Babak v: Sang Penjelajah

17 0 0
                                    

Mimpi Padma menjelma nyata ketika Adhara menyentuhnya.

Ketika lidah Adhara menjelajahi rongga mulutnya, Padma teringat pada sosok ikan kecil yang menyusuri sungai dengan cepat, tapi juga dengan kelembutan yang membuat sang air ingin membelainya terus-terusan.

Ketika lengan Adhara mendekapnya, Padma teringat pada ular yang melingkarinya. Tetapi alih-alih menghunjamkan giginya dengan liar, Adhara melakukannya dengan amat lembut, seolah khawatir bahwa tubuh Padma akan hancur begitu saja ketika gigi-gigi itu menembus kulitnya, dan pelukan itu—bagaimana mungkin Padma bisa mengabaikannya?—terasa amat nyaman.

Barangkali ciuman itulah yang mendorong Padma untuk melucuti seluruh pakaiannya dan membiarkan tubuhnya sepenuhnya terekspos di depan mata Adhara seorang. Atau sentuhan-sentuhan itu. Atau bisikan Adhara pada telinganya. Atau gabungan dari kesemuanya, yang begitu sempurna sampai-sampai Padma tidak bisa memilih. Barangkali itulah yang membuka gerbang hatinya dan mengizinkan Adhara untuk menjelajahi sekujur tubuhnya, selagi ia melakukan hal yang sama pada tubuh pria itu. Bersama-sama jemari mereka menari, dan tarian itu perlahan-lahan mengalir pada sekujur tubuh Padma dan segala cecair yang mengaliri pembuluh darahnya.

Dan cecair itu perlahan-lahan berkumpul di ujung liangnya di bawah sana, seperti berlomba ingin keluar—barangkali ingin melihat siapa kiranya pria menawan yang membuat Padma sebergairah ini.

Keringat merembesi pelipisnya. Satu-dua, lalu tiba-tiba saja seluruh wajahnya basah oleh keringat. Begitu pula dengan lehernya.

Tetapi Adhara tidak mengerut jijik melihat keringat itu. Ia justru tersenyum, mengusapkan punggung tangannya di sepanjang lekuk leher Padma, dan mengecupnya dengan mantap—seolah-olah pria itu ingin mencicipi tiap bulir keringatnya.

Adhara sendiri terlihat penuh dengan peluh. Padma tidak tahu bagaimana cara kerja tubuh seorang penjaga hutan, tetapi ia mengagumi bagaimana titik-titik peluh itu menyebar sempurna; pada pelipisnya; pada bagian atas bibirnya, juga di sepanjang dada bidangnya, seolah melingkari puting cokelatnya yang amat menggoda.

Padma meremas puting itu, dan Adhara tersentak. Senyum Padma melebar, dan senyum itu masih saja tidak lenyap ketika wajahnya condong pada dada pria itu dan melahap putingnya.

"Ah—"

Lalu suara itu. Suara yang rendah, tercekat, tetapi juga begitu mulus meluncur dari tenggorokan. Cecair di ujung liang Padma berguncang.

Tangannya kembali menggerayangi sekujur tubuh Adhara. Lagi-lagi Adhara merintih, hanya saja kali ini sedikit lebih keras dari sebelumnya. Ujung-ujung kukunya menghunjam punggung Padma. Rasanya perih, tapi juga nikmat di waktu yang bersamaan.

Kendati matanya berair, Padma bisa melihat semburat otot di sepanjang lengan Adhara yang berotot. Baru saat itulah ia sadar bahwa ludah yang terkumpul pada pangkal tenggorokannya masih belum ia teguk.

"Aku ingin melihat tubuhmu dari belakang," Adhara berbisik serak. "Bolehkah?"

Padma mengerjap. "Melihat?"

"Melihat dan menjelajahi," koreksi Adhara. Kedua jarinya menjepit dagu Padma dan membawanya untuk bertemu pandang dengan pria itu. "Karena rasanya belum sempurna jika aku hanya melihat bagian depan dari rumah baruku."

Padma tertawa. Lucu juga mendengar Adhara menggunakan istilah manusia biasa untuk menggambarkan sesuatu. "Kalau begitu, seorang pemilik rumah yang baik juga harus memeriksa isinya sampai tuntas, bukan begitu?"

Adhara membalas tawanya dengan senyum tipis, sebelum tangan kokoh itu memutar tubuh Padma sehingga punggungnya menempel pada dadanya.

Ketika Padma memutar posisinya, ia merasakan angin menyapu wajahnya. Tangan Adhara menekan perutnya, dan lekuk pantat Padma dapat merasakan tonjolan pada bagian bawahnya.

[COMMISSION] Lebur--AdharaPadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang