Babak vi: Peleburan

22 0 0
                                    

Jantung Adhara berdebar begitu cepat.

Ketika buah zakarnya memasuki liang Padma, rasanya seperti memasuki dunia yang sepenuhnya baru. Dunia yang aneh, asing, tetapi membuat Adhara tertarik untuk meninggalinya.

Tetapi suara-suara Padma membuatnya gelisah. Bagaimana gadis itu mengerang, mengejan, dan meliukkan tubuhnya ketika buah zakar Adhara menggesek dinding liangnya membuat Adhara bertanya-tanya; apakah ia sudah melakukan hal yang benar? Apakah ia terlalu kasar memperlakukan Padma?

Tetapi Padma tidak mengatakan apa-apa. Adhara tahu kalau Padma akan mengatakan sesuatu jika ia merasa tidak nyaman; sebab memang demikianlah sifat gadis itu.

Maka ia melanjutkan penyatuan mereka. Dengan buah zakarnya masih berada di dalam liang Padma, tangannya hati-hati meremas pinggul gadis itu sebelum bergerak naik ke dadanya dan melakukan hal serupa pada putingnya.

Padma kembali mendesah, tetapi tangannya menahan Adhara untuk tidak pergi darinya. Adhara menjawabnya dengan satu kecupan lembut pada lekuk lehernya, yang kini telah penuh oleh jejak kemerahan.

"Nggh—"

Lagi-lagi Padma mengeluarkan erangan lemah. Bersamaan dengan itu, cecair kental dan hangat kembali mengaliri sepanjang buah zakar Adhara dan membuat sekujur tubuh Adhara gemetar oleh sesuatu yang tidak ia pahami.

Barangkali gemetar itu muncul karena Padma mengeluarkan suara-suara yang membuatnya cemas, tapi juga bahagia. Atau kebahagiaan karena Padma seolah menerima keberadaan dirinya dengan amat baik.

Atau mungkin, inilah yang sering disebut-sebut sebagai 'gairah'.

Apa pun itu, perasaan itu mendorong Adhara untuk mendekatkan Padma dengan alam yang selama ini menjadi rumahnya. Dalam satu embusan angin, tubuh Padma telah terbungkus oleh tangannya dan sulur-sulur yang menyembul keluar dari dalam tanah.

Adhara merasakan tubuh Padma menegang ketika sulur-sulur itu melingkari tubuhnya, tetapi Adhara menolak untuk berhenti. Ia ingin membuat Padma mengenalinya dengan baik, sebagaimana ia ingin mengenali gadis itu sampai ke bagian terdalamnya.

Tetapi ketika sulur itu mengikuti buah zakar Adhara untuk masuk ke dalam liang Padma, gadis itu mengeluarkan erangan yang begitu mengejutkan; sebuah erangan yang tidak pernah Adhara kira bisa keluar dari mulut gadis seperti Padma, sekaligus tipikal erangan yang membuat Adhara teringat pada gaung yang sering didengarnya pada malam hari; yang membuat dadanya bergemuruh, tetapi juga memberi Adhara rasa tenang, sebab suara itu memberitahunya bahwa ia tidak pernah sendirian.

Tetapi ketika erangan Padma menjelma lengkingan, dan ketika gadis itu menyentakkan tangannya, Adhara cepat-cepat menghentikan sulur-sulur itu, sekaligus menjauhkan tubuhnya dari tubuh Padma.

"Maafkan aku," katanya pelan. "Seharusnya aku tahu kalau kamu tidak menyukainya."

Padma tidak menjawabnya. Napas gadis itu masih terengah-engah, dengan jemarinya yang gemetar terkulai di atas rerumput.

"Apa kau mau kita berhenti?" tanya Adhara. Matanya mengawasi Padma dengan khawatir. "Kau kelihatan sangat kesakitan—"

"Adhara," akhirnya Padma membuka suara. "Kenapa kau berpikir kalau aku tidak menyukainya?"

Adhara mengerjap bingung. "Tapi ... kau kelihatan tidak nyaman," ujarnya heran. "Tidakkah tubuhmu tadi meliuk karena kau mencoba menyingkirkan sulur itu darimu?"

Padma terkekeh di sela-sela sengalnya. "Rupanya kau masih belum benar-benar memahami manusia dengan baik, Adhara."

"Apa maksudmu?"

Jemari Padma kini kembali menyusuri tangan Adhara, dan sekalipun Adhara tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, ia tahu bahwa gadis itu tengah tersenyum lebar.

"Andaikan saja kamu melihat seseorang menangis," kata Padma, "Menurutmu bagaimana perasaan orang itu?"

"Sedih, tentu saja."

"Dan di situlah kamu keliru." Padma membawa tangan Adhara untuk kembali melingkari perutnya seperti semula, dan kembali Adhara merasa lengkap. "Beberapa menangis karena mereka ketakutan atau kesal. Bahkan tidak sedikit yang menangis karena bahagia."

Adhara perlahan-lahan kembali beringsut mendekati Padma, kendati ia masih ragu-ragu untuk memasukkan buah zakarnya kembali ke dalam liang. "Tapi kenapa mereka menangis kalau mereka memang bahagia? Tidakkah itu aneh?"

"Tidak ada yang aneh dalam emosi manusia," kata Padma. "Yang aneh adalah apa yang membuat emosi itu muncul."

"Kalau begitu, bagaimana perasaanmu sekarang?"

Padma menarik napas dalam-dalam. Dibawanya tangan Adhara naik ke dadanya, dan Adhara bisa merasakan betapa kencangnya debaran jantung gadis itu. "Bagaimana menurutmu?"

"Jantungmu berdebar sangat cepat," kata Adhara. "Mungkinkah kamu sedang merasa ..."

"Merasa apa?"

Adhara meneguk ludahnya dengan susah payah. "...bergairah?" Ah, betapa satu kata itu terdengar aneh di ujung lidahnya.

Padma tertawa lagi. Tawa yang serak dan masih menyisakan sisa-sisa kehabisan napas, lagi terdengar amat menawan. Tawa yang membuat Adhara tergoda untuk menyurukkan kepalanya kembali pada ceruk leher itu dan menjelajahi tubuhnya tanpa henti.

"Kamu ini benar-benar menarik, Adhara," sengalnya geli. "Sulit dipercaya kalau seorang penjaga hutan berusia ratusan tahun sepertimu memiliki jiwa anak kecil di dalamnya."

"Apakah itu buruk?"

"Sama sekali tidak. Justru hal itulah yang menarik dari dirimu."

Dan diam-diam, tanpa Padma sadari, Adhara ikut tersenyum.

"Jadi, kamu menikmati apa yang sudah kulakukan padamu?"

"Aku menikmati bagaimana pun perlakuanmu padaku," ujar Padma, "Selama itu bisa membuat kita mengenali satu sama lain dengan lebih baik."

Kata-kata itu teramat sederhana, namun juga begitu kuat. Adhara merasakan kekuatan aneh yang menyelubungi tubuhnya ketika tubuh mereka kembali menyatu, di mana kekuatan itu memanggil kembali sulur-sulur Adhara untuk menyelimuti tubuh Padma.

Kembali, Padma berteriak. Tubuhnya mengejang, dan kepalanya tersentak hingga nyaris membentur wajah Adhara.

Tetapi Adhara, yang kini sadar bahwa suara itu muncul sebagai wujud kenikmatannya, memilih untuk terus membiarkan sulur-sulur itu menelusuri sepanjang kulit Padma, sebelum pada akhirnya mengikuti buah zakarnya memasuki liang gadis itu.

Dunia seolah membeku pada saat itu. Hanya ada mereka berdua, dikelilingi oleh pohon gaharu rimbun yang menciptakan bayang-bayang pada permukaan tubuh mereka yang telanjang, dan kenikmatan tak terhingga yang menyebar di sepanjang tubuh mereka.

Pantat Padma yang bulat dan berkeringat menggesek buah zakar Adhara yang bersarang di dalam liangnya, dan Adhara tergoda untuk menyemburkan cecairnya ke dalam liang itu—sebagaimana Padma membungkus ujung buah zakarnya dengan cairan kentalnya.

Suara burung berkicau di angkasa—atau barangkali mereka hanya eksis di dalam kepala Adhara. Bersama dengan kicauan itu, Padma mengeluarkan erangan serak, yang membuat Adhara meremas pinggul gadis itu dengan gemas.

Remasan itu membuat Padma melenguh lagi, dan Adhara merasakan letupan hangat yang menjalar dari dadanya, berputar di perutnya, dan berakhir mewujud cairan kental yang memuncrat keluar dari ujung buah zakarnya.

"Agh—"

Padma menyentakkan kepalanya ke belakang ketika ujung-ujung sulur Adhara menggelitik tonjolan pada ujung liangnya. Cecair mereka menyatu di dalam gua itu, sebagaimana tubuh mereka terikat pada satu sama lain.

Dan dalam ikatan itu, Adhara mendapati dirinya mewujud seekor kelinci kecil pada musim dingin, yang bergelung di dalam liangnya dan menanti musim panas kembali.

Bedanya, Adhara tidak keberatan untuk menghabiskan sepanjang hidupnya dalam musim dingin, jika hal itu berarti tubuhnya bisa tetap menyatu dengan milik Padma. 

[COMMISSION] Lebur--AdharaPadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang