008 - RaDitya

136 35 10
                                    

—R a D i t y a—

Saat sang fajar mulai menampakkan sinarnya perlahan dan menerangi bumi tadi, pintu pavilliun Minhee diketuk oleh dayang Asih yang siap membantunya bersiap untuk menjalani hari ini. Seperti yang dijanjikan kemarin saat penjamuan selamat datang, setelah sekitar seminggu berada di tanah Majapahit, Minhee akan mulai berkegiatan dikerajaan. Beberapa hari terakhir ini ia sudah disibukkan dengan kegiata terbarunya. Entah itu memenuhi panggilan Paduka Iswara yang hanya sekedar untuk berbincang ringan atau berdiskusi perihal pernikahan, berkuda hingga memanah dan masih banyak lagi.

Hal ini diminta langsung oleh Paduka Iswara agar Minhee tetap berkegiatan dan tidak merasa bosan di kerajaan. Padahal tanpa disuruh pun Minhee sebenarnya sudah sibuk dengan buku-buku yang ia pelajari. Berkuda dan memanah pun hanya hal kecil bagi Minhee. Sejak kecil ia sudah berhasil menguasai kedua hal itu berkat ajaran orang-orang kepercayaannya di Bumi Sunda.

Selain itu tak jarang Minhee diminta untuk mengikuti paduka Iswara dalam kunjungan-kunjungannya seperti ke pasar pusat, ke bale warga, pertemuan penting di pendopo kerajaan, dan masih banyak lagi. Kedatangannya dengan sang ibu dari calon suaminya di pasar pusat membuat kehebohan besar di kota. Beberapa orang masih mengenali wajahnya yang saat itu datang bersama Jisung kesini sebagai seorang pembeli, bukan sebagai seorang menantu kerajaan. Dan seketika mereka semua terkagum-kagum melihat Minhee yang hanya dapat tersenyum kikuk menanggapi. Sang pangeran begitu terkejut melihat antusiasme yang begitu besar para warga tunjukan padanya.

Saat ini ia sudah siap lengkap dengan atribut memanahnya. Minhee sedikit melakukan peregangan sebelum ia mengangkat busur panahannya dan mencobanya sedikit.

"Dengan jarak 70 meter, engkau sudah mendapatkan poin sempurna kemarin, pangeran. Bagaimana hari ini? tetap di 70 atau naik?" seseorang itu— Woojin, yang memang sejak kemarin ada dan memperhatikan Minhee berlatih bertanya.

"90 meter sepertinya akan menyenangkan."

Woojin terkekeh mendengarnya. Ia mengangguk kemudian membantu Minhee untuk bersiap. "itu jarak yang terjauh disini." Ucapnya.

"Aku tau, sejak kecil aku selalu dilatih untuk siap dengan jarak terjauh sekalipun." Kata Minhee sebelum anak panahnya berhasil melesat dan menancap tepat ditengah papan sasaran.

Woojin diam diam mendengus. Ia melipat tangannya didada dan memperhatikan Minhee yang tersenyum bangga menatap permainannya. "lihat? Kau seharusnya bangga padaku Woojin, hehe."

Orang lain mungkin akan ikut tertawa melihat Minhee yang meringis lucu dihadapannya. Tapi tidak dengan Woojin, ia hanya terdiam dengan sudut bibir kirinya yang terangkat. Memandang penuh arti kearah Minhee yang kembali mulai untuk melesatkan anak panahnya.

TAK!

Anak panah itu kembali menancap di poin tertinggi. Minhee mengerling bangga pada Woojin dengan bibirnya yang menyunggingkan senyum lebar.

"Jangan terlalu bahagia, Pangeran." Ucap Woojin.

Minhee menoleh kearahnya dengan pandangan bingung, "kenapa? Semua orang kan berhak bahagia?" tanyanya.

"Tidak apa, hanya saja kita tidak tau kan sampai kapan kita bisa berbahagia atas apa yang sudah kita dapatkan?"

Minhee menurunkan busurnya dan menatap Woojin tajam. "itu tedengar seperti kau yang tidak mau lihat aku bahagia ya?"

Woojin tertawa. Tangannya melambai acak dan kepalanya menggeleng. Kemudian ia melirik Minhee yang masih melemparkan tatapan curiga padanya. Ia mendengus kecil.

"Oh pangeran, itu sangat lancang untuk aku lakukan sebagai seorang rendahan disini."

Mata Minhee berkedut tak suka. Ia masih menatap Woojin dengan tatapan tajam yang penuh curiga. Rasanya aneh saat mendengar Woojin berbicara seperti itu padanya. Terlalu lancang? Entah lah, Minhee hanya terkejut. Apakah memang orang Majapahit seperti ini? atau memang Woojin memiliki tujuannya sendiri dalam mengucapkan hal itu?

RaDitya - Bulan dan Matahari [HWANGMINI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang