Jam telah menunjukkan pukul enam saat kini Luke menyeret langkahnya gontai pada trotoar dan ia bisa merasakan seluruh tubuhnya seolah remuk, padahal ini baru saja hari pertama ia bekerja. Ternyata tak seperti kelihatannya, bekerja dengan hanya duduk berjam-jam di hadapan komputer amatlah melelahkan.
Luke memijit pelipisnya yang berdenyut pening. Namun, sedetik setelahnya ia tersenyum kecil. Hari pertamanya berjalan lancar dan bukankah itu artinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk perayaan? Tidak, bukan sebuah perayaan yang megah dengan makanan yang memenuhi meja. Perayaan bagi Luke bahkan belum mendapatkan gaji pertamanya adalah segelas bir dingin pada bar langganannya. Bir yang menyegarkan dan juga pemandangan yang memanjakan mata. Bukankah keduanya ada perpaduan yang apik? Maka, dengan semangat Luke mempercepat langkahnya--beruntung karena bar langganannya tersebut terletak tak jauh dari tempatnya bekerja.
Luke membawa langkahnya memasuki gang-gang kecil yang meski nampak sempit, tetapi dipenuhi dengan kehidupan. Gerombolan orang-orang yang saling bercakap, asap rokok yang membumbung tinggi menghias malam, dan juga tawa yang terdengar sayup-sayup seiring ia melangkah kian jauh.
Ia menengok ke kanan dan ke kiri selama beberapa saat sebelum berbelok, masuk pada lorong yang nampak gelap dan mengarah ke bawah tanah. Ia tak bisa melihat apapun dalam radius lebih dari langkah kakinya sendiri, namun Luke tak terlalu peduli dan tetap melanjutkan langkahnya hingga samar-samar telinganya menangkap bunyi musik up-beat yang terdengar repetitif. Tak butuh waktu lama sampai cahaya remang menyambutnya.
"Luke! Udah lama ga main, kemana aja?" Sebuah suara memanggilnya dan Luke menengok, menemukan seorang pemuda bersurai arang yang terbalut oleh seragam barista. Luke tersenyum sumringah dan menghampiri pemuda tersebut, mendudukkan diri pada kursi yang kosong tanpa penghuni.
Jika kalian bertanya-tanya di mana ia sekarang, maka jawabannya adalah bar. Sebuah bar yang terletak di balik gelapnya lorong bawah tanah, siapa yang akan menyangka? Jika bukan karena mantan pacarnya yang mengajaknya kemari, sampai mati pun ia tak akan pernah tahu. Karena, siapa pula orang sinting yang akan iseng-iseng menjelajah lorong-lorong gelap pada malam hari? Luke bukanlah bagian dari orang-orang tersebut.
"Gua keterima kerja." Luke menjawab dengan sebuah senyum simpul dan pemuda di hadapannya yang kini nampak tengah menyiapkan minuman. Tangan pemuda tersebut bergerak cekatan mencampur berbagai minuman yang Luke tak terlalu tau apa sebelum meletakkannya pada sebuah gelas kecil yang nampak cantik.
"Serius? Di mana?" Sang pemuda kembali bertanya setelah sebelumnya memberikan minuman tadi pada seorang pria yang duduk terpaut dua kursi dari Luke. Ia mengelap tangannya dan senyum pada wajah Luke bertambah lebar.
"Coba tebak." Melihat tingkah Luke, pemuda tadi terkekeh sembari menuangkan sebotol bir dingin pada gelas berukuran sedang.
"Sangern Corp?" Segelas bir disodorkan padanya dan Luke menerima dengan senang hati. Ia tertawa kecil atas jawaban pemuda di hadapannya sebelum mengangguk mantap dan menyesap bir pada gelas yang mengembun karena dingin.
"You knew me well, Win." Luke berujar sembari mencebikkan bibirnya, meresapi rasa khas dari bir yang bergumul pada dinding mulutnya. Win--pemuda berpakaian barista mengendikkan bahunya dan berbicara satu dua patah kata pada barista lain yang berada di sampingnya sebelum mendudukkan diri, berhadapan dengan Luke.
"Because you won't stop talking about that damn company every single time you came here." Win mendengus dan menjawab seolah perihal dirinya yang bisa menebak tempat kerja Luke adalah hal wajar.
"Haha, abis gajinya gede sih." Luke meneguk birnya sekali lagi, menandaskan seperempat dari isi gelas pada tangannya. Win menggeleng pelan dan menumpukan wajahnya pada telapak tangan, menatap Luke dengan menelisik.
"Apa?" Luke bertanya akan maksud dari tatapan yang lebih muda.
"Lo ga nyari pacar lagi? Terakhir lo sama siapa tuh, Chris? Whatever, itu udah beberapa bulan lalu kan. Lo ga minat nyari lagi?" Win mengalihkan topik pembicaraan keduanya dan wajah Luke seketika berubah masam.
"Nggak ah, masih males." Luke berujar dengan nada tak tertarik dan Win mengangkat sebelah alisnya seolah tak mengerti.
"Kenapa? Bukannya selama ini lo selalu nyari pacar yang kaya?" Win bertanya heran. Luke menghela napas panjang, meneguk birnya hingga tersisa setengah sebelum menjawab.
"Capek lama-lama pacaran sama orang kaya. Egonya gaada obat semua." Ujarnya ketus dan di balas sebuah tawa oleh Win. Yang lebih muda beranjak menjauh, mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan wine.
"Apes aja kali lo. Coba cari lagi, siapa tahu jodoh." Win berujar, meneguk wine pada tangannya sekilas. Ia mengalihkan perhatiannya dari Luke sejenak, menyusur bar yang cukup ramai akan kaum adam--tentu saja karena ini merupakan 'Gay Bar'. Setelah beberapa detik, Win menjentikkan jarinya kuat. Ia kembali menatap Luke yang hampir menghabiskan bir dalam gelasnya.
"Luke, lo liat cowo di sana?" Win menunjuk ke salah satu arah dan Luke menengok, mengikuti telunjuk pemuda tersebut. Alisnya terangkat sebelah karena ia tak tahu pasti mana yang di maksud oleh sang pemuda. Karena hei, ada banyak orang di arah yang ditunjukkan oleh Win.
"Yang mana?" Luke bertanya. Win berdecak malas, meneguk winenya sekali lagi.
"Kemeja maroon, rambut di tata rapi ke belakang." Ujar yang lebih muda sekali lagi. Mendengar hal itu, Luke langsung bisa menemukan orang yang dimaksud oleh sang pemuda. Pria yang nampaknya lebih tinggi dari 190cm dengan tubuh atletis dan punggung tegap nan lebar. Pria itu berdiri memunggungi keduanya. Nampak maskulin, namun Luke tak paham apa yang dimaksudkan oleh Win, temannya.
"Iya, terus kenapa?" Pertanyaan dari Luke mampu menerbitkan sebuah senyum miring pada wajah manis Win.
"Lo kesana, minta nomernya sampe dapet. Kalo lo dapet, gua kasih 100 dollar." Win berujar dan tanpa babibu ataupun repot-repot bertanya lagi, Luke segera berdiri dari duduknya.
"I'll be back in a second." Luke berujar dengan wajah serius sebelum merapikan surai arangnya yang sedikit berantakan. Ia melangkah mantap, mendekat menuju pria yang kini nampaknya berbincang dengan seseorang. Namun, siapa peduli? Tugasnya hanyalah meminta nomor dan pergi. Perihal mengobrol, bukankah bisa dijeda sejenak? Maka saat jaraknya dengan sang pria hanya tersisa tak sampai dua langkah, Luke menepuk pundak pria tersebut pelan. Tinggi mereka tak jauh berbeda meski Luke masih kalah beberapa sentimeter.
"Permisi." Panggil Luke dengan suara yang ia buat selembut mungkin di antara hingar bingar musik yang berdentum kencang. Punggung terbalut kemeja maroon perlahan berbalik dan Luke telah menyiapkan senyuman terbaiknya saat,
"Huh?" Saat Luke menatap wajah yang nampak begitu jelas terpampang di hadapannya, ia bahkan tak bisa menggerakkan bibirnya untuk berbicara.
"Kamu...karyawan tadi?"
Bicara apa Luke tentang dirinya kemarin? Tuhan tak menjadikannya orang paling sial sedunia? Well, sepertinya kini Tuhan berubah pikiran karena malam ini, Luke resmi menjadi orang paling sial sedunia. Ekspresinya mengeras dan kakinya tertanam pada lantai bagaikan pasak kayu. Bukan, ia bukannya melihat mantan pacarnya apalagi melihat hantu. Atensi di hadapannya, pria yang baru saja berbalik padanya adalah lebih dari itu. Dan jika kalian menebak bahwa pria di hadapannya adalah Joss Wayar, maka kalian mendapat nilai seratus. Karena kini, Joss tengah berdiri di hadapannya, begitu kokoh dengan wajah yang tak nampak begitu bersahabat--meski masih tetap terlihat tampan.
"Pak Joss...anda gay?" Betapa Luke ingin menjahit bibirnya sendiri atas kalimat yang baru saja keluar dari bibirnya tersebut. Bodoh. Luke memaki dirinya sendiri dalam hati karena kalimat aneh yang baru saja ia lontarkan. Dari begitu banyak kosa kata yang ada di otaknya, kenapa harus pertanyaan tolol dan tak berbobot yang lolos dari belah bibirnya? Luke menahan hasratnya untuk membenturkan kepala kuat-kuat pada meja.
"Kamu, ikut saya."
Ah, sebentar lagi dirinya pasti mampus. Padahal niatnya datang kesini adalah untuk merayakan hari pertamanya bekerja. Kini, ia harus dengan senang menerima kenyataan bahwa bisa saja dirinya akan dipecat dalam kurun waktu sepuluh menit dari sekarang.
Joss berbalik, bertukar beberapa patah kata dengan lawan bicaranya tadi sebelum meraih tangan Luke, menariknya menjauh. Ketar-ketir, Luke menengok ke belakang, kepada Win yang nampak begitu santai menatapnya.
'Fuck you.'
Luke berujar tanpa suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
[JossLuke] Elysian
FanficDalam hidupnya, Luke hanya punya satu keinginan. Ia ingin hidupnya jadi lebih baik dengan tak lagi terlilit oleh kemiskinan. Maka, saat ia diterima di Sangern Corp, Luke merasa bahwa akhirnya ia bisa hidup dengan tenang dan bahagia. Setidaknya, itu...