r u m a h

818 146 12
                                    


r u m a h

.

.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

.

as i grow older,

i notice birthday does not look as special as i was 10 years old.

instead of parties and celebrations, do you ever want to just sit at the rooftop, looking at the stars, romanticizing and asking yourself how much life gave you shocked as the way you are now?

(Leony Jardine, Remedies for The Broken)

.

Lepas mendorong pintu hingga mengayun terbuka dan melangkah masuk, Sasuke menghela napas. Tidak ada yang menyambutnya disana kecuali lampu yang seketika menyala. Hal yang wajar mengingat saat ini sudah nyaris tengah malam. Maka tanpa bersuara, ia melepaskan sepatu dan meletakkannya di rak paling atas. Lalu berhati-hati melangkah di atas lantai kayu rumahnya menuju kamar mandi.

Pria itu membasuh wajahnya di wastafel, membiarkan dinginnya air turut serta melunturkan kepayang sisa alkohol yang ia tenggak beberapa saat lalu. Dan selang beberapa saat, mengeringkan wajah dengan handuk yang tersedia di tepi wastafel. Ia membeku kemudian, dengan wajah separuh kering dan sebelah tangan mencengkeram tepian keramik wastafel. Sepasang obsidiannya memandang cermin yang menggantung persis menghadapnya, memperhatikan pantulan lelaki muda dengan wajah yang sama sekali tak kelihatan bahagia.

Ini adalah malam ulang tahunnya, satu dari sekian banyak hal yang seharusnya membawa suka cita. Namun alih-alih, ia menghabiskannya bersama para kolega bermuka dua, berpura-pura gembira dengan pesta yang mereka cipta. Mengisi luangnya dengan bergelas-gelas atau bahkan berbotol-botol alkohol yang membuat kepalanya ringan demi bisa bertahan. Tak bisa jujur kepada dunia bahwa apa yang terjadi sesungguhnya memuakkan.

Sasuke mengangkat sebelah tangannya ke udara, menyusupkan jemarinya di antara surai legam di kepala. Ia kemudian menyusuri helai-helai itu perlahan, menariknya ke belakang dengan gamang. Matanya masih berfokus pada kaca, menatap pantulan yang entah bagaimana terasa familiar namun juga asing di saat bersamaan.

Ia kecewa, tentu saja. Tidak pernah sebelumnya Sasuke menyangka bahwa lelaki muda yang sebelumnya digadang-gadang sebagai seorang prodigi akan berakhir seperti ini saja. Seorang pekerja kantoran biasa, hidup hari ke hari dengan menggantungkan diri pada masa kerja sembilan-ke-lima tanpa bahkan bisa menikmatinya. Mengutuk takdir yang tak membawanya terbang sedikit lebih tinggi.

Lagi, ia membasuh wajahnya untuk terakhir kali. Lalu memandang pantulan di cermin untuk menguatkan hati. Apa yang ada di hadapannya saat ini adalah nyata, sebuah realita yang tak terelakkan. Suka ataupun tidak, ia harus menghadapinya.

Dan dengan sudut bibir yang separuh terangkat, Sasuke larut dalam pikiran. Bernostalgia pada waktu yang lalu bak pelaut yang melompat dari atas kapal guna menyelami lautan. Andal meski tersengal.

Ia paham betul, bahwa seiring masa berlalu, ulang tahun memang tidak tampak seistimewa sebelumnya. Sebagai orang dewasa, ia harus menyikapinya dengan bijaksana. Hilang sudah pesta dan selebrasi dari hati ke hati, digantikan formalitas serta ucapan yang bahkan diutarakan setengah hati. Tak lagi ada doa yang berkata bahwa semoga kelak kau mendapatkan masa depan yang sempurna, sebab masa depan sudah dipijakinya, dan jelas tak ada yang sempurna di dalam sana.

Dengan hati yang lara, Sasuke akhirnya beranjak dari tempatnya bergerak meninggalkan kamar mandi menuju kamar tidurnya di lantai dua. Kepalanya masih berputar dan samar tak terima, tetapi ketika ia memandang sosok jelita yang tidur menghampar di atas ranjang dengan wajah lelah serta bibir yang separuh terbuka, hilang sudah semua perasaan buruk yang menyelimutinya.

Hinata terlelap disana. Surai indigonya menyebar di atas seprai putih ranjang mereka, sementara pada sebelah tangannya ada sebuah buku yang terbuka. Wanita itu pasti tertidur sewaktu menunggunya, jelas terlihat dari wajah damai serta sisa letih yang terpatri disana. Dan seketika, terlepas dari segala emosi maupun nasib buruk yang baru saja menari dalam kepalanya, Sasuke bisa merasakan hatinya menghangat dengan sekejap. Kecamuk mimpi buruk yang ia hadapi bahkan dengan mata terbuka lenyap sudah, berganti syukur atas kehadiran Hinata disana.

Perlahan Sasuke naik ke atas ranjang, mengambil buku dari lengan Hinata tanpa suara dan mengesampingkannya. Ia kemudian merengkuh tubuh mungil istrinya, melesakkan wajah di antara ceruk leher sang jelita dan diam disana. Dari segala lara yang bisa saja menerpa, Sasuke bersyukur bahwa akan selalu ada Hinata yang menjadi tempatnya pulang.

Sasuke sudah nyaris terlelap ketika Hinata tiba-tiba membalas rengkuhannya. Wanita itu menelengkan kepala dan melingkarkan tangan di tubuhnya, mengusap pelan punggung lebarnya dengan jemari yang menyapu lembut di balik kemeja.

"Selamat ulang tahun, Sasuke-kun."

Dan Sasuke terperanjat setelahnya. Matanya panas dan napasnya membara. Ia melepaskan Hinata dari rengkuhannya guna memandang sang jelita tepat di mata. Membiarkan dua pasang iris yang kontras bersibobrok tanpa suara, sebelum kemudian menerkam bibir istrinya tanpa aba-aba.

Waktu berjalan cepat dalam pagutan keduanya, baru melambat ketika mereka kehabisan udara. Hinata tersenyum samar, sementara Sasuke jelas masih gusar. Pelan, Hinata lalu mengangkat tubuhnya dan menghadiahi sang suami kecupan lembut di tepi mata. Ia lalu membelai wajah Sasuke penuh cinta sebelum berkata, "Untuk mata yang lebih dahulu dewasa, memandang masa dengan segala lara, aku berdoa bahwa setelah ini kau selalu bahagia."

Lalu untuk pertama kalinya, Sasuke tersenyum, satu yang sampai hingga ke matanya. Tangannya menangkap tangan Hinata yang berlabuh di sisi wajahnya, menangkup jemari mungil itu dalam telapaknya sebelum kemudian membawanya ke bibir untuk dikecup mesra. Lagi, meski jauh dari kata sempurna, dan walau sempat mendeklarasikan bahwa ia tak bahagia, Sasuke tahu ia salah.

Ia telah sampai di rumah, melabuhkan baik hati maupun diri pada Hinata yang tak pernah membiarkannya hilang arah. Dan bahagia, hanyalah satu dari segala berkah yang ia terima bersama sang jelita. Sering terlupa, namun tak pernah alpa.

.

.

.

Fin

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang