PERTAMA(1)

21 3 0
                                    

KEBENCIAN YANG TERSIMPAN MANIS DALAM PALUNG DIRI •

.
.
.
.
.
“Seperti langit yang selalu kau pandang wajahnya, akankan bila aku di hadapanmu kau bisa lakukan hal yang sama untukku..?? Walau aku tidak seindah langit sekalipun.”

#2
[Lalice Hwang&Oh Se-hun]


>>0<<

Lalice--nama gadis dengan pita besar berwarna merah melilit apik dilehernya itu--menarik kursi lalu mendudukan diri setelahnya. Ia menatap presensi gadis lain yang seumuran dengannya tengah sibuk mempersiapakan sarapan pagi untuk mereka, sejenak Lalice tersenyum manis sambil memutar surainya dengan jari telunjuk diatas kedua tangan yang menumpu meja. Hanya duduk, tidak ada terbesit rasa ingin membantu. Jika dilihat Lalice nampak seperti Nona angkuh dan sombong, yang hanya mau semua enak dan mudah.

"Ini. Olesan selai strawberry untukmu. Sudah aku potong agar kau lebih mudah memakannya."

"Oke, Irene, terima kasih."

"Sama-sama adikku." ujar Irene, ikut duduk dan memakan sajian yang sama seperti milik Lalice.

"Kita selalu memiliki hal terlihat yang sama, mirip, dan terkadang karena itu api bisa saja membakar salah satu di antara kita untuk menyingkirkan lainnya. Apa itu masih berlaku saat ini?" Lalice bersuara, menampakkan raut berseri dibalik rasa dengki yang terus memaki dalam batinnya.

Irene menatap Lalice, jika diresapi lebih dalam mata itu benar-benar terlihat serius dan berusaha mengatakannya dengan hati-hati, nada suaranya dirubah melembut dan sedikit seperti gurauan, namun Irene cukup paham maksud itu. "Apa ada yang aku miliki kau sukai? Jika iya, ambil saja untukmu."

Lalice tanpa sadar meremas garpu ditangannya. Ia mendecih dalam hati, kenapa tepat sekali kalimat yang meluncur dari saudara kembarnya itu, seolah Lalice selalu berada di belakang dalam hal apapun, semua diambil sepenuhnya oleh Irene. Jangan harap aku mau mengemis lagi padamu!

"Hey, Lice. Itukan masalah waktu kita masih kecil, kenapa kau selalu mengungkitnya sih? Kita terlalu awam untuk tau nilai positif yang dapat dilakukan. Anak-anak sudah biasakan begitu, jiwa baiknya masih belum ada." Irene tertawa jenaka. "Tenang Lice, aku sudah berubah sekarang. Kau bisa melihatnya sendiri."

Lalice memutar bola mata jengah dan itu mengundang tawa kecil Irene kembali mengudara. "Hmm, tapi sayangnya aku masih tidak percaya."

"Suatu saat akan aku buktikan kok."

Mata Lalice memincing, "Aku menunggu untuk hal satu itu." ujarnya mengangkat garpu menunjuk Irene yang berkali-kali mengangguk, lalu Lalice melahap langsung ujung garpu yang terdapat potongan roti.

"Iya." balas Irene, "Tapi, hmm, tidak tau bila aku berubah pikiran."

"Daridulu kau memang selalu plin plan Irene Hwang. Tidak untuk ini-itu, semua ikut berubah karena kehadiranmu."

"Ya.. Tapi seharusnya kau berterima kasih selalu padaku, karenaku kau jadi ikut tersanjung dan dikenal."

"Tidak juga." Lalice tersenyum kaku, lalu lenyap bersamaan ia berbalik badan. Langkahnya semakin cepat saat bel rumah terus berdenting berulang. "Aku berangkat duluan, jangan lupa cuci piringku ya..??" Lalice melambai tanpa menoleh.

Between [Lizkook]Where stories live. Discover now