"Bu, kasihan banget yaa dia. Orangtuanya bercerai karena ayahnya selingkuh." Kini, Langit, Bintang, dan Indra tengah menonton drama Indonesia. Langit duduk diantara mereka berdua.
"Iyaa Nak. Jika kamu besar nanti, kamu harus setia yaa. Jangan seperti dia." Ucap Bintang. Indra hanya diam saja menyaksikan mereka.
"Bu, Yah, Langit beruntung banget. Mempunyai orangtua yang setia, baik, dan pengertian sama Langit. Langit bahagia banget mempunyai keluarga yang harmonis. Jika Langit udah menikah nanti, Langit ingin seperti Ayah, yang setia sama keluarga. Dan Langit ingin mempunyai istri seperti Ibu, yang setia dan pengertian sama keluarganya." Ucap Langit dengan antusias.
"Yaa harus dong sayang. Jika kamu sudah menikah, kamu harus seperti Ayah." Ucap Indra.
Bintang tidak terima dengan ucapan suaminya itu. Airmata sudah menggenang di pelupuk matanya. Namun, ia tidak ingin Langit melihatnya. Ia hanya bisa menahan agar genangan air matanya tidak jatuh.
"Andai kamu tau sikap ayahmu Nak, kamu tidak akan ingin seperti ayahmu.""Sekarang kamu masuk kamar sana. Belajar yang benar. Besok ada olimpiade Matematika kan?" Tanya Indra.
"Iya Yah."
"Yaudah, sekarang kamu belajar. Biar menang. Pokoknya anak Ayah harus menang. Belajar sana."
"Langit tau nii. Pasti Ayah mau mesra-mesraan dengan Ibu kan? Hayoo ngaku." Godanya dengan tersenyum menyeringai.
"Langit, jangan gitu dong. Lihat tuu, Ibumu malu, pipinya merah."
Pipi Bintang merah sebenarnya bukan karena ia malu, namun karena itu ulah dari suaminya.
"Apaan sihh kalian. Udahlah Ibu mau ke dapur dulu." Bintang menghindar dari mereka karena ia sudah tidak sanggup menahan buliran airmatanya lagi.
"Tuhkann, Ibu kamu ngambek tuu. Kamu ke kamar sana, Ayah mau nyusul Ibu dulu." Ucap Indra yang sudah bangkit dari sofanya.
"Cieee... Bu, jangan ngambek dong. Ntar Ayah makin cinta sama Ibu." Teriak Langit agar Ibunya dengar.
°°°
"Selamat yaa Lang akhirnya lo menang. Hebat banget otak lo. Gue jadi curiga, jangan-jangan lo nyolong otaknya Albert Einstein yaa." Ucap Tari sambil terkekeh."Haha apaan sih lo. Ehh atau mungkin gue cucu Albert Einstein kali yaa. Cucu yang tertukar."
Mereka melanjutkan perjalanan diiringi dengan lelucon yang mereka lontarkan. Di balik canda tawa mereka, ada perasaan sedih yang harus dipendam.
"Lang, gue pengen nanya sama lo. Boleh nggak?" Tanya Tari
"Tumben minta izin, biasanya lo kalo mau nanya nggak pernah izin dulu."
"Soalnya, ini tentang ke..." Ucapan Tari terpotong karena ucapan Iqbal.
"Lang, selamat yaa. Gue salut banget ngelihat lo tadi. Lo jawabnya cepat banget. Gue baru ngitung, ehh lo udah tekan bel duluan." Iqbal adalah teman sekelas mereka dan juga lawannya Langit saat olimpiade.
"Thanks yaa Bal. Lo juga hebat kok. BTW, lo mau kemana bawa tas?"
"Ohh ini, gue mau pulang duluan Lang. Gue sama bokap gue mau ngerayain ultah nyokap. Surprise lah gitu ceritanya. Gue duluan yaa Lang, Tar. See you." Ucap Iqbal.
"Jika seandainya gue bisa memilih dengan orangtua mana gue tinggal, gue ingin tinggal bersama orangtuanya. Hidup bahagia bersama tanpa adanya bentakan dan tamparan."
"Oh iyaa Tar, lo tadi mau nanya apa?" Tanya Langit setelah Iqbal pergi.
"Eh nggak Lang. Nggak jadi." Ucap Tari seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Langit Mengeluarkan Air Mata
Novela JuvenilKetika Langit mulai mendung, Matahari dtg menyinari Langit, memberi warna pada Langit. Namun kini Matahari tdk kunjung datang. Matahari pergi dari sisi Langit. Ketika Matahari tiba, Langit masih mengeluarkan air matanya. Kali ini, Matahari tdk mampu...