuruh kamu nyobain, bukan ngabisin semuanya, ya iyalah jadi kebakar, lidah kamu pasti melepuh," kata Naren lalu kembali tertawa.
Menyebalkan!
"Udah jangan emosi, besok aku siapin semuanya, kamu tau berangkatnya aja, oke," katanya sambi mengusap kepalaku untuk pertama kalinya. Aku menengadah, menatapnya yang sudah bangkit dan berada di depanku. "Aku pulang dulu," katanya lalu pergi meninggalkan aku di teras belakang sendirian.
Kesekian kalinya kami menikmati senja bersama ditemani teh hangat dan cemilan yang sama, tapi senja kali ini berbeda, bukan senja juga bukan teh buatan Bi Tin yang menghangatkan hatiku, tapi usapan lembut jemarinya.
~

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
General FictionPergi mengunjungi Annecy menjadi hal tergila yang Luna lakukan, bersama Naren, tunangannya, ia mewujudkan keinginan sahabatnya yang telah berpulang. Namun, siapa sangka disana hatinya diuji ketika bertemu dengan Rendra. Entah Naren lelaki pilihan o...