Rasa sakit itu mendewasakan

14 1 4
                                    

     Waktu itu, jam istirahat pertama, aku ingin menembak Jerly (menembak disini berarti menjadikannya pacarku). Jerly adalah siswi kelas sebelas, aku mencintainya bukan karena wajah imutnya, tubuh moleknya, ataupun karena dia kaya. Tidak, aku mencintainya karena sifatnya yang terus maju tanpa memedulikan omongan orang lain terhadap dirinya.

     Aku selalu mengamatinya dari jauh sejak dia pertama kali masuk ke sekolah. Aku melihatnya di benci oleh sekelompok gadis sekelasnya, aku mendengar julukan yang tidak masuk akal tentang dirinya - nenek lampir, okky jelly drink, dll yang kalau aku sebutkan sudah menjadi satu bab tersendiri. Tapi aku selalu melihatnya tertawa, bahkan saat berbicara dengan orang yang membencinya. Dia selalu bangkit saat jatuh berapa kali pun. Dan aku mencintainya setengah mati.

     Kembali pada saat aku ingin menembak Jerly.

     Aku berencana menembaknya di kelas 11, yang kebetulan bersebelahan dengan kelasku, kelas 12. Saat aku keluar kelas, aku melihatnya duduk bersila didepan kelas bersama dengan teman-temannya. Aku terdiam, bersandar di samping pintu kelas, karena mendengar obrolan mereka.

     "Mengaku saja, kamu suka sama Salim kan?" Kata salah satu temannya. Salim, teman sekelasku.....
     "Iih apaan sih." Jerly membantah, tapi suaranya meninggi pertanda malu.
     "Kamu tidak pandai berbohong, Jer." Kata temannya yang lain, aku mendengar banyak suara tawa setelahnya.
     "Muu.....oke deh, kalian benar. Aku menyukai Salim, habisnya dia keren." Dadaku menjadi sesak. Rasanya sakit.
     "Iya juga sih, waktu main sepakbola dia kelihatan hebat." Semangatku langsung surut. Lupakan soal menembaknya.

     "Kudengar, semester 1 tadi dia ranking 4." Ahh, aku tidak tahan lagi. Aku harus pergi dari sini.

     Mereka berhenti berbicara tepat pada saat ada suara memanggilku.

     "Mar, kamu sudah mengerjakan pr matematika kan? nomor 4 ini gima-"
    Aku mendongakkan kepala dan melihat Salim. Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku, dia temanku dan bukan dia yang salah apabila Jerly menyukainya.

     "Kamu kenapa? Muka mu pucat sekali seperti melihat hantu."
 

   Aku menarik napas berharap agar suaraku tidak gemetar, "Entahlah, kepalaku tiba-tiba sakit, kurasa ini akibat aku begadang malam tadi."
     "Oh, lebih baik kamu istirahat di musholla."
     "Iya, kamu benar. Makasih Salim."
     "Santai aja." Dia tersenyum.

     Aku pergi meninggalkan kelas. Sesaat aku menengok ke belakang, dan melihat Jerly tersenyum, namun matanya menatap Salim.

* * * * *

     Aku berbaring telentang di lantai musholla. Untuk pertama kalinya aku tahu bagaimana rasanya sakit hati. Tubuhku terasa lelah, rasanya sama seperti saat aku demam.

     Tapi apa yang aku harapkan darinya? Pacaran, lulus lalu bekerja, menikah dan hidup bahagia selamanya. Hahaha jangan bercanda. Hidup tidak senyaman itu, dari dulu juga begitukan?

     Dadaku semakin sakit. Pandanganku mulai buram, jangan menangis bodoh kau kan laki-laki. Aku mencengkeram dadaku kuat-kuat agar bisa mengalihkan rasa sakit itu. Mencoba menahan rasa sakit dengan rasa sakit ya, kelihatannya aneh tapi berhasil.

* * * * *

     Bel pertanda masuk kelas sudah berbunyi. Aku sudah mencoba berdiri, tapi kakiku menolak untuk menopang tubuhku. Alhasil aku hanya duduk bersandar di pojok ruangan. Keheningan pecah saat aku mendengar suara langkah kaki. Lalu ada kepala gundul yang menyembul dari pintu.

     "Azwa ke sini sebentar!" Itu Rafi, si botak berotak mesum, teman sekelasku yang lain.
     "Woyy mar, jangan nge-halu cewek b***l disini, ini musholla!" Lanjutnya.
     "Hahaha." Lihat siapa yang bilang kata tidak senonoh itu di musholla, tapi dia lucu. Wajahnya mirip kelereng yang retak ditengah. Dan aku tidak menyangka bisa tertawa.

     "Apa yang kamu kerjakan disini?" Kepala Azwari menyembul dari pintu. Azwari itu cowok idaman, dia pintar, kuat, baik, humoris, sedikit nakal, dan ganteng.
     "Eh, bukannya jam istirahat sudah habis, kenapa kalian disini?" Tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Azwari.
     "Biasa, jam kosong. Kami ingin ke kantin." Rafi yang menjawab pertanyaanku.
     "Mau ikut? Nanti aku yang traktir." Azwari mengisyaratkan untuk mengikutinya. Aku berdiri dan segera menyusul mereka. Apapun yang terjadi, perut harus jadi prioritas, iya kan?

     Kami menghabiskan banyak waktu dengan membahas tentang perempuan paling cantik yang pernah kami temui -dan menghabiskan uang Azwari tentunya. Aku sedang stress saat itu, jadi wajar kalau aku mencabik-cabik banyak bakwan dengan gigiku.

     Aku merasa baikan saat itu, karena ada teman-teman yang menghiburku. Dan itu yang terpenting.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jawaban Untuk SemuanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang