Iblis Bermuka Malaikat

525 89 76
                                    

"YA ALLAH!!!" aku berseru gila, saat jam kelas bergerak di angka jam 10.

"Sial ... sial." teriakku sekali lagi.

"Kenapa lagi lo Na?" tanya Syasa panik, menatap ekpresiku yang serba bingung.

"Lupa gue Sya," jawabku pasrah.

"Izinin gue kalau belum balik di pelajaran ke tiga."

Aku berlari sekencang hembusan angin, menerobos pintu kelas tanpa peduli kalau rambut udah berantakan, atau napas yang udah ngos-ngosan.

"Sorry-sorry gue telat." Aku menunduk sambil jatuh ke lantai.

Tapi kenapa suaranya hening? Gak ada orang? Dan aku tahu kenapa ruangan ini seperti tidak bernyawa, saat 10 orang menatapku dengan beramai-ramai. Ini, lagi pada rapat! Parah, kenapa situasinya aneh gini, pengen nangis di tempat, sekarang juga.

"Masuk," titahnya yang masih belum tahu siapa namanya.

"Siapa Mi?" tanya laki-laki berkacamata di sebelahnya.

"Adik kelas gue."

Oh dia kakak kelas? Pantes aku jarang liat.

"Dia yang bakal jadi wakil ketua jurnalistik kita sekarang?"

"Jadi, permasalahan kita sekarang selesai. Ekskul Jurnalistik gak akan bubar," ucap Fahmi menatapku lekat, memberi instruksi untuk segera mendekat berada di sampingnya.

"Bentar-Bentar ... gue nggak,"

Belum kalimat itu selesai, laki-laki itu mencubit pergelangan tanganku tanpa ampun, "Mau video lo gue sebar?" lirihnya berkata pelan, lalu melemparkan senyuman manis.

"Ngomong sekarang, perkenalan diri," ucapnya tersenyum manis lagi.

"Hai, aku Renata ... kelas 10 IPS 1," memang sedikit gelagapan dan sedikit kaku, terakhir kali aku memperkenalkan diri di depan kelas karena disuruh perkenalan oleh guru, ini? Di ekskul, yang notabenya aku gak suka bertemu dengan wajah-wajah asing.

"Salam kenal."

"Nah, sekarang udah jelaskan? Siapa yang jadi wakil ketua Jurnalis? Jadi gak perlu khawatir atau kalian pusing lagi dengan adanya dia, Eksul kita selamat."

"Bentar, lo gak salah milih orang? Kenapa lo gak milih dari kita?" tanya Mala melayangkan protes, saat pemilihan wakil ketua Jurnalistik ini dengan cepat, apalagi aku yang belum tahu-tahu udah diangkat begitu saja.

"Lo bisa pilih, ekskul ini bubar, atau lo mau pilih dia jadi wakil gue?"

"Gue gak bisa milih, kalau lo Di?" tanya sebelah temannya yang memegang kacamata.

"Gue ikut keputusan aja, kalau itu udah keputusan jadi keputusan lo, gue bakal terima."

"See? Aldi aja nerima, masa lo enggak Mal?"

Mala menatapku dengan amarah, lalu membanting pintu keluar, dari perkumpulan pemilihan ini, semua orang yang berada di sini menganguk dan memberikan tepuk tangan, yang membuatku sedikit serba salah dan tak mengerti ekskul ini jadi selamat? Tapi kenapa? Kenapa harus aku? Apalagi memegang jabatan wakil ketua jurnalistik itu amat berat. Yang sampai sekarang aku gak ngerti kerjaannya apa.

"Kenapasih, lo nyeret gue di ekskul ini?"

Tanyaku saat semua anggota keluar, karena masuk jam pelajaran ke tiga. Aku di sini bersama orang yang paling menyebalkan dan paling membuatku menahan kekesalan.

"Fahmi, nama gue Fahmi, dan kalau lo punya adab sopan santun panggil gue kakak,"

"Ogah, kenapasih lo seret gue ke sini?"

"Pertama, karena lo bego, kedua karena lo percaya diri buat ngungkapin perasan, jadi gak masalahkan?"

"Masalah! Please, gue minta lo hapus video itu! Gue mohon,"

"Gue gak mau, kita sama-sama impas. Lo turutin apa yang gue mau, dan gue bakal turutin apa yang lo mau. Deal?"

"Gimana?" tanyanya yang membuatku sedikit bingung antara memilih iya atau enggak, kalau video itu kesebar, bayangin apa yang akan terjadi di sekolah ini selama 2 tahun lagi, bakal penuh dengan penderitaan.

"Deal, dengan satu syarat lo hapus video itu sekarang, dan gue janji bakal patuhi keinginan lo itu," ucapku tanpa berselera sedikit pun.

"Jadi, apa kerjaan gue?" aku memintanya untuk mempercepat pertemuan ini, karena hari ini benar-benar moodku sedang kacau. Dari baca UUD, dikasih hadiah batu, dan yang terakhir menjabat wakil jurnalistik yang sama sekali aku gak tahu kerjaanya apa.

"Gampang. Ngeliput berita, nulis redaksi, satu lagi bagi-bagi jobdes, gampangkan?"

Gampang? dia pikir dengan waktu singkat aku langsung ngerti kerjaan aku apa? Dasar sinting!

"Sekarang, lo tulis kerangka wawancara buat acara class meeting hari Senin."

"Sekarang?"

"Nanti tahun depan!"

"Tapi Mi, Gue gak bisa."

"Kakak, panggil gue Kak Fahmi itu lebih baik."

"Terserah lo deh, yang pasti gue gak bisa. Gue jagain stand bazarnya."

"Terus?"

"Maksud gue, jangan tugasin gue di acara class meeting, gue gak bisa! Gitu aja lo gak ngerti."

"Beres acarakan bisa? Atau ..." Fahmi sedikit tersenyum, ia sudah menebak ini akan terjadi dan sebagai pengantinya vidio itu ia salin sebanyak-banyak di laptopnya.

"Oke-Oke habis beres acara langsung, gue nulis, puas lo!"

Kenapasih aku harus ketemu orang seperti dia, yang bikin kehidupan ini dilewati kayak di mimpi buruk, atau memang ini sudah mimpi buruk?

"Nih baca buku gue, belajar dari sana jangan banyak tanya."

Fahmi melemparkan bukunya sembarang di hadapanku, dan aku langsung menangkapnya secara refleks, emang gak ada sopan santun tuh, dasar si keju, ketua jurnalis nyebelin.
"Awas aja, besok kalau belum ke kumpul. Gue bakal kasih perhitungan!" ucap Fahmi menutup pintu sekre jurnalis, yang langsung aku hadiahi umpatan yang dari tadi numpuk di hati.

"Iya!! Keju!! Nyebelin. Bangke! Gak punya otak, dasar sinting!" aku berteriak di ruangan kosong ini, dan langsung Fahmi masuk ke dalam lagi.

"Tadi lo ngomong apa? Gue masih denger meski di luar."

"Enggak, maksud gue lo ganteng!" aku menggeram, dan memfokuskan lagi ke buku yang harus aku tulis apa, ah nyebelin.

Terjebak Friendzone Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang