Budak Penjajah

723 86 0
                                    

Langkah kaki Jiwana terus menyusuri jalan setapak menuju hutan. Ia hampir mencapai pagar perbatasan antara Desa dan hutan bagian dalam, akan tetapi suara nyaring dari arah belakang segera membuatnya berbalik.

"Tuan tunggu dulu!" Orang itu segera berlari menuju ke arahnya. "Ada hal yang lupa Tuan Pemusungan sampaikan kepada Tuan Jiwana. Tuan kami akan mengadakan pertemuan di Balai Desa terkait dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tuan kami mengharapkan agar tuan Jiwana juga ikut dalam musyawarah tersebut."

"Oh tentu saja saya pasti akan ikut," ucapnya sambil tersenyum ramah.

Mendengar kepastian dari Jiwana orang itu pun tersenyum sumringah. "Terima kasih Tuan Jiwana. Kami akan menunggu tuan pada besok malam di Balai Desa."

Orang itu pun mengucap pamit dengan wajah senang. Ia sebenarnya telah menyiapkan banyak kata bujukan untuk membuat Jiwana ikut ke Balai Desa. Akan tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa Jiwana orang yang baik hati, sehingga tidak sulit untuk membuatnya datang.

Setelah melihat orang itu menghilang, Jiwana pun segera pergi dari tempat itu. Wajahnya yang terlihat bersinar langsung berubah menjadi masam. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki tua itu menyuruhnya untuk datang dan ikut bermusyawarah. Dimana akan ada banyak masyarakat desa yang akan datang. Ia jengkel karena telah memberi banyak uang namun ternyata ia harus bekerja sendiri. Kalau ia tau hal semacam ini terjadi, maka ia tidak akan memberikan uang sepeserpun.

Orang itu sangat rakus dan licik, beberapa puluh koin emas telah ditelannya. Namun ia tak ingin menyelesaikan pekerjaan apapun dan menimpakan tanggung jawab padanya. Ini membuatnya harus berfikir lebih banyak untuk menentukan strategi dalam membujuk masyarakat Desa, agar mereka mau menerima tawaran yang akan ia ajukan besok malam.

Rasa ragu timbul di hati Jiwana. Bagaimana bisa seorang pemimpin meminta bantuan pada orang lain untuk meyakinkan rakyatnya sendiri. Apakah masyarakat sudah hilang kepercayaan padanya? Benar-benar tidak berguna. Orang itu mencoba menjadikan nya kambing hitam untuk dijadikan korban jikalau terjadi sesuatu pada rencananya. Tidak heran bangsa ini hancur, melihat pemimpin mereka saja membuat Jiwana merasa jijik.

Pikirannya yang entah kemana seolah masih menghantui ketika malam menjelang. Semilir angin yang dingin menusuk tulang menjadi temannya malam ini. Ia terus menghisap rokok dari tembakau dengan lapisan kulit jagung untuk menemani malamnya. Kepulan asap disertai aroma kopi seolah mengobati sedikit keresahan di dalam hatinya.

Ilmu batin yang Jiwana pelajari hampir seumur hidup seolah menjadi mantel hangat untuknya. Hanya berbekal kain tipis seadanya dan pondok sederhana mampu membuat dinginnya hutan semakin berkurang.

Pondok kecil dengan dinding pohon bambu serta atap dari daun kelapa kering yang telah dirangkai. Ia sengaja membangun tempat ini agar ia tak kesusahan untuk bolak-balik kota hanya untuk sekedar beristirahat. Ia hanya akan ke Kota jika terjadi sesuatu yang penting dan mengancam jiwa saja.

Tekanan demi tekanan terus datang bukan hanya dari pikirannya semata. Tetapi dari mahluk-mahluk yang ada disekitarnya. Hutan ini merupakan hutan keramat tentu banyak penghuninya. Namun kerutan di wajah Jiwana semakin dalam dan mengherankan. Bagaimana bisa mereka dengan jumlah sebanyak ini tapi tak satupun yang datang untuk mendekatinya.

Malam semakin larut namun belum menghilangkan kegelisahan yang ada didalam hatinya. Sebagai seorang pendekar ia tentu terbiasa dengan embun malam di dalam hutan belantara. Akan tetapi ia merasakan hal yang berbeda ditempat ini, seperti ada tekanan aura yang membuat mahluk lain enggan untuk mendekat.

(END) Give me your soulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang