Malam telah berganti malam, rasa lelah terus menyelimuti hatinya. Punggung serta tubuhnya yang letih membutuhkan istirahat. Jiwana terus menghela nafas dengan pelan. Ada rasa frustasi yang tersimpan didalamnya.
Setiap hari ia harus berkeliling ke setiap rumah warga di seluruh Desa. Berusaha meyakinkan mereka untuk ikut bersamanya, sambil berharap bahwa mereka akan tertarik walau hanya dengan iming-iming uang dan gotong royong.
Matanya seolah terpejam sejenak, menikmati kebohongan yang ia sampaikan setiap harinya.
Ada rasa malu terselip dihati Jiwana, akan tetapi jumlah uang yang ada didalam kantongnya telah berhasil menutup hatinya. Ia adalah seorang pendosa untuk kaumnya, tetapi seorang raja untuk ambisinya. Ia bahagia menjadi orang yang egois dan ia ingin seperti itu selamanya.
jiwana perlahan berjalan di jalan setapak menuju hutan. Suara hewan malam terus terdengar dan menemaninya, ia terbiasa berjalan tanpa cahaya. Langkahnya yang pelan ia lakukan untuk mengumpulkan sedikit energi, dan mengurangi rasa lelah ditubuhnya.
Tak lama terlihat seorang gadis yang berlari kearahnya. Wajah gadis itu tidak terlihat jelas karena cahaya yang terbatas, namun matanya memancarkan rasa takut dan putus asa. Pipinya dipenuhi oleh air mata. Pakaiannya hanya sebatas dada dan ia berlari sangat kencang.
Gadis itu berlari dengan was-was, tanpa disadari tubuh gadis itu menabrak bahu Jiwana dengan keras. Keseimbangan gadis itu tiba-tiba hilang dan Jewana pun segera menangkap pinggangnya.
Mata mereka akhirnya bertemu, tak lama mata gadis itu langsung melotot karena kaget. Begitu pula dengan Jiwana.
'Bukankah dia gadis yang aku lihat di sungai?'
"Lepas!"
Gadis itu terlihat marah dan segera melarikan diri.
Jiwana terus melihat kearah gadis itu dengan heran. Matanya terus menatap dengan tatapan curiga. Ia segera kembali ke pondoknya dengan tergesa dan berharap bahwa kecurigaannya itu tidak benar.
Sampai di pondok kecil miliknya, ia segera berhenti dan menarik nafas dalam. Menyiapkan mental tentang apa yang terjadi didalamnya. Perlahan ia masuk kedalam dan memperhatikan apakah ada sesuatu yang lain disana.
Mata Jewana langsung menatap ke satu arah. Ia segera mendekat dan menyentuhnya, itu adalah lendir putih yang bercampur dengan darah disana. Jewana langsung marah karena ia tau betul dari mana lendir itu berasal.
"Mereka melakukannya disini."
Mendengar suara itu kekesalan di dalam diri Jiwana bertambah. Wajahnya langsung memerah karena ingin marah, namun segera ia urungkan mengingat bahwa ia terlalu lemah jika berhadapan dengan mahluk itu.
"Kenapa kamu selalu muncul di hadapanku?" Ucapnya tak sabar.
"Owh... Sekarang kamu memiliki keberanian yang sangat tinggi." Ucapnya mengejek.
"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu. Aku tau bahwa perkataanmu itu benar, tapi aku adalah seorang manusia yang serakah dan mencintai uang. Jadi berhentilah menasehatiku karena aku tidak akan menurutimu." Ucapnya tegas.
Ia segera mengambil kain kotor untuk membersihkan noda itu. Alas bambu tempat tidur yang biasa ia gunakan untuk beristirahat, seketika terlihat menjijikkan di matanya.
'Binatang' pikirnya.
"Kamu terlihat sangat marah, apa tuanmu yang berambut pirang memarahimu?"
Tebakan itu sangat tepat, namun Jiwana menolak untuk mengakuinya. Ia terus menggosok alas bambu dengan kain lap ditangannya. Berusaha mengabaikan setiap kata-kata yang keluar dari mahluk itu.
Wajah cantik mahluk itu berubah datar karena diabaikan oleh Jiwana. Ia adalah mahluk yang arogan dan disembah oleh manusia, melihat Jiwana yang mengabaikannya membuat harga dirinya menjadi sangat rendah.
Perlahan alas bambu di tangan Jiwana mulai bergetar dan tanah pun ikut goyah seolah berputar di sekelilingnya. Suara binatang malam terdengar semakin nyaring dan menakutkan. Angin tertiup sangat kencang dan udara disekelilingnya berubah dingin. Hal itu membuat Jewana takut dan berusaha memperbaiki sikapnya.
"Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari saya." Ucapnya pasrah.
Wajah mahluk itu sangat cantik dan menawan. Saat mata mereka bertemu, terlihat jelas pipinya mulai memerah karena malu. Itu terlihat sangat imut untuk disaksikan oleh laki-laki bujang seperti Jiwana.
"Tidak ada!" Ucapnya marah. Ia segera berbalik dengan melipat tangannya dan bersedekap. Terlihat sangat gagah dan anggun namun juga kekanakan. Pipinya yang merah perlahan menebal seperti bayi. Sangat cantik.
"Baiklah, bagaimana kalau kita berkenalan lebih dulu. Nama saya Jiwana kalau nona sendiri?" Ucapnya sopan.
"Sina, nama saya Sina."
Wajah yang ditampilkan Sina sangat polos dan menawan. Tidak terlihat jejak kebohongan sedikitpun didalamnya. Hati Jiwana seolah bergetar saat mendengar nama mahluk itu. Ada rasa sedih dan bahagia di dalam dirinya, namun ia segera menyangkalnya.
"Nama yang cantik." Ucapnya jujur.
Mata Sina langsung melotot karena kaget. Pipinya pun semakin memerah dan ia segera berbalik dan keluar.
"Istirahatlah, besok aku akan mengganggumu lagi."
Jiwana langsung tersenyum melihat tingkah Sina. Ia sudah lama tidak menikmati hal sederhana semacam ini. Perlahan Jiwana pun berbaring untuk beristirahat. Berharap agar ia mimpi indah dan bekerja keesokan hatinya dengan lebih bersemangat.
Dilain tempat, seorang gadis tengah mencuci wajahnya di sungai kecil sambil menghapus jejak air mata di pipinya. Ia memperbaiki pakaian serta rambutnya yang berantakan. Lalu menatap kedepan dengan senyum palsu diwajahnya.
Hari sudah semakin gelap dan orang-orang sangat jarang berlalu lalang. Ia sangat takut menjadi bahan gunjingan orang, hal itu membuatnya berusaha mencari jalan-jalan sepi agar tak ada yang melihatnya.
Setelah lama berjalan ia akhirnya sampai di depan pagar tuan Pemusungan. Ia segera menarik nafas dalam-dalam dan mengatur ekspresi agar ia tidak dicurigai.
Perlahan ia masuk dan tersenyum pada penjaga. "Maaf pulang terlambat."
"Astaga Lana, bagaimana bisa pulang di jam malam seperti ini." Ucapnya khwatir
"Maaf.."
Wajah sedih Lana membuat mereka merasa iba dan terenyuh. Dia gadis yang sangat cantik, polos dan sopan. Mereka tidak akan tega memarahinya dengan berlebihan.
"Ya sudah, pergilah ke kamar. Saya tidak akan melaporkan hal ini pada tuan besar." Ucapnya pasrah.
Lana langsung tersenyum senang dan berterima kasih dengan tulus. Ia segera masuk ke dalam rumah dan perlahan membuka pintu agar bisa segera masuk. Namun suara laki-laki yang ingin ia hindari terdengar ditelinganya.
"Sudah pulang?"
Lana segera berbalik karena marah. Matanya kembali memerah karena menahan tangis, terlihat sangat cantik namun menyedihkan.
"Jangan marah aku benar-benar lupa tadi sore, ada sesuatu yang harus aku urus dirumah sehingga aku meninggalkanmu di pondok itu." Ucapnya ringan.
Terlihat wajah Ruwan yang tenang seolah tanpa beban. Dia terlihat sangat tampan dan gagah, banyak wanita yang mengejarnya. Namun Ruwan telah menjadi kekasih Lana secara rahasia. Mereka berhubungan hampir satu tahun lamanya. Akan tetapi baru beberapa bulan ini Ruwan berani menyentuhnya.
"Jangan marah." Ulangnya lagi, ia perlahan mendekat dan mencium dahi gadis itu dengan lembut. "Istirahatlah." Ucapnya memerintah.
Perlahan Ruwan pun pergi, hal itu membuat hati Lana semakin sakit. Ia ingat betapa takutnya ia dihutan terlarang sendirian, suasana yang gelap dan mengerikan membuat ia berlari seperti orang kesetanan. Namun apa daya, ia tak mampu berkata lebih. Keperawanannya telah diambil laki-laki itu dan sekarang ia adalah milik Ruwan seutuhnya.
Lana sangat mencintai Ruwan, walaupun ia tau mereka tak bisa bersatu. Ruwan dan Lana adalah adik kakak yang berbeda ibu. Mereka adalah saudara sedarah.
Perlahan air matanya mengalir. "Sampai kapan aku hidup seperti ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) Give me your soul
Ficción históricaApi abadi terus menyala. Mengurung jiwanya yang terjebak dan tak bisa kemana-mana. Ia marah, sangat marah. Ia harusnya menjadi ratu abadi yang tak terkalahkan. Namun harus terjebak di dalam tanah ini hingga ratusan tahun lamanya. Ia adalah orang yan...