Tiga : Debar

56 24 87
                                    

Demi apa, belum pernah sebelumnya aku seberdebar ini ketika bersama sahabat kecilku, Ibram.

Muhammad Ibram Fauzan

Nama yang indah bukan?

Pemilik nama indah yang selalu ada untukku dalam suka dan duka hidupku. Orang yang memberikan warna dalam hidupku dengan segala tingkah lakunya yang out of the box.

Dan dengan menyebalkannya kini dia sedang menghimpit ku di sudut sofa rumahnya. Niat hati datang untuk meminta penjelasan darinya mengenai apa yang terjadi hari ini. Mulai dari ciuman ghaib yang tak ku rasa, juga dengan apa penyebab dari pertengkaran dirinya dengan Rama. Sungguh aku sangat penasaran mengenai dua hal itu.

Tapi bukan penjelasan yang ku dapat, melainkan sebuah kungkungan badannya yang menghimpitku dengan tatapan mata yang sulit aku artikan. Beruntung tak ada bunda disini, jika iya mungkin bunda akan mengira yang tidak-tidak.

"Ma-mau ... a-apa kamu?" Aku bertanya bahkan dengan terbata ketika dia mulai bergerak mendekat. Dan bukan menjawab, si tengil Ojan malah tersenyum geli menatapku.

Aku mencoba mendorong badannya tapi tak bisa. Ya Allah ... lindungi aku. Ibu, bunda ... tolong Sinta. Aku sudah berpikir yang tidak-tidak. Apa Ibram akan melecehkanku? Ah tidak mungkin. Mungkin kini dia sedang menjahiliku, tadi saja kulihat dia tersenyum geli. Senyum geli yang biasa keluar ketika berbuat usil padaku.

"Usilnya gak lucu." Aku mendorong keningnya dengan telunjukku agar menjauh.

"Siapa yang usil?" Wajah tampan penuh luka lebam itu mengernyit tak mengerti.

"Kamulah." Aku mendelik padanya, "Emang siapa lagi? Putu? Bayu? Widi? Sani? Jarwo? Joni? Ram--"

Cup.

"Udah ngomongnya?"

What the pucek, serangan dadakan yang membuat aku mati kutu. Diam membeku dengan debar jantung yang menggebu sembari menatap bibir yang beberapa detik lalu beradu dengan bibirku. Bibir itu melengkung membentuk sebuah senyuman manis yang menghiasi wajah tampan lelaki di depanku ini. Luka lebamnya tak mengurangi kadar ketampanannya. Pipiku terasa panas ketika tatapan mata kami saling bertemu. Aku menggelengkan kepala, Ini tidak benar.

"Kalian sedang apa?!"

Mendengar itu, kami beringsut mendudukkan diri dengan benar. Ibram berdehem-dehem tak jelas. Kulihat bunda menatap kami curiga. Oh tentu saja, siapa pun akan berpikir begitu jika melihat posisiku dan Ibram yang saling berhimpit seperti tadi.

"Kalian sedang apa?" tanya bunda untuk yang kedua kalinya.

"Hm, nyangkut."

"Sinta kelilipan."

Jawab kami berbarengan. Membuat bunda mengernyit bingung.

"Jadi yang bener yang mana? Nyangkut atau kelilipan."

"Kelilipan."

"Nyangkut."

Aku mencubit Ibram yang malah cengengesan tak jelas. Padahal saat ini bunda sedang menatap kami penuh selidik, gimana coba kalo ketahuan?! Kan malu. Aduuh, ibu ... Sinta harus bagaimana?

Typical Of Love -SIRAM💕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang