Imperfect (Because I am Your Home)

6 0 0
                                    

"Mᥱᥒgᥲρᥲ kᥲᥙ mᥱᥒᥲmᥲι koᥒtᥲkkᥙ dᥱᥒgᥲᥒ ᥒᥲmᥲ 'homᥱ'?" tᥲᥒყᥲkᥙ dᥱᥒgᥲᥒ kᥱᥒιᥒg bᥱrkᥱrᥙt.

Dιᥲ tᥱrtᥲᥕᥲ. "Hι Homᥱ! Rᥙmᥲh. Kᥲᥙ ᥲdᥲᥣᥲh rᥙmᥲhkᥙ, tᥱmρᥲtkᥙ ρᥙᥣᥲᥒg. Sᥱjᥲᥙh ᥲρᥲρᥙᥒ ᥲkᥙ ρᥱrgι, ᥲkᥙ ᥲkᥲᥒ tᥱtᥲρ kᥱmbᥲᥣι ρᥲdᥲmᥙ. Akᥙ ιᥒgιᥒ dᥱtᥲk tᥱrᥲkhιrkᥙ ᥲdᥲᥣᥲh sᥲᥲt bᥱrsᥲmᥲmᥙ."

***

Entah sudah berapa kali kata-kata terngiang di telingaku, suaranya terasa bergema, lengkap dengan senyuman teduh Ester yang menari-nari dalam fikiranku.

Kurasakan rahangku mengeras, sedangkan tanganku meremas sebuah kertas bertuliskan "Magazone" dengan huruf kapital. Sebuah surat kabar. Sekilas tidak ada yang istimewa dengan surat kabar ini, kecuali sebuah gambar wajah cantik berbaju balet yang menghiasi headline dengan judul "BALERINA CANTIK ESTER JUNG DIREKRUT OLEH SEBUAH AKADEMI BALET TERNAMA DI AMERIKA."

Untuk pertama kalinya aku merasa ingin menyobek surat kabar yang kuterbitkan. Ya, surat kabar itu diterbitkan oleh perusahaan pers yang kudirikan sejak 5 tahun lalu. Surat kabar yang membuatku mengenal Ester, seorang balerina berbakat di tanah air yang sudah menjadi kekasihku selama 3 tahun.

Aku perlahan bangkit dari meja kerjaku, lalu menyambar kunci mobil.

Kami harus segera bertemu!

Porsche Panamera putih yang telah menemaniku selama 2 tahun ini kulajukan kencang menuju Sunghee Ballet Academy.

***

Perempuan itu sedang menari dengan lincah, tubuh ramping namun berisi yang ia miliki, meliuk-liuk indah. Sejenak aku terpesona, selalu. Segala hal tentang Ester memang mampu membuatku terdiam dalam pesonanya.

Gerakan Ester melambat, sepertinya ia sudah menyadari keberadaanku.

"Kau tak menelponku dulu." Dia membalikkan tubuhnya.

Aku menatapnya tajam, lalu mengangkat surat kabar yang kubawa, "Aku butuh penjelasan."

Dia tak terlihat kaget. "Seminggu lalu aku mendapat kabar dari pelatihku. Dia merekomendasikanku ke sebuah akademi balet cukup ternama di Amerika, dan aku diterima. Ini adalah kesempatan emas bagiku untuk menjadi balerina kelas dunia. Kesempatan ini tidak mungkin ku sia-siakan. Aku harap kau mengerti."

Sebelah alisku naik. "Lalu meninggalkanku? Kau anggap hubungan kita selama 3 tahun hanya main-main?!"

Ester menunduk sambil menggigit bibir, "Maafkan aku Sehun-a. Sama seperti Magazone yang sangat penting bagimu. Begitu juga bagiku, balet adalah cita-cita terbesarku".

Aku termenung, kulihat Ester telah berpindah ke sudut ruangan dan mengemasi barangnya. Dia melewatiku begitu saja.

"Bandara Incheon, tanggal 10 nanti, jam 9 pagi, datanglah untuk mengantarku."

Lalu dia pergi begitu saja, meninggalkanku tanpa berniat pulang bersama.
Rasanya menyesakkan, seperti sebuah gambaran bahwa sebentar lagi akan ada benar-benar pergi.

***

30 Juli 2022

Ini adalah hari ketiga aku 'mengurung' diri, bertepatan dengan hari keberangkatan Ester. Tiga puluh menit lagi, dan dia akan pergi.

Kusesap gelas berisi wine, gelas ketujuh. Ester telah membuatku kacau dan melarikan diri ke minuman. Semua karyawan Magazons kuliburkan hari ini. Sekarang aku benar-benar sendirian dalam semua makna.

Ujung gelas hampir mencapai bibirku saat kurasakan getaran ponsel di dalam saku celanaku. Dengan malas kuambil ponsel berlogo buah sumbing itu.

Estᥱr's Mothᥱr ιs ᥴᥲᥣᥣιᥒg

"Ada apa halmeoni?" tanyaku sopan. Walaupun putrinya telah membuatku kacau dan mematahkan hatiku, tetapi aku tak akan tega berkata kasar kepada wanita yang telah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri.

Terdengar suara isak tangis, hanya beberapa kata, tanpa berfikir lagi segera kusambar kunci mobilku dan melaju menuju tempat yang ia sebutkan. Rumah Sakit Seoul.

***

Rumah sakit adalah tempat yang paling kubenci. Lagipula tidak ada orang yang akan menyukai rasa sakit, bau obat-obatan, dan para manusia yang berwajah cemas.

Namun, sayangnya sekarang aku mengalami hal-hal. Melihat ester yang terduduk di atas kursi roda dengan tatapan kosong, menghadirkan rasa bersalah dalam hatiku. Berhari-hari dia tidak mau mengunci mulutnya mulutnya, mengacuhkanku.

Hingga pada hari ke tujuh, ester tiba-tiba meraung keras dan memukul kedua kakinya dengan membabi buta.

Kupeluk tubuhnya yang mulai mengurus. Ia menangis di pundakku. "Balet adalah impian terbesarku..." isaknya.

Kulonggarkan pelukan kami, lalu aku berlutut. Mengambil sebelah tangannya yang ringkih, "Kau masih bisa mewujudkan impianmu yang lain." Sebelah tanganku segera merogoh sesuatu di dalam saku celana. Sebuah kotak beludru kecil berwarna marun.

Kutarik nafasku dalam-dalam. "Menikahlah denganku, ester. Dulu, itu adalah salah satu impianmu. Ayo kita bangun keluarga kecil kita."

Dia terbelalak, menutup mulutnya dengan sebelah tangan, lalu mengangguk samar.

Hanya sebuah anggukan kecil, bahkan hampir tak terlihat. Tanpa suara dan senyuman. Namun, mampu membuatku terasa berhenti memijak bumi.

***

Dᥙᥲ tᥲhᥙᥒ kᥱmᥙdιᥲᥒ.

Mengajak Ester jalan-jalan di taman adalah satu runitasku setiap sore selama beberapa belakangan ini. Ester menyukai bunga. Balet, bunga, dan anak-anak, tiga hal yang paling ia sukai. Di taman banyak terdapat anak-anak yang sedang bermain. Apalagi sekarang musim semi telah datang, menguarkan bau dedaunan dan bunga-bunga yang harum.

Sejenak kulepaskan pegangan pada kursi roda Ester. Kupetik sekuncup bunga berwarna merah muda yang ada disampingku, entahlah aku tak tahu namanya.

"Bunga yang cantik untuk 'bunga' yang lebih cantik." Sambil berlutut menumpuhkan kakiku di atas rumput, kusodorkan bunga yang telah kupetik kepada Ester. Dia menerimanya dengan senyuman.

"Dua tahun kita menikah, kau masih saja sangat manis kepada wanita cacat ini," kekehnya tanpa beban. Ester memang sudah melupakan keinginannya untuk menjadi balerina internasional. Dengan kedua kaki yang lumpuh selama dua tahun, ester menyerah dengan mimpinya. Sekarang ia hanya fokus dengan kesehatannya dan juga calon bayi kami.

"Apa kau ingin melihat anak-anak itu secara lebih dekat?" tunjukku ke arah sekumpulan bocah berusia sekitar 6-7 tahun yang sedang bermain bola tak jauh dari tempat kami.

Ester mengangguk, "Iya, aku kesana sendiri ya!" katanya dengan mata berbinar.

"Baiklah, hati-hati dan jaga calon anak kita." Kucium keningnya sekilas dan kuusap perutnya.

Ester memutar roda kursinya dengan tangan dan perlahan menjauh. Aku mengawasinya dari jauh. Sesekali ia tersenyum melihat anak-anak kecil itu.

Senyum lamanya yang tulus dan ceria telah kembali, walaupun tanpa balet. Karena yang ia butuhkan hanya aku. Seperti kata-katanya dulu, sejauh apapun ia berusaha pergi, tetapi tetap saja ia akan kembali padaku.

Ya walaupun dulu ia pernah ingin meninggalkanku demi balet. Walaupun dulu sebenarnya aku hanya ingin dia sedikit terluka agar bisa mengundur waktu keberangkatanannya, tetapi orang-orang suruhanku malah membuat ia 'kehilangan' kedua kakinya dalam kecelakaan itu.

Tapi aku bersyukur, karena kecelakaan itu kami tidak jadi berpisah.

Ester tidak bisa pergi lagi dariku dan tanpaku. Karena, aku adalah rumah baginya.

———————The End——————

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 05, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pieces of the MoonWhere stories live. Discover now