Mau makan apa?

4.7K 414 23
                                    

Banyu berharap, apa yang dilakukan Ara kemarin tidak terulang lagi. Ia tidak suka jika Ara terlalu sering bercanda dengan laki-laki manapun. Selain alasan cemburu, harga diri yang paling utama dijaga oleh laki-laki dewasa tersebut.

Malam itu, mereka berdua baru selesai melaksanakan sholat maghrib. Sebelum Ara turun membantu ibu mertuanya, Banyu duluan menarik wanita itu.
.
"Malam ini Abang mau makan di luar."

"Nggak ada."

"Abang pengen, Dek."

Ara geli setiap kali Banyu memanggil sebutan 'dek'.

"Awalnya makan di luar, lama-lama jajan di luar. Salah istri kalau di biarin."

Jajan di luar? Parah pikiran Ara. "Abang ngajak kamu juga. Nggak sendirian."

"Banyak pasangan di luar sana yang jalan berdua, tapi hatinya bertiga."

"Kamu ngomong apa sih Dek?"

"Kalau mau makan, turun. Nggak mau, puasa aja. Kok repot!"

Tinggal makan. Nggak nyuruh masak. Mau makan di luar? Ngapain juga tadi sore masak?

"Abang pengen."

"Sama aja. Makannya nasi. Iya kalau beda."

Banyu tersenyum dalam diamnya. Gemas, betapa cerwetnya Ara.

"Suami itu harus ngertiin, gimana usaha istri. Jangan dikit-dikit nggak enak, makan di luar," sambung Ara melepaskan kaitan tangan Banyu di perutnya.

"Mau ke mana?"

"Ngasih makan cacing."

Gelakan tawa Banyu, diam-diam menumbuhkan bunga di dada Ara. Tawa laki-laki itu lepas, dan Ara suka.

"Sekalian cacing Abang?"

"Kasih sendiri."

Dalam sekali tarikan, tubuh mungil Ara masuk dalam pelukan Banyu.

"Makasih, udah mau jadi istri Abang. Jangan jauh-jauh." ucapan Banyu meredam dalam pelukan itu. Dan, sambutan Ara luar biasa hingga ia tidak kuasa untuk tidak menjahili istrinya itu, "Rambutmu bau pesing, Ra."

"Pasti pesing Abang tu!"

Banyu tertawa keras. Sedikitpun istrinya tidak mau mengalah. Tapi, ia suka. Rame jadinya. Kutukan Ara padanya terkabulkan. Ia mendapatkan istri dengan mulut level terpedas. Ditambah cantik. Allah memang Maha baik.

Satu bulan hidup bersama dengan Ara, kedekatan mereka bagaikan setahun. Mungkin karena hubungan keluarga mereka yang baik, dan mengingat betapa seringnya Ara mondar mandir di rumahnya.

Chemistry itu sudah ada sebenarnya. Hanya gengsi yang saat itu masih menahan keduanya. Yang jelas, sekarang Banyu bisa merasakan pentingnya sosok Ara dalam hidupnya.

Cinta? Entahlah. Takut kehilangan dan merasa nyaman, apa itu bukan cinta? Dada berdebar setiap kali melihat senyumnya, bukankah itu tentang rasa?

Turun bersama ke bawah, Ara melihat ayah dan ibu mertuanya sudah menunggu mereka.

"Sudah makan ya kalian?" tanya Darma.

"Belum. Kan ini mau makan." Ara yang menjawab. Di samping Farida, ibu mertuanya ia menarik bangku. Sedangkan, Banyu duduk di samping ayahnya.

"Ibu sudah bilang bu Haji Dariah. Besok jangan kesiangan."

Ara mengangguk. Ia menikah dengan laki-laki yang mengalir darah Aceh, jadi ia harus mengikuti adat ibu mertuanya.

"Ada apa? Kok pake bu Haji?"

"Peusijuk Ara."

Sedikitnya, Banyu mengerti. Tapi ia tidak tahu untuk apa. "Memangnya Ara kenapa?" karena mereka udah melakukan ritual itu saat nikahan satu bulan yang lalu.

"Biasa," sahut Farida singkat. Dipikirnya, Banyu mengerti.

"Apa sih? Aku nggak ngerti Bu."

"Istrimu hamil kamu nggak tahu juga?" akhirnya Farida yang geram melihat anaknya.

Apa? Hamil? Mana ia tahu. Yang hamil Ara bukan dirinya.

"Kenapa nggak ngasih tahu Abang?" tanya Banyu pada Ara yang sedang mengisi piring untuknya.

"Lama-lama juga tahu, Abang."

Lama-lama?

"Perut orang hamil itu makin lama makin gede," lanjut Ara sambil menyodorkan piring untuk Banyu yang sudah terisi lauk ikan tongkol sambel dan sayur bayam tumis.

Gede itu nggak sebulan. Minimal 3 bulan ia baru bisa melihat perubahan perut Ara. Dan se-tega itu Ara menutupi kabar bahagia ini?

"Abang nggak lapar."

Banyu meninggalkan ruang makan dan kembali naik ke kamarnya.

Marah pada sikap sepihak Ara. Banyu tidak bisa menerima. Ini tentang perasaannya yang diabaikan Ara. Bagaimana mungkin kabar itu disembunyikan Ara darinya? Bukankah ada perannya sampai rahim wanita itu terisi?

"Abang jangan drama deh. Ara lapar ni."

"Aku nggak larang kamu makan."

"Gara-gara Ara nggak ngasih tau Ara bunting?"

Banyu memejamkan matanya, ketika mendengar kalimat Ara. Tidak adakah kata yang lebih bagus selain bunting?

"Ara baru cek seminggu yang lalu. Bukan nggak ngasih tau."

"Iya. Kamu nggak sengaja. Sana keluar, makan." tanggapan dingin dari Banyu membuat Ara geram. Faedahnya apa coba. Kan ia hamil anak Banyu, bukan anak Kingkong, kenapa Banyu se-ribet ini?

"Ya udah kalau Abang nggak mau makan. Ara juga nggak. Yang lapar kan anak kita juga."

Eh. Enak aja wanita itu ngomong. Kalau mau lapar, sendiri aja. Jangan ngajak dedek.

"Aku marah, Ra."

"Sama," balas Ara. "Nggak tahu apa, Ara lapar!"

Sebenarnya yang berhak marah di sini siapa?

"Bentar lagi juga jadi Daddy. Perangai masih macam ABG."

Apa? Kenapa Ara malah mengatainya? Apa wanita itu tidak merasa bersalah setelah menyembunyikan kehamilannya?

"Apa orang kerja bengkel, rata-rata macam Abang?"

"Apa maksudmu?"

"Dikit-dikit emosi." Ara menaikkan suhu pendingin ruangan dengan maksud mendinginkan hati Banyu yang dipikirnya tengah panas.

Banyu tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangan ke jendela kaca kamarnya.

"Udah tau Ara hamil, harusnya senang. Bukan nyalahin Ara. Nggak sengajapun Ara nggak ngasih tahu Abang." pikiran Ara nggak ribet. Hamil ya Alhamdulillah. Nanti Banyu juga tahu.

Sama halnya dengan Banyu. Laki-laki itu juga tidak ribet. Ia hanya mau Ara memberitahunya terkait kehamilan itu.

"Sekarang matiin lampu. Tarik kelambu, tidur." Ara melakukan apa yang dikatakannya. Kemudian naik ke atas ranjang. "Besok bangun pagi-pagi makan."

Dengan cepat Banyu menyalakan lampu yang dimatikan Ara dan kembali ke ranjang.

"Bangun. Kita turun makan."

"Nanti, kalau Abang nggak sensi lagi."

"Turun, Ra. Kita makan."

"Abang yakin mau makan?"

"Ara!"

Ara bangun dari posisi berbaringnya, dan melingkarkan tangan di leher Banyu dan memeluknya dengan erat. Ia tahu, itu permintaan maaf wanita tersebut. Dan pelukan itu disambut hangat oleh Banyu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ranjang TetanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang