HELP! 1

109 8 2
                                    

Aku mengikat tali sepatu. Lalu berdiri dan bersiap berangkat sekolah.

Meski sebenarnya sekolah itu tidak pantas disebut dengan sekolah.

Aku menghembuskan napas pelan. Biarlah semua berjalan. Jangan dirasakan. Cukup jalani. Lalu sedikit lagi pergi.

Andai belajar bukan tuntutan. Andai sebuah pendidikan bukan patokan.

Ingin sekali aku rasanya berhenti dari sekian sakit yg datang. Aku lelah. Aku kalut. Begitu takut dan merasa hina.

Apa kata orang jika mengetahui yg sebenarnya?

Apa yg harus aku lakukan jika Mama serta Papaku tahu jika putrinya ini...

Ah sudahlah.

"Reyyy!!!"

Aku menoleh ketika suara seseorang menggemakan namaku. Dia Vena. Sahabatku.

Dia menjejarkan langkah disebelahku dengan napas yg memburu cepat.

"Kenapa lari-lari begitu?" tanyaku sambil menepuk-nepuk punggungnya pelan.

"Hehe, nggapapa." jawabnya cengengesan.

Brukk!

"Aww!" Aku terdorong kesamping saat seseorang menerobos diantara aku dan Vena.

"Woi! Kalo jalan pake mata!" teriak Vena kesal.

"Kamu nggapapa Rey?" tanyanya khawatir.

Aku menggeleng pelan. "Nggapapa kok."

"Tuh orang siapa sih! Main tabrak aja. Mana ngga minta maaf lagi." seloroh Vena.

"Udah. Biarin aja. Lagian kita juga nggapapa kan." aku berusaha menenangkan Vena. Aku tahu jika sahabatku ini tidak dihentikan maka, seseorang yg berjenis kelamin cowok yg menabrak kami tadi pasti sudah habis dijambak rambutnya. Ya, sahabatku ini terkenal dengan sifat ke-bar-bar-annya.

"Tapi..."

"Udah, ayo. Bel bentar lagi masuk." potongku.

Aku menarik tangannya memasuki gerbang sekolah kami yg berdiri kokoh.

SMA BARATA.

SMA terkenal se-seantero Jakarta Utara.

SMA yg dikenal dengan prestasi guru serta siswanya yg gemilang.

Dan juga SMA yg terkenal dengan berbagai kekacauan yg ditimbulkan oleh siswa-siswa yg sering berbuat onar serta tawuran antar pelajar.

Aku. Reynaya D. Morgano.

Anak dari pengusaha tambang Reyno Morgano dan Zenaya Morgano.

Meski teman-temanku tahu bahwa aku anak seorang pengusaha tambang tersohor, tapi mereka selalu menganggapku berbeda. Bahkam mereka cenderung membullyku.

Penampilanku yg biasa saja. Tidak ada pernak-pernik yg menonjol. Barang-barang yg menepel padaku tidak bermerek, dan lain sebagainya.

Meski begitu, aku bersyukur karena didikan kedua orangtuaku yg tidak pernah memanjakanku. Aku cenderung harus berusaha untuk mendapatkan sesuatu yg aku inginkan.

Tahun lalu, Ayah memberikan sebuah mobil sport keluaran terbaru sebagai hadiah ulangtahun yg ke-17 tahun.

Tetapi, sampai sekarangpun mobil itu bagaikan rongsokan berharga yg menimbun digarasi rumah karena tidak pernah aku gunakan sama sekali.

"Ketika ovum dibuahi tetapi tidak berhasil. Maka bla bla bla..."

Kutopang kepalaku dengan sebelah tangan.

HELP! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang