BAGIAN 1

508 15 0
                                    

Malam belum lagi larut. Tak heran kalau masih saja ada orang berkeliaran di luaran. Seperti dua orang laki-laki yang tengah menyusuri jalan setapak di Desa Randu Dongkal ini. Kaki mereka telah penuh lumpur. Dan sesekali, terdengar kecipak air ketika kaki mereka menjejak kubangan air. Tadi siang, turun hujan rintik yang tak ada hentinya. Baru ketika menjelang senja, hujan mulai berhenti. Namun tetap saja mendung masih terlihat, membuat langit jadi tampak kelam. Perlahan-lahan hawa dingin merambat semakin menggila. Dan kini tubuh kedua orang itu mulai tampak menggigil.
"Tidak biasanya, malam ini terasa dingin ya, Kang?" kata salah seorang memecah kebisuan yang terjadi sejak tadi. Bila melihat raut wajahnya, orang itu berusia sekitar dua puluh tahun. Parasnya tampan, dengan tubuh besar dan tegap.
"Huh! Kalau saja Paryuni tidak ingin melahirkan sekarang, tak bakalan aku mau keluyuran di malam sedingin ini!"
"Jangan begitu, Gento! Justru di situlah tanggung jawabmu sebagai suami diuji. Jangan enaknya saja yang kau suka!" ujar kawannya sambil terkekeh kecil.
Tubuh orang ini kecil, kumisnya yang melintang bergerak-gerak ketika tertawa. Tingginya hanya sebatas telinga pemuda yang dipanggil Gento. Tapi melihat sorot matanya yang tajam dan langkahnya yang ringan, bisa diukur kalau kepandaiannya tidak rendah.
"He he he...! Dingin-dingin begini, buat apa keluar? Lebih baik mendekap Paryuni," kata Gento diiringi suara terkekeh renyah.
"Brengsek kau, Gento! Ingin membuatku cemburu, ya...?" rutuk laki-laki berkumis melintang itu.
"Makanya cepat-cepat kawin, Kang Badra, untuk apa lama-lama? Itu dengan Lastri bagaimana...?"
Laki-laki berkumis melintang itu menghela napas. Berat sekali rasanya mendengar nama perempuan yang disebutkan Gento tadi. Apalagi untuk bercerita.
"Maaf. Kang Badra. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu," desah Gento begitu menyadari perubahan pada raut wajah orang yang dipanggil Badra.
"Ah, tidak apa-apa...!" sahut Badra, setelah menghela napas. "Barangkali bukan jodoh, mungkin Lastri lebih tertarik pada Purbanta..."
"Purbanta..? Lintah darat yang sering memeras penduduk itu?" Mata Gento kontan terbelalak seperti tak percaya pada pendengarannya. Dan ketika dilihatnya laki-laki itu mengangguk, dia kembali terkesima. "Astaga! Tidak disangka, ya Kang. Kukira Lastri orangnya baik budi. Ternyata hatinya menyimpan kebusukan. Tega benar dia mengkhianatimu!" kata Gento agak mendengus.
"Dia tidak mengkhianati aku, To...."
"Jadi, apa namanya? Memang Purbanta masih bujangan dan kaya raya. Wanita mana yang tidak tertarik padanya? Tetapi dia tak boleh berbuat sesuka hatinya seperti itu!"
"Orang tua Lastri terjerat hutang. Sedang Purbanta terus mendesak dan memaksa. Bahkan belakangan mulai mengancam akan menyita semua harta benda orang tua Lastri yang tersisa. Tapi ternyata, Purbanta menyimpan niat tertentu. Dia menginginkan Lastri...," Jelas Badra dengan suara getir.
"Lalu apakah Lastri mau saja? Dan Kakang tidak berbuat apa-apa untuk mencegahnya...?" desah Gento.
"Apa yang harus kuperbuat jika orang tuanya telah bersedia? Dia pikir aku ini hanya seorang pengembara yang tidak punya pekerjaan tetap. Jika anaknya kawin dengan Purbanta, tentu akan terjamin. Dan tentu saja kehidupan mereka tidak morat-marit lagi"
Gento mengangguk-angguk tanda mengerti. "Aku turut bersedih, Kang. Untung saja lintah darat itu tak berada di desa kita. Kalau tidak, pasti dia pun mengincar Paryuni. Aku tak akan bisa bersikap tabah sepertimu..."
"Sudahlah. Aku tidak mau mengungkit-ungkit peristiwa itu lagi. Dengan mengembara ke mana saja, lama kelamaan bayangan itu akan hilang dengan sendirinya," ujar Badra mantap.
"Jadi, Kakang akan mengembara lagi...?" tanya Gento.
"Benar. Untuk apa aku berada di sini...?"
"Sebagai adik, aku memang tidak berhak mengatur jalan hidup Kakang. Tetapi kalau Kakang terus begini, mana bisa hidup tenang. Kakang harus punya keluarga dan menetap di suatu tempat," desah Gento.
Badra belum sempat menyahut, ketika hidungnya kembang-kempis mencium sesuatu. Dan Gento pun juga merasakannya. Udara yang dingin tiba-tiba bercampur wewangian menyengat. Keduanya mencari-cari sumbernya, tetapi sampai beberapa saat belum diketemukan juga. Seolah sumber wewangian itu menyebar ke segala tempat, terbawa angin yang berhembus menggigilkan.
"Bau harum apa ini, Kang Badra...?" tanya Gento keheranan.
"Entahlah.... Aku juga tidak tahu. Seperti bau harum kembang setaman bercampur kayu cendana. Tetapi kini lebih wangi!" Belum juga kata kata Badra kering...
"Awaaas, Kang...!" Teriak Gento memperingatkan
Mendadak saja sesuatu bayangan putih menyambar ke arah mereka. Cepat bagai kilat mereka melompat ke kiri dan kanan, sehingga sambaran bayangan itu luput. Namun begitu gagal, bayangan itu cepat berputar dan kembali melesat. Kali ini Gento yang menjadi sasaran. Sementara Badra yang sadar kalau adiknya tidak mengerti sama sekali dalam soal ilmu olah kanuragan langsung memapak dengan tangan terkepal.
Plak!
"Ugkh!" Laki-laki itu mengaduh! Wajahnya berkerut menahan sakit. Tangannya seolah olah membentur dinding batu yang keras. Belum lagi disadari apa yang terjadi, telah berdiri tegak seseorang tiga langkah di depannya. Bahkan tahu-tahu tubuh Gento telah dikempit di pinggangnya dalam keadaan tertotok.
"Siapa kau...?" bentak Badra dengan mata terbelalak. Betapa tidak? Bayangan putih tadi ternyata seorang wanita muda berwajah jelita. Kulitnya putih bersih. Hidung yang mancung, bibir merah merekah, serta rambutnya yang hitam panjang bergelombang sampai ke pinggul, membuat sempurna kecantikannya.
Bukan itu saja yang membuat laki-laki berkumis melintang ini terpaku. Pakaian yang dikenakan wanita itu begitu tipis. Sehingga samar-samar lekuk-lekuk tubuhnya yang menggiurkan terlihat. Sintal dan padat, dengan dua buah bukit kembar yang membentuk indah. Dari tubuh wanita itulah tercium bau harum yang membuat setiap laki-laki mabuk kepayang.
"Bocah bagus, namaku Ayu Purwani. Adikmu kupinjam barang sejenak. Setelah itu, akan kukembalikan lagi padamu," sahut si Wanita disertai senyum memikat.
Untuk sesaat laki-laki itu seperti tidak tahu harus berbuat apa. Dipandanginya wanita itu lama sekali, seolah ingin meyakinkan kalau tidak salah lihat.
"Mengapa melamun? Kau tidak keberatan bukan...?" tanya wanita cantik ini memecah keterpakuan Badra.
"Eeeh, tunggu dulu! Mau kau bawa ke mana adikku?" cegah laki-laki itu, ketika perempuan cantik ini berbalik dan melangkah menjauh.
"Hm. Sayang wajahmu tidak memungkinkan. Kalau tidak, aku pun berkenan meminjammu," sahut wanita itu sambil terus melangkah.
"Heee, apa maksudmu...?"
"Maksudku...? Hi hi hi...! Adikmu bertubuh bagus dan wajahnya lumayan. Dan kau mengerti maksudku, bukan...?"
Tersiraplah darah Badra ketika mendengar kata-kata wanita ini. Kesadarannya mulai timbul. Wanita yang mengaku bernama Ayu Purwani ini jelas bukan orang baik-baik. Sebenarnya Badra hendak menghalangi wanita itu membawa adiknya. Tapi dia tidak kuasa menentang sorot mata Ayu Purwani yang penuh daya pemikat luar biasa. Seolah setiap keinginannya harus selalu dipenuhi dan dituruti.
"Setan!" hardik Badra sambil berpaling. Mulai disadari kalau pandangan wanita itu mengandung kekuatan yang tidak wajar. "Lepaskan adikku. Jangan paksa aku berbuat kasar untuk mencegah niat kotormu itu!"
"Hi hi hi...! Boleh juga gertakkanmu. Tetapi kau tidak berhak atas dirinya. Kalau adikmu mau ikut denganku, kau mau bicara apa?" kata Ayu Purwani. Kemudian tangan Ayu Purwani bergerak cepat ke arah punggung Gento. Totokan pemuda itu dilepaskan. Pandangan matanya tak bergeser dari mata Gento. "Bocah bagus, bersediakah ikut denganku?" tanya Ayu Purwani disertai senyum manis.
"Eh, aku..? Tentu saja suka sekali. !" sahut Gento yang sudah berdiri di samping wanita itu.
"Hi hi hi...! Bagus! Bagus!" Ayu Purwani terkikik girang. Lalu kepalanya berpaling pada Badra. "Nah! Kau dengar, bukan...? Dengan suka rela dia ikut denganku. Sekarang, kau pulanglah!"
"Kuntilanak sialan! Kau pasti menggunakan ilmu sihir. Pergilah, dan jangan ganggu kami! Atau aku akan menggunakan kekerasan padamu!" bentak Badra garang.
"Hi hi hi...! Bisa berbuat apa kau padaku? Nih, bawalah dia!"
"Gento! Ayo kita pergi dari tempat ini!" ajak Badra sambil menarik tangan adiknya.
Tetapi tiba-tiba saja Gento menyentakkan lengannya dengan keras. Sehingga cekalan tangan Badra terlepas.
"Gento! Apakah kau benar-benar telah kepincut kuntilanak ini...? Ayo, cepat kita pergi...!" dengus Badra.
"Kakang! Pulanglah lebih dulu! Nanti aku menyusul!" ujar Gento dengan pandangan mata kosong.
"Kau bicara apa, Gento...?" tanya laki-laki berkumis melintang itu sambil membelalakan matanya. Tanpa sadar tangannya terayun ke wajah Gento.
Plak! Plok!
Wajah Gento tampak merah terkena tamparan Badra. Sebagai balasannya, Gento memandang tajam pada kakaknya.
"Bangsat...! Semua ini gara-gara ulahmu!" bentak Badra sambil menyerang Ayu Purwani.
"Hi hi hi...! Kenapa kau marah? Seharusnya kau menyadari kalau tidak berhak mencampuri urusan orang muda!" ejek Ayu Purwani, langsung menghindari serangan itu dengan mudah.
"Setan! Adikku tidak pantas bagi wanita sepertimu!" seru Badra kembali menerjang wanita cantik itu.
Dengan tersenyum penuh ejekan, Ayu Purwani memiringkan tubuhnya. Bahkan dengan jari-jari terbuka, dikirimkannya satu tebasan ke arah leher.
Weeet!
Dengan terkejut, laki-laki berkumis melintang itu segera membuang diri ke samping. Tetapi sebuah tendangan melingkar Ayu Purwani telah melayang cepat ke arah perut Badra.
Begkh!
"Ugkh...!" Badra memekik keras, begitu perutnya terhajar tendangan. Perutnya terasa mual dan kepalanya pening. Tak terasa darah segar menetes dari sudut bibirnya.
"Hi hi hi...! Baru punya kepandaian setahi kuku, mau banyak jual lagak. Seharusnya kau sudah kubunuh sejak tadi!" kata wanita itu, penuh ejekan.
"Keparat! Bunuh saja aku! Aku tak takut mati!" hardik laki-laki itu dengan mata merah.
"Hi hi hi...! Bocah bagus! Kau lihat, bukan? Dia telah mengganggu kita. Orang seperti itu patut menerima hukuman. Butakan matanya. Dan buntungi kedua kakinya!" ujar wanita itu.
Ayu Purwani segera mengeluarkan satu dari sepasang pedang pendek yang terselip di pinggangnya. Tanpa ragu-ragu, Gento yang sudah hilang pikiran warasnya menerima pedang itu dan melangkah mendekati kakaknya. Pedang itu segera diangkatnya tinggi-tinggi.
"Gento, apa yang kau lakukan? ingat! Aku ini Kakangmu, Gento!" Laki-laki itu berteriak untuk menyadarkan adiknya. Tetapi....
Crap! Crappp!
"Aaaa...!" Badra berteriak setinggi langit, ketika pedang itu cepat sekali menembus sepasang matanya. Dengan tubuh terhuyung-huyung, Badra mendekap kedua matanya yang tertembus pedang pendek dengan kedua tangannya. Tampak darah mengalir dari sela-sela jarinya. Sebentar saja, Badra telah ambruk di tanah, tak sadarkan diri. Dan ketika kedua kakinya ditebas, dia sudah tak merasakan apa-apa lagi.
"Hi hi hi...! Bagus! Dengan begitu dia tidak akan mengganggu kesenangan kita lagi!" Wanita itu terkikik kegirangan, setelah Gento menjalankan perintahnya. Dan setelah menotok Gento kembali, wanita cantik itu berkelebat pergi dari tempat ini. Sementara Gento yang masih dalam pengaruh ilmu sirepnya dan tertotok lemas, dibopong di bawah ketiaknya.

***

"Oaa... Oaaa...!"
Keheningan sebuah rumah gubuk di Desa Randu Dongkal pecah oleh tangisan bayi. Sementara perempuan muda di dalam gubuk itu tersenyum lega. Kedua matanya basah oleh air mata haru. Dipandanginya bayi mungil masih merah itu, kemudian dikecupnya perlahan-lahan. Dan tangis bayi itu pun perlahan-lahan mereda. Kemudian mata wanita itu memandangi perempuan tua yang sejak tadi berada di tepi ranjang dengan wajah lesu.
"Mbok.... Kakang Gento ke mana? Sejak semalam hingga pagi ini, dia belum kembali. Apakah dia menemui kesulitan di perjalanan?" tanya wanita muda ini.
"Entahlah, Nduk. Hatiku pun gelisah. Seharusnya dia sudah kembali bersama dukun beranak. Untung kau tidak mengalami kesulitan. Bayi itu keluar dengan mudah," jawab perempuan tua ini.
"Kakang Badra juga belum kembali...?"
Perempuan tua itu menggeleng.
"Ke mana mereka, Mbok...?"
"Mana aku tahu? Bapakmu telah menyusul menjelang pagi tadi. Mudah-mudahan sekarang telah bertemu... "
Ucapan perempuan itu belum selesai, ketika dan kejauhan terdengar bunyi kentongan dipukul bertalu-talu. Keduanya saling berpandangan dengan wajah cemas.
"Mbok, ada apa? Bukankah bunyi kentongan itu menandakan ada seseorang yang kena musibah?"
"Entahlah, Nduk Aku kurang jelas...," desah si Perempuan Tua.
Perempuan tua itu buru-buru membuka pintu depan ketika mendengar ribut-ribut di luar. Di depan pintu, berdiri seorang laki-laki kurus berusia lima puluh lima tahun. Kedua tangannya membopong tubuh seseorang yang ditutupi selimut lebar. Di belakangnya tampak pula seorang pemuda, yang juga membopong sesosok tubuh. Walaupun telah diselimuti kain, masih terlihat tetesan darah yang membuat kain itu jadi berwarna merah. Dengan seketika, wajah perempuan tua itu menjadi pucat.
"Kang, apa yang telah terjadi...?" tanya perempuan tua itu dengan perasaan cemas. Dengan tiba-tiba disingkapnya kain yang menutupi tubuh orang yang dibopong laki-laki tua di depannya. Begitu terbuka, perempuan tua itu memekik sekuatnya. Tubuhnya langsung lemas dan ambruk seketika.
"Mbok, ada apa?"
Mendengar suara orang jatuh, perempuan muda yang berada di ranjang berusaha bangkit. Beberapa orang laki-laki segera menerobos masuk, dan berusaha menahan wanita muda itu agar tidak melihat tubuh yang sedang dibopong laki-laki kurus tadi.
"Lepaskan! Lepaskan aku, ingin kulihat siapa dia...?"
"Paryuni, tenangkan hatimu! Kau masih perlu istirahat...," bujuk salah seorang.
Tetapi perempuan muda bernama Paryuni itu terus meronta-ronta melepaskan diri. Secara tiba-tiba, seperti memiliki tenaga yang berlipat ganda, sekali sentakan dia berhasil melepaskan diri. Kemudian langsung menghambur untuk melihat wajah orang yang sedang dibopong laki-laki tua itu. Ketika kain itu dibuka, Paryuni langsung memekik sekuatnya.
"Kakang Gentooo...!"
Ternyata orang yang dibopong memang Gento. Wajahnya kini terlihat pucat berkeriput, warna kulitnya berubah pucat kekuning-kuningan. Bahkan tubuhnya telah kaku dan dingin. Melihat suaminya tewas secara menyedihkan, Paryuni langsung pingsan. Untung orang yang berdiri dekat dengannya menahan. Langsung Paryuni dibopong dan dibaringkan di tempat tidur.

***

137. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Dewi MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang