#dialektikaiko

73 7 0
                                    

"Mumpung panas jemuran lo sana yang lo gantung, jangan perasaan mulu," ledek Ajun yang baru saja masuk ke kamar kos Iko.

"Datang-datang bukannya ngucap salam malah ngajak berantem." Iko mendelik, kemudian melangkah gontai sembari meraih ember di depan kamar yang berisi pakaian yang habis ia cuci.

Senyum Ajun melebar melihat Iko yang langsung pergi melaksanakan tugas negaranya. Seperginya Iko, ponselnya berbunyi, Ajun segera meraihnya.

Cinta: sbb, gue baru kelar kelas, jadi nyusul ke cafe nggak, Ko?

Ajun menautkan kedua alisnya, tak lama Iko muncul dari balik pintu yang kini telah ia tutup.

"Ko, ini lo betulan nggak mau mundur?"

Iko segera menghampiri Ajun, meraih ponselnya lalu menatapnya kesal. "Sopan banget lo buka-buka hp orang."

"Bukain baju lo aja gue bisa masa buka hp doang nggak bisa, Ko."

Niat untuk memarahi Ajun buyar karena Iko tak mampu lagi menahan tawanya mengingat kejadian yang menurutnya akan menjadi aib untuk selamanya.

Apa yang dikatakan Ajun memang benar, saat Iko mengelami kecelakaan enam bulan yang lalu, Ajun yang selalu ada membantu Iko dari makan, minum, sampai pakaikan baju. Jadi, jangan heran kalau pada akhirnya Iko sama Ajun sering dikata belok. Selain karena Ajun yang keseringan tidur dikosan Iko tentu karena sloganㅡdimana ada Iko disana juga pasti ada Ajunㅡini sudah tersebar luas ke seluruh penjuru kampus.

Pernah dengar kan kalau pertemanan cowok belum solid kalau belum sampai dikata homo, nah begitulah yang terjadi pada keduanya. Well, mereka beruntung karena rumor itu bisa terhentikan dengan sendirinya setelah Ajun dan Lita berpacaran. Tinggal Iko yang entah kapan jadiannya.

"Gue serius nanya, ini lo nggak mau mundur?"

Iko menggeleng. "Soal perasaan gue ke dia itu urusan gue, Jun, mau dia balas atau nggaknya itu juga hak dia, gue nggak bisa maksa."

"Heran gue punya temen kok bego banget."

"Iya gue bego ya karena perjuangin orang yang merjuangin orang lain?"

"Lah itu lo tahu."

"Tapi gue bakal merasa lebih bego kalau dia balik sama cowok brengsek itu lagi, Jun."

"Yaudah deh terserah lo, lo bego aja gue udah pusing apalagi kalau lo bego banget?"

Iko terkekeh, kemudian meraih kunci motor dan jaket denimnya sambil menggunakkan converse authentic hitam lawas miliknya yang sudah ia pakai lebih dari dua tahun lamanya. "Gue pergi dulu, Jun, kalau tidur kamarnya jangan lupa dikunci!"

Ajun mengangkat tangan kanannya, membentuk oke dengan menempelkan jari telunjuk dan jempolnya kemudian melangkah gontai menuju pintu untuk mengunci kamar, persis seperti apa yang Iko perintahkan.

*

Ada banyak hal yang seorang Iko benci di dunia ini, contohnya kalau tiba-tiba disuruh mamanya pulang hanya untuk menjadi supir yang ngantarin beliau arisan, jemur pakaian siang-siang, ngerjain tugas yang banyaknya segaban dan of course seperti sekarang, duduk diam di cafe dengan ditemani lagu galau.

Iko baru aja datang tapi bahkan lagu penyambutannya adalah lagu galau dengan lirik sedih begini.

Serius, rasanya Iko mau memohon ke pelayan buat ganti lagunya. Sayangnya, ini lagu kesukaan perempuan cantik di depan Iko yang tengah sibuk dengan laptopnya. Yah... siapa lagi kalau bukan Cinta?

"Anywhere, I would've followed you
Say something, I'm giving up on you." Begitu lirik yang digumamkan Cinta di sela-sela kegiatannya. Iko jelas nggak salah dengar karena lirik itu bukan hanya satu atau dua kali Cinta nyanyikan, sudah berkali-kali sampai Iko muak sendiri.

Lagu karya A Great Big World yang kemudian jadi a big problem setiap kali Iko mendengarnya, apalagi disaat ia bareng Cinta. Rasanya Iko kayak betulan ditampar sama semua lirik juga kenyataan secara bersamaan, miris. Memang miris.

Teh, lo nggak sengaja suka lagu ini buat bikin gue pergi kan?

Itu yang selalu mau Iko tanyakan, sayang seribu sayang pertanyaan itu hanya akan menguap dan hilang kemudian tanpa sempat ia ucapkan.

"Ko?"

Iko mengerjap. "Eh, ya? Kenapa Teh?"

Cinta tersenyum di sela-sela kegiatan membaca bukunya. "Lo kenapa sih lihatin gue gitu amat? Jangan bilang karena gue cantik ya, gue udah tau!"

Iko tertawa. "Yah gimana ya, Teh, emang gitusih."

Cinta mendesis, kemudian memutar bola matanya malas. Dia sudah terbiasa rupanya dengan candaan Iko yang seperti itu tanpa tahu kalau Iko nggak pernah bercanda sama ucapannya.

Mana ada orang yang bercanda sampai nunggu seseorang selama dua tahun lamanya? Iko aja sampai heran gimana bisa Cinta sama Rangga saling tunggu selama belasan tahunan, dia yang nunggu dua tahun aja udah capek pakai banget.

Iko menurunkan layar laptop di depannya sedikit, bermaksud mendapatkan perhatian dari perempuan yang sedari tadi sibuk berkutat dengan tugasnya. "Teh, nggak bosan lagunya ini terus?"

"Liriknya bagus, mana bisa bosan? Lagian yang muterin juga mas mas pelayannya, bukan gue, Ko."

Iko mengangguk paham. "Liriknya relate sama lo ya, Teh?"

Raut muka Cinta berubah masam, tapi tak lama ia menyunggingkan senyumnyaㅡsenyum terpaksanya. "Yah, bisa dibilang gitu."

"Nggak capek teh nunggu orang yang belum tentu anggap lo rumah?" Iko termenung sebentar setelah bertanya, bukan karena ia menganggap pertanyaannya lancang, hanya saja pertanyaan itu secara tak langsung ia tanyakan pada dirinya sendiri juga.

Rumah, ya? Nggak tahu kesambet apa Iko sampai bertanya hal seperti itu. Pertanyaan bodoh yang bahkan dirinya sendiri tak akan pernah bisa menjawab sekalipun sudah diberi waktu dua tahun lamanya.

Ko, lo pulang aja deh, jangan ke rumah ke kosan aja karena disana sudah jelas ada Ajun yang siap nimpuk Iko pakai bantal kalau tahu temannya menanyakan hal sebodoh ini.

Cinta menghembuskan napas beratnya, meraih boba rasa mangga miliknya yang tinggal setengah dan meminumnya sebentar sebelum kemudian berbicara, "Lo sendiri gimana, Ko? Nggak capek nungguin gue yang jelas bukan tempat lo pulang?"

Iko meringis miris. "Masa depan nggak ada yang tahu loh, Teh. Yang belum pasti aja gue tunggu selama dua tahun apalagi yang udah pasti?"

Cinta tersenyum kecut mendapati jawaban Iko yang benar-benar membuatnya menggelengkan kepala. Sembari pandangannya kembali pada laptop di depannya dan membenarkan layarnya dengan menaikannya sedikit. "Pantesan lo betah even nunggu gue nugas selama berjam-jam, Ko, lo lebih penyabar dari yang gue kira ya ternyata?"

Iko mengangkat bahunya sembari tersenyum, bermaksud menyombongkan dirinya yang katanya kelewat sabar.

Ada satu hal yang tidak pernah Iko tahu, selama ini, Cinta juga mengharapkan hal yang sama.

Coba aja hati gue milih lo buat tempat pulang, Ko, semua nggak akan serumit sekarang.

**

Dialekita | On HoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang