Ada orang berkata, "jika kamu lahir ke dunia, rasanya seperti kamu lahir ke surga."
Omong kosong.
Apa itu sungguhan? Apa dunia penuh dengan orang naif ini yang mereka sebut sebagai surga?
Dan tidak hanya satu atau dua orang saja yang berkata seperti itu.
Cowok ini sudah sering mendengar omong kosong itu dari beberapa orang yang tidak sengaja berpapasan dengannya.
Dan hari ini, ia mendengar itu lagi.
Rasanya muak mendengar ucapan yang kenyataannya hanyalah sampah semata itu.
"Tau gak? Orang miskin gak perlu punya banyak uang buat bahagia."
Itu salah satu contohnya.
Jeno hanya bisa menyunggingkan senyum remehnya saat mendengar omong kosong itu dari seorang gadis muda di sebrang sana.
Cowok itu baru pulang dari kerja paruh waktu dan kini ia sedang duduk di salah satu bangku taman kota.
Mengamati objek sekitar adalah salah satu kegiatannya setelah pulang kerja.
Entahlah, ia hanya mengamati saja. Terkadang sambil berdecih jika mendengar omongan orang di sekitarnya yang faktanya bualan semata.
Bukannya bersikap sok tahu, lagipula Jeno tidak memiliki hak untuk menyebut dirinya orang paling mengetahui.
Tapi ada banyak yang Jeno lalui selama 21 tahun ia hidup di dunia. Dan hampir semua yang orang bicarakan itu, Jeno sudah pernah melaluinya.
Jeno hanya menyimpulkan berdasarkan pengalamannya sendiri.
Cowok Lee itu terus menyesap kopinya yang sudah dingin ─karena kopi yang ia beli ini sudah tersimpan di dalam ranselnya sejak tiga jam yang lalu apalagi suhu hari ini rendah sekali, sambil terus mendengarkan omong kosong apa lagi yang keluar dari mulut gadis muda disana.
"Masa sih?" Tanya teman gadis itu.
Gadis berambut panjang itu mengangguk.
"Liat aja gelandangan itu, dia bahagia aja tuh meskipun gak punya baju yang bagus kayak kita." Katanya sambil menunjuk gelandangan yang sedang duduk di bawah pohon beralaskan tumpukan salju.
"Aku gak ngerasa dia sebahagia itu. Kamu tahu itu dari mana?"
"Ibuku yang bilang."
Oh, jadi semua ucapan sampah itu berasal dari orang dewasa yang bahkan tidak tahu seperti apa kebenarannya?
Jeno semakin mengembangkan senyum remehnya.
Orang dewasa sungguh penuh dengan kepalsuan.
Maka dari itu, Jeno benci menjadi dewasa.
Setelah gelas kertas di tangannya sudah kosong, tangan besar Jeno melempar benda tabung itu ke arah gadis muda di sebrang sana dan langsung pergi begitu saja.
Meninggalkan bangku taman yang ia duduki dan gadis tadi yang tengah memakinya habis-habisan.
Di perjalanan pulang, Jeno menendang kecil tumpukan salju yang menghalangi jalannya, sambil mengeratkan hoodie abu-abu yang ia pakai dan juga topi cap hitamnya untuk menutupi kepala serta wajahnya.
Suhu dingin yang menusuk tulang dan kepingan salju yang jatuh menyentuh telinga, membuat cowok itu ingin segera sampai di rumahnya.
Jeno benci salju.
Langkah santai Jeno membawa cowok itu melewati trotoar jalan protokol, zebracross dengan orang-orang yang baru saja pulang kerja, kelab malam yang sedang bersiap untuk membuka pintu mereka selebar mungkin untuk orang yang ingin menghamburkan uang demi kesenangan semata, serta beberapa lorong kecil yang gelap dan sempit dengan bau sampah yang menusuk hidung.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]The Darkness of Heaven | Lee Jeno
Fiksi Penggemar"Lebih baik aku mati daripada hidup di antara kemunafikan manusia yang haus akan keserakahan." ©syucims, 2020.