Hei, coba kau bayangkan.
Dirimu melangkah dalam kegelapan sementara jemarimu yang mulai mengkerut kedinginan mencoba menggapai apa saja untuk di jadikan pegangan.
Tapi tak juga kau temukan, bahkan seuntai sulur pun tidak.Perlahan ketakutan mulai menjeratmu, bagaimana jika ada lubang didepanmu? Bagaimana jika ada semak berduri yang siap menggores kaki telanjangmu? Bagaimana jika ada batu sandungan?
Aku seperti buta.Ah, jangankan semua itu. Hanya kegelapan saja sudah membuatmu merasa sesak. Merasa frustasi. Merasa ingin berteriak kalap merobeknya.
Tak ubahnya seperti tenggelam. Aku paling benci dengan air. Karena aku takut. Aku takut ketika kakiku tidak menyentuh alas, aku takut ketika tanganku tidak bisa berpegangan pada sesuatu, aku takut ketika tak bisa menggerakkan tubuhku dengan bebas, aku takut. Ketika tenggorokanku tercekat tak bisa bernafas. Aku sangat takut.
"Semua yang akan terjadi akan tetap terjadi." Seseorang pernah berkata demikian di masa laluku.
"Daripada mencari sendal untuk kakimu, atau sarung tangan untuk melindungi jemarimu, lebih baik persiapkan dirimu agar tidak terlalu terluka ketika jatuh. Kesehatan jiwamu lebih penting daripada sandal dan sarung tangan."
Waktu itu aku menjawab dengan senyuman sembari menyeruput coklat hangat. Udara malam di atas jembatan tidak begitu dingin. Justru terasa lebih hangat daripada di depan perapian.
Ya, waktu itu aku merasa bisa mengatasi semuanya. Dan aku memang bisa melewati segalanya dengan mudah.
Karena ada dia.
Karena aku memilikinya.Huffftt.
"Mencoba bersikap waras disaat seperti ini ternyata susah ya." bisikku menatap sebuah potret usang.
Dia menatapku, lengkap dengan boxy smile-nya yang kukagumi.
"Apa semua akan baik-baik saja?" lirihku.
Dia masih tersenyum. Sepasang mata coklatnya membentuk garis lengkung selaksa pelangi. Seolah menjanjikan hal indah nantinya.
Benar, ini hanya kekhawatiranku saja. Semua pasti akan baik-baik saja.
Iya kan?
"Kak, makan dulu."
Aku tergagap menyadari Mama sudah diambang pintu kamarku. Buru-buru kusimpan foto usang itu ke dalam dompet.
"Bapak diajak makan ya." kata Mama yang kemudian memilih menyibukkan diri memasukkan makanan ke kulkas.
"Ada susu, Ma?" tanya Adik.
"Susunya tinggal sedikit, mau di minum?"
"Biarkan buat Bapak saja." ulasku.
"Apa yang buat Bapak?" Bapak muncul di ambang pintu ruang tamu.
Masker coklat pemberianku membuat wajah Bapak terlihat sangat kurus.
Aku dulu tidak mau memakainya karena ukuran yang terlalu besar. Bapakku kemudian memintanya.
Dan alhasil, maskernya tetap kebesaran.Ah iya, aku lupa belum menceritakan. Kemarin Bapak sudah melakukan pemeriksaan. Dan semenjak pulang dari sana, Bapak berubah menjadi sangat pendiam. Aku tahu, banyak kekhawatiran yang di pendamnya.
"Ayo makan Pak." ajakku sambil berlalu ke dapur.
"Bapak sudah makan. Tadi Bapak membuat mie instan, pedas lho, Kakak pasti suka." jawabnya.
Tanganku sejenak terhenti mengambil nasi dari ketel. Entah mengapa tapi kali ini aku sedang tidak selera dengan mie instan.
"Iya nanti ku ambil. Aku mau makan masakan Mama dulu ya."kilahku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Isolation
DiversosSemua orang membutuhkan seseorang untuk bersandar. Semua orang membutuhkan tempat untuk kembali. Bahkan orang seperti aku pun, juga membutuhkan semua itu.