Bagian 3

15 2 0
                                    

Sejenak Kilas Balik

Berbagai pertanyaan menyerang alam bawah sadarku. Tanpa sengaja aku mengingat kembali hawa membunuh yang terpancar dari hantu itu. Seketika, bulu kudukku merinding.

DEG. Tiba-tiba, aku dikejutkan dengan tepukan di bahuku.

Adegan selanjutnya...

Degup jantungku meningkat drastis. 'Semoga bukan apa apa ya Allah'. Sambil mengucap bismillah dalam hati, perlahan-lahan kutengok ke samping.

Alhamdulilah, ternyata cuma Maul. Lega sekali. Kepalaku seperti disiram air es. Langsung kudekap ia. Dalam kondisi terjepit kerumunan dan dilihat banyak pasang mata, aku acuh. Aku takut sekali tadi. Mataku sudah berkaca-kaca dan badanku gemetar. Maul yang sudah terbiasa dengan kondisiku hanya menepuk-nepuk bahuku. "Kenapa Li? Penyakit lo kumat lagi ya?" sambil tertawa ia mengejekku. Langsung kulepas pelukanku dan kubalas dengan tatapan sebal. 'Tunggu aja sampe di kosan, awas lu Maul' batinku sambil mengusap mataku.

Tanpa kusadari, hantu lelaki itu juga berada tepat di samping kiriku. Mata kelamnya yang tertutup poni awut-awutan menatapku lekat sedari tadi. Entah bagaimana aura membunuhnya menghilang dari radarku. Belum sempat aku menoleh dan bertatap muka dengannya, terdengar suara Rey yang berdehem cukup keras. Entah apa maksudnya tapi sukses mengalihkan fokusku. Beberapa orang yang tadinya sempat memperhatikan aku dan Maul yang berpelukan juga langsung mengalihkan perhatian.

Rey mulai berbicara dengan Kak Aidan yang sudah diberi minum. "Kak, kita harus segera ke rumah sakit. Luka di kepala Kak Ilham cukup parah. Tim medis sudah menghubungi ambulans sejak tadi. Mereka dalam perjalanan kemari." jelasnya.

"Ilham terluka? Bagaimana kondisinya?" sahut lelaki itu sambil menoleh mencari sahabatnya.  "Kak Ilham mengalami pendarahan dan lebam di kepala, diperkirakan karena benturan dengan dayung atau badan perahu." jawab Rey. "Astaghfirullahaladzim, Ilham! Oke, bawa anak-anak ke lokasi bis, ASAP. Tandunya ada kan?" tanya Kak Aidan. "Tandu darurat sudah disiapkan.  Kita bisa kembali sekarang." jawab Rey cepat.

Dengan perintah Kak Aidan selaku wakil ketua, kami semua patuh kembali ke lokasi bis. Lelaki dibagi dua kelompok di bagian depan dan belakang mengapit rombongan wanita. Kak Aidan dipapah Rey dan temannya berada di barisan depan, sementara Kak Ilham ditandu di belakangnya.

Sosok lelaki itu tidak kutemukan lagi keberadaannya. Padahal aku sudah melipir ke samping rombongan, menggaet Maul untuk mengajukan diri menjadi tim pengawas bersama segelintir teman yang lain. Meskipun demikian, kulihat kondisi rombongan sudah sedikit membaik. Suara tangis tinggal sesenggukan kecil. Sekelompok lelaki di ekor rombongan saling membuat jokes garing untuk mencarikan ketegangan. Tapi tetap saja, kejadian tadi pasti berbekas bagi semua orang, dan menghilangkan mood untuk bersenang-senang.

Sampai lokasi bis, beruntung sekali ambulans sudah terparkir rapi dengan tiga orang petugas medis di dekatnya sedang bertanya pada sopir bis. Kak Aidan, Rey, Kak Ilham, juga seorang tim medis lain masuk ke ambulans, sementara yang lain kembali ke bis.

Belum sampai aku meletakkan pantat dengan nyaman, langsung terdengar seruan salah satu fans Kak Ilham. "Gais, ayo kita jenguk Kak Ilham. Bis ini isinya yang mau ke rumah sakit saja ya. Bagi yang mau langsung pulang ke kampus bisa naik bis sebelah." Terdengar seruan-seruan penolakan dari gerombolan lelaki di kursi belakang dan terjadilah sedikit cekcok. Pada akhirnya, tetap saja pendapat pertama menang karena pendukungnya lebih banyak. Sebagian besar lelaki turun dan pindah bis dan lebih dari separuh bis berisi wanita. Bisa ditebak bukan? Fanatisme pendukung duo pangeran itu memang luar biasa.

Aku sih senang-senang saja karena tidak perlu repot menyewa ojol untuk menjenguk mereka. Tentu saja tujuanku bukan si pangeran es. Tapi tetap saja, atas dasar kemanusian dan ajaran agama, orang yang sakit perlu dijenguk bukan?

Alasan itu pula yang kugunakan untuk menahan Maul tidak pindah bis. Walaupun aku tidak bisa menahan Eliza juga. Hal itu karena, berbeda dengan kami, Eliza sangat pemalu dan tidak menyukai keramaian. Sudah sangat beruntung ia mau menerima ajakan kami untuk masuk dan bertahan di organisasi ini.

Sepanjang jalan aku mencoba mengaitkan benang merah antara sosok hantu itu dengan Kak Ilham dan Kak Aidan, semantara Maul dengan santainya tertidur. Awalnya mau kuceritakan padanya, tapi Maul menolak. "Mending nanti aja kalo udah di kosan. Aku ngantuk banget, semalem begadang ngedeadline." 'Memang temanku ini asdfghjkl, untung sayang,'

Tapi sayangnya nihil. Aku tidak mengingat apapun. Aku tidak mengenal mereka sebegitu dalam. Lalu aku pun teringat bapak penyewa sampan. 'Kemana perginya ya bapak itu?' Aku mulai merangkai kemungkinan-kemungkinan. Kucatat semuanya dalam buku kecil yang selalu kubawa. Coretan tidak jelas lebih tepatnya, karena hanya potongan informasi umum yang bisa kutemukan. Namun, aku belum berani menceritakannya, bahkan pada Maul. Karena bila itu semua salah, maka informasiku adalah fitnah, dan itu dosa. Aku sangat tidak mau itu terjadi.

Tak terasa waktu bergulir, sampailah kami di rumah sakit, tepat saat adzan ashar. Rombongan pun terbagi dua, ada yang menuju masjid dan ada yang langsung mencari IGD. Aku pun berpisah dengan Maul karena sedang berhalangan. Aku pun langsung saja ke IGD bersama rombongan fans duo pangeran. 

Di dalam bilik IGD, kulihat si pangeran es itu terbaring lemah dengan juntaian selang infus di sebelahnya. Kain di kepalanya sudah diganti dengan perban yang baru dan bersih. Wajahnya tampak lebih mendingan, teduh dan damai walaupun masih pucat. Kami pun berdoa untuknya dilanjutkan mengobrol dengan Raka dan teman tim medis lain. 

Kemudian, baru teringat bahwa kami tidak membawa buah tangan apapun. Fans pangeran es langsung ribut mengusulkan ide membeli buah dan roti. Terpaksa kami keluar dari ruang IGD karena peringatan dari seorang perawat. Mulailah dikumpulkan iuran sukalera dan perdebatan panjang antara ingin memesan lewat ojol atau memanggil teman yang tinggal dekat situ untuk membelikan dan mengantarkan.

Di tengah keruwetan itu, dengan menyebalkannya, aku tetap saja teringat pangeranku. Kutengok kesana-kemari, tak kujumpai Kak Aidan. Hanya ada Rey dan temannya itu di ruang IGD. Aku pun berjalan ke kamar mandi di sebelah. Selain memang ada panggilan alam, siapa tahu kan Kak Aidan ke toilet. Dan ternyata...

P.S. Saya mohon maaf untuk semua pembaca yang menunggu kelanjutan cerita ini. Butuh waktu cukup lama untuk meyakinkan hati dan memposting chapter ini karena masih banyak kekurangan. Saya sangat mengharapkan dukungan serta kritik saran yang membangun dari teman-teman pembaca untuk kelanjutan kisah ini. Terimakasih :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Black NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang