00 - Prolog

447 62 10
                                    

"Kau serius? Ini benar-benar menakjubkan!"

"Astaga.. indah sekali."

"Siapa yang melukisnya?"

"Siapa dia? Tampan sekali hingga menyilaukan mataku."

"Aku rela mengorbakan nyawaku hanya untuk melindunginya, demi dewa.. aku serius."

Keributan kecil terjadi di halaman kerajaan. Orang-orang berkumpul melingkar, saling berbisik sembari menatap takjub pada sebuah lukisan yang tergeletak begitu saja di bawah pohon rindang. Entah siapa yang melukisnya dan begitu ceroboh meletakan lukisan tersebut sembarangan di bawah pohon, lukisan tersebut benar-benar indah hingga terkesan tidak nyata. Semua orang sibuk ribut memperdebatkan dan terkagum-kagum. Melupakan pekerjaan mereka yang menumpuk, menunggu untuk diselesaikan.

Bisingnya suara dari halaman membuat orang-orang didalam kerajan jadi ikut berhamburan keluar karena penasaran. Hal ini sampai ditelinga sang Raja yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Seorang kepala dayang datang tergopoh-gopoh mendekati sang Raja dan bersujud untuk menyampaikan informasi tentang keadaan yang terjadi sekarang. "Baginda! Baginda! Hamba mohon ampun! Ada keributan kecil terjadi disekitar pohon rindang timur kerajaan. Semua orang berhamburan keluar dan memadati kawasan timur sekarang," katanya.

Sang Raja menghentikan pekerjaannya sejenak. "Keributan apa?" tanya nya tegas.

"Hanya sebuah keributan kecil yang disebabkan oleh lukisan yang sangat indah tergeletak di dekat pohon, Baginda!"

Alis raja tersebut menekuk heran. Air mukanya yang tenang berbubah kebingungan, "Lukisan apa yang membuat mereka lalai hingga meninggalkan kewajibannya untuk bekerja?" Raja tersebut mendengus. Ia memijat pangkal hidungnya pelan kala rasa pusing tiba-tiba menyerang. Ia tidak habis pikir dengan kelakuan rakyatnya.

"Hamba mohon ampun, Baginda Yudistira," dayang itu masih setia bersujud tak jauh dari tempat Sang Raja duduk. Harap-harap cemas takut kalau raja kebanggaanya marah.

"Bangunlah, dirimu juga butuh bernapas, dan tolong panggilkan Patih Chandrakanta kesini," pintanya lembut. "Terimakasih banyak, Baginda. Sungguh tak heran bila satu nusantara begitu mengagungkan dirimu yang lembut hatinya," Dayang kepercayaannya bangun kemudian berpamitan keluar sambil berjalan bungkuk.

—R a D i t y a—

Tok Tok!

"Baginda ku Yudistira, ini aku Chandrakanta."

Sang Raja memalingkan dirinya dari gulungan-gulungan kertas papirus yang menyesakkan dihadapannya. "Iya, masuk Junho."

Pintu terbuka. Menampakkan sosok Arjuno Chandrakanta, patih setia dan kesayangan raja beserta seluruh rakyat Nusantara. "Tumben kau memanggilku, ada apa?" tanya Junho penuh selidik.

"Biasanya juga seperti inikan?"

"Iyasih, hanya saja kau kan sedang sibuk, nanti aku bisa mengganggumu."

Sang raja menggeleng. "Tidak, sudahlah lupakan saja. Junho, kudengar rakyatmu melalaikan pekerjaan mereka hanya untuk sebuah lukisan tidak jelas yang ada di bawah pohon rindang timur kerajaan. Bagaimana bisa? Sebenarnya apa yang mereka ributkan disana?"

Mendengar hal itu Junho tertawa. Ia berjalan dan duduk bersila dihadapan rajanya. Tenang saja, mereka berdua merupakan sahabat sejak kecil. Tak heran bila mereka sangat dekat meski status keduanya berbeda jauh. "Lukisan itu bukan lukisan biasa, kau harus datang juga untuk melihatnya," Katanya sambil tersenyum penuh arti.

"Sehebat apa lukisan itu?"

"Lebih dari yang kau bisa bayangkan," Junho mengerlingkan matanya sejenak sebelum berbisik kecil. "Kau akan terpesona oleh keindahan alamiahnya."

RaDitya - Bulan dan Matahari [HWANGMINI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang