Sebuah Kisah Sang Violet Konoha

219 31 1
                                    

Normal POV

Sejak kecil bahkan bisa dibilang terlalu awal buat Sumire untuk berlatih dalam mengendalikan cakra.

Bahkan tidak ada ampun untuk Sumire yang sudah lelah dan hampir pingsan.

Luka lebam tak menghentikan ayahnya untuk berteriak dan memberi perintah untuk Sumire agar bangkit.

Rasa sakit harus ditahan walau itu sangat menyiksa Sumire. Luka tidak berhenti muncul dan terus menghiasi kulit mulus Sumire. Walau setiap hari ia melakukan latihan terus menerus tidak membuat Sumire terbiasa.

Rasanya itu sakit dan ingin berteriak berhenti. Tapi sayang itu akan membuatnya di pukuli lagi terus menerus. Sumire ingin menyerah dan ingin mati saja.

Ibunya saja tidak pernah memerintahkan sang ayah untuk berhenti bahkan jika seandainya ayahnya menyuruh Sumire untuk membakar dirinya sendiri pasti ibunya tidak akan menghentikannya.

Itulah sebuah keyakinan Sumire pada ibunya tapi pada kenyataannya Ibunya sendiri selalu mengobatinya luka fisik dan hatinya. Bahkan senyum semangatnya terus menghiasi wajah ibunya kepada Sumire.

Tidak ada hal yang menenangkan untuk Sumire selain senyum dan kata kata indahnya.

"Tetap semangat ya anakku,"

Itulah yang selalu didengar Sumire setiap ia patah semangat bahkan menyerah. Cinta ibunya membuat Sumire bertahan walau disakiti terus menerus.

Latihan terus menerus ia jalani bahkan setiap luka tidak akan habis dan tidak akan hilang seperti rasa sakit dan perih menghiasi perasaan Sumire.

"Seumur hidup kita akan mengabdi kepada nee dan tuan Danzo. Kau adalah alat Sumire dan jangan lupakan itu,"

Bukan hanya suara ibunya yang selalu terpikirkan oleh Sumire. Suara ayahnya juga selalu ada setiap detik. Bahkan sebuah senyum bangga ayahnya tidak ada saat Sumire berasil dalam latihannya.

"Kau adalah alat balas dendamku Sumire!!"

Bahkan tak segan ayahnya mengatakan bahwa ia adalah alat balas dendamnya.

Tidak ada cinta sang ayah untuk Sumire.

Itulah sebuah kesimpulan dalam pikiran Sumire. Bahkan yang selalu terpikirkan olehnya adalah suara kejam ayahnya.

Bahkan ia sampai lupa dengan suara ibunya sendiri saat berbicara. Terkadang semua suara diubah menjadi suara teriakan Tanuki Shigaraki.

"Cepat kau bangun Sumire!"

Sumire telah jatuh sampai titik dibawah nol, semakin hatinya hancur, hancur, dan hancur. Bahkan bukannya memperbaikinya hati yang sudah hancur, ayahnya semakin membuatnya hancur tak tersisa.

"Dasar lemah!"

Ucapan menyakitkan terus menerus membuat Sumire jatuh lagi, tidak ada waktu untuk membuat harapan. Jika ada sedikit harapan saja mungkin segera akan lenyap.

"Kontrol cakramu Sumire!" perintah ayahnya.

Sumire mau tak mau harus menuruti perintahnya walau keadaan sudah lemas. Ia terus menerus menggunakan jurus suitonnya ke arah sebuah batang pohon hingga membuat benar benar hancur.

Sejak dari pagi hingga siang ia belum istirahat dan hanya terus melatih dirinya dengan jurus yang sama.

Karena tidak kuat lagi ia langsung terjatuh ke tanah. Sungguh disayangkan karena ayahnya memegang lengan atas Sumire dengan keras lalu menariknya agar bisa berdiri.

Sumire merasakan kesakitan sekali lagi dan air matanya tertahan di pelupuk matanya.

"Ayo Sumire! Jangan berhenti sampai matahari tenggelam!"

Segenap tenaganya ia terus berusaha walau tubuhnya sangat sakit.

Rasanya seperti di neraka saja.

Matahari sudah tenggelam dan menjadi akhir untuk rasa sakit Sumire yang tertahankan.

Ibunya pun menjemput mereka dan mengobati semua luka Sumire. Tidak lupa juga dia merapikan rambut Sumire yang sudah acak acakan.

"Ibu aku tidak kuat lagi,"

"Bersabarlah Sumire, semua akan baik baik saja,"

Kata kata itu lagi membuat hati Sumire muak dan ingin mengeluarkan air matanya tapi masih saja tertahan.

Disaat yang sama, ia merasakan kehangatan dalam sentuhan ibunya. Rasa muak itu berakhir menjadi rasa nyaman.

Kenangan indah yang membuat Sumire bertahan selama ini bahkan setiap sentuhan saat ibunya menyisir rambutnya membuat hatinya merasakan kebahagiaan diatas penderitaannya.

Kamar Sumire diterangi cahaya bulan yang terang sehingga membuat suasana sendu diantara mereka. Angin berhembus melewati jendela kamarnya membuat termperatur kamaenya menjadi sejuk.

Sumire tidak akan pernah bisa membayangkan jika ibunya meninggalkan dirinya sendiri bersama ayahnya.

Tidak ada akan ada lagi senyuman seseorang untuk menyemangatinya disaat jatuh.

🌷🌷

Kisah Sang Violet KonohaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang