IV | Ayah

30 2 0
                                    

Dahulu kau memandangku dengan penuh kasih.

Senyum secerah matahari tidak pernah luntur dari wajahmu.
Ada saja hal yang kau lakukan untuk membuatku tertawa.
Bahkan engkau tidak segan mengabulkan keinginanku.

Lihat kita sekarang.

Punggungmu yang dahulu tegap mulai merapuh.
Aku tahu usiamu tidak lagi muda.
Tenagamu kini mungkin tidak sanggup untuk menggendongku lagi.

Aku tahu.
Pekerjaan yang dulu kau banggakan kini harus kau lepaskan.
Semua telah berubah.
Termasuk hatimu.

Kau bahkan enggan memandang ke arahku.
Tidak ada lagi senyum.
Sudah lama aku ucapkan selamat tinggal pada mainan masa kecil yang membuatku tertawa dan tenggelam dalam dunia dongeng.
Tidak jarang aku memendam keinginanku untuk menghormati pilihanmu.

Aku diam.
Tidak menegurmu.
Kau pun tidak menegurku.

Apakah aku selalu salah di matamu?
Apakah kau menganggapku sebagai seseorang yang gagal?

Kenapa kau diam?
Kau kecewa?
Aku pun kecewa.
Kenapa kau diam?

Apa karena aku tidak bisa menghasilkan uang seperti orang-orang yang sering kau sebutkan dengan bangga?
Apa karena aku tidak sepintar mereka yang menurutmu berprestasi?
Apakah aku tidak bisa disebut berbakti karena tidak memenuhi kualifikasi yang telah kau rancang sedemikian rupa?

Aku menangis dalam diam.
Apa kau tahu itu?
Aku berusaha keras untuk memahami materi di setiap jenjang pendidikan.
Apa kau pernah melihat usahaku?
Aku berjuang menjaga emosiku tetap dalam keadaan seimbang.
Apa kau sadar aku sedang membutuhkan pertolongan untuk anak kecil dalam diriku yang terluka?
Apa kau memikirkan betapa besarnya aku ingin lenyap dari bumi ini?

Aku memang anak manusia yang keras kepala.
Tidak jarang aku terbunuh karena rasa penasaran yang membara.
Tapi pernahkah kau melihatku sebagai sosok yang penuh motivasi?
Pernahkah kau memahami bagaimana caranya aku mengatasi masalah-masalah yang terjadi?

Aku ingin hidup.
Sungguh besar keinginan tersebut.
Aku ingin hidup.
Selalu aku ucapkan sesaat sebelum tidur dan di pagi hari aku membuka mata.
Aku ingin hidup.

Tolong aku.

Tolong lihat aku.
Bukan dengan pandangan yang menilaiku dari luar.
Namun, menggunakan sudut pandang yang tidak pernah kau coba.
Perhatikan baik-baik sampai kau menyelami isi diriku.

Tolong.
Beri rasa percayamu untuk aku.

Aku, juga mampu.
Meski tidak dengan cara yang dulu kau lakukan.
Aku yakin, aku mampu.
Jadi, percayalah. K

Aan De Rand van Het RavijnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang