"Kak, Bapak kenapa kok dari tadi diam saja di dapur?" Terlihat jelas warna cemas di kedua bola mata Mama yang tak lagi jernih ketika menatapku.
Aku menggeleng lemah. Rasa cemasku sama besarnya dengan yang dirasakan Mama, tapi aku terlalu pengecut untuk bertanya.
Hingga kemudian di sore hari, aku sengaja membeli gorengan. Agar kami berkumpul di lincak seperti sore biasanya, bermain dengan Tanny dan Holly seperti biasanya, dan membahas apa saja seperti biasanya.
Tapi sore itu sendu. Bahkan Holly yang biasa menjahili Tanny berubah menjadi pendiam di dekat pintu.
"Pak Dukuh kemarin.. Ada apa?" tanyaku sebisa mungkin dengan nada biasa sembari mencomot tahu susur.
"Anu Kak.. Beberapa hari yang lalu ternyata di pasar ada yang positif corona."
Lamat-lamat kudengar suara Bapak mulai bergetar.
Dan entah kenapa tahu susur yang kumakan mendadak susah ditelan, "Iya kah? Terus pasar ditutup apa bagaimana Pak?" tanyaku.
"Iya." Mata Bapak menerawang jauh sembari menyesap teh pahit buatan Mama.
"Bapak besok di minta tes di RS khusus. Jam 8." sambungnya.
Hening.
Seperti biasa Mama diam menatap jalanan yang mulai sepi, tapi aku bisa melihat bola matanya bergetar. Adikku termangu, perhatiannya teralihkan dari ponsel. Hawa dingin malam mulai menyeruak. Lebih dingin dari malam sebelumnya.
Aku berdehem, mencoba bersikap biasa saja.
"Ya sudah besok tes saja Pak, setidaknya tes itu tidak merugikan, iya kan? Dan.. ikut tes bukan berarti positif, itu hanya memastikan kalau kita negatif." ulasku.
Hening.
Mama masih menatap jalanan. Adikku masih tenggelam dalam pikirannya. Dan Bapak..
"Iya, besok Bapak kesana. Doakan saja semua baik-baik saja ya."
Aku mengangguk dalam diam.
"Bapak ada gejala?" tanya Adikku.
"Tidak ada, nak. Bukankah corona hanya menyerang yang imunnya lemah saja kan? Yang rentan kena corona itu yang punya penyakit paru-paru kan? Iya kan Kak?"
Aku menelan ludah.
"Iya." lirihku, "Bapak tenang saja."
Entah kenapa firasatku berkata lain. Bukannya mendoakan hal yang buruk, tapi, perasaanku memang berkata demikian.
Sejak corona mewabah, aku sangat khawatir dengan Bapak dan Mama.
Bapak yang bekerja di sebuah pasar menurutku juga rentan. Disana banyak orang dari berbagai daerah, jaga jarak dan pakai masker seolah tidak berlaku. Mereka berbicara seperti biasa, saling berdekatan. Dan jika ada yang flu atau batuk, mereka selalu berfikir bahwa itu hanya flu dan batuk biasa.
Dan Mama, aku sangat khawatir dengan Mama. Fisik Mama lemah, sangat lemah. Aku benar-benar khawatir dengan mereka berdua.
Mendadak Mama berdiri, "Mama masuk dulu ya, mau nonton tv. Gorengannya di habiskan saja. Ayo dik bantu Mama nyalain tv."
Serta merta Adikku masuk mengikuti Mama.
Aku tahu, Mama tidak benar-benar nonton tv. Tv memang menyala, tapi fikiran Mama terbang entah kemana. Memikirkan banyak hal. Mengkhawatirkan banyak hal.
Tv hanyalah alasan agar Mama bisa diam merenung tanpa diganggu, sehingga orang akan menganggap Mama tenggelam dalam cerita di tv.
Aku paham betul itu."Kak tidur saja, besok harus kerja kan."
"Bapak tidak tidur?"
"Nanti, Bapak masih mau memberi makan Tanny dan Holly. Tidur dulu saja sana Kak."
Aku menatapnya sejenak sebelum beranjak ke kamar.
Aku mengerti, Bapak butuh waktu untuk membunuh semua prasangkanya.
Namun semakin larut malam menelan, Bapak belum juga masuk rumah. Waktu kuintip dari jendela, Bapak masih duduk di lincak menemani Tanny dan Holly.
"Pak, ini hampir jam 1 pagi, ayo masuk dan tidur."
"Kakak kok belum tidur juga? Jangan memikirkan Bapak, Bapak hanya belum ngantuk."
Aku mengalah masuk.
"Bapak belum tidur?" Adikku muncul dari kegelapan ruang tamu, bertanya padaku.
Aku mengangguk.
Adikku bergegas ke depan rumah, membuka pintu dengan suara keras.
"Ayo tidur pak, sudah pagi. Bapak tidak mau kan gegara begadang malah mempengaruhi hasilnya?! Kalau tidak peduli ya sudah tidak tidur sekalian terserah."
BRAKKK.
Aku menatapnya tajam dari balik pintu.
Adikku hanya mengangkat bahu, "Kalau tidak begitu bisa jadi Bapak tidak tidur."
"Itu keterlaluan."
"Tidak perlu memperlihatkan wajah kasihan, nanti yang ada Bapak merasa tidak enak hati dengan kita semua."
Aku menghela nafas. Adikku ada benarnya, tapi juga ada keterlaluannya.
Ceklek.
Buru-buru aku bergelung dalam selimut jarik. Kudengar langkah Bapak yang pelan menuju kamarnya.
Hening?
Tidak. Aku masih mendengar bunyi tust hp yang ditekan dari dalam kamar Bapak.Malam itu bintang pun bersembunyi. Aku tertidur dengan suara tust hp.
"Ya Allah, lindungilah keluargaku." bisikku dengan mata terpejam diujung tidur yang tak lelap.
Aku bisa merasakan air mataku mengalir sebelum benar-benar jatuh tertidur.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/234440059-288-k669352.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Isolation
RandomSemua orang membutuhkan seseorang untuk bersandar. Semua orang membutuhkan tempat untuk kembali. Bahkan orang seperti aku pun, juga membutuhkan semua itu.