Prolog

7 0 0
                                    


Senja terpancar gagah membentang, menerpa wajah dua orang remaja yang duduk saling berhadapan. Angin berembus menerpa wajah, hingga butiran bening gadis itu berjatuhan. Kedua telapak tangannya menutupi wajah beriringan dengan bahunya yang terguncang. Gadis itu menangis pilu. Sedangkan anak laki-laki di hadapannya hanya tertunduk lesu, netra abu-abu anak laki-laki itu menatap lekat pasir putih yang menjadi alasnya untuk mereka duduk. Netra itu ikut berkaca-kaca.

“Kenapa kamu mau ikut dengan Ibu dan Bapak itu, Vie?” tanya Chia dengan posisi masih masih menutupi wajah, “kamu malah ninggalin aku di sini sama anak-anak panti yang nakal-nakal. Dan nanti gak ada lagi yang belain aku di sekolah pas mereka ganggu aku.”

Kepala Xavier perlahan terangkat, netra abu-abunya langsung menangkap punggung tangan Chiara, kemudian ditarik tangan itu. Seketika netra biru berkilau dari balik kelopaknya, “Chia, jangan nangis dong. Kamu jangan takut kalau ada yang ganggu di sekolah, kamu lawan aja. Atau lapor ke Guru.”

“Tapi kan, mereka pasti bakal nambah ngejek aku. Kalau sama kamu mereka takut. Terus habis ini kita gak bisa ketemu lagi, Vie?”

“Kamu harus bisa lawan mereka, kalau kamu takut. Mereka malah makin seneng ganggu kamu. Dan tenang aja kita bakal sering ketemu, kok,” jelas Xavier pada Chiara yang kini mulai menekuk wajahnya, “dasar cengeng, manja!” lanjut Xavier.

Anak laki-laki itu berlari setelah mengacak rambut cokelat Chiara dan mencubit hidung gadis itu yang mancung. Membuat gadis berusia 12 tahun itu berteriak dan ikut berlari mengejar Xavier.

Chiara dan Xavier berlarian di bibir pantai, tawa mereka berlomba dengan debur ombak, kaki jenjang mereka menyatu dengan pasir yang basah. Tangan Chiara menyiram air ke arah Xavier dan dibalas pula oleh anak laki-laki itu, sehingga mereka berdua basah kuyup.

Sejenak kesedihan dua anak remaja itu pudar, hanya dengan berlarian cukup untuk mereka lupa akan sebuah kepergian, ditinggalkan dan perpisahan. Hingga malam tiba, setelah membersihkan diri dan makan malam. Xavier berbisik-bisik dari kejauhan memanggil Chiara yang sedang membantu Ibu panti membereskan meja makan. Gadis itu menghampiri Xavier, kemudian berjalan mengekor di belakang Xavier. Mereka berdua duduk di rerumputan belakang rumah panti.
Chiara tidur terlentang di atas rumput hijau, di bawah bintang yang mengedip kearah mereka. Tiba-tiba tangan Xavier mengulurkan kalung tepat di arah pandang Chiara.

“Ini untukmu, Chiara,” ucap Xavier sambil ikut terlentang di sebelah Chiara. Kalung itu sudah dalam genggaman gadis remaja itu.

“Wah, kalung. Bentuknya kok love?” tanya Chiara sambil mengenakan kalung itu pada lehernya, “aku juga punya saputangan untukmu. Kenang-kenangan, biar kamu gak lupa sama aku. Kan, besok kamu mau pergi dari panti ini.”

“Terimakasih, Chiara. Aku tidak akan lupa sama kamu”

“Janji?” Chiara mengulurkan kelingkingnya.

“Aku janji, asal kamu juga gak lupain aku.” Jawab anak laki-laki itu sambil menautkan kelingkingnya pada Chiara.

“Siap.”

Bibir Chiara tersenyum sehingga terlihat barisan giginya yang kecil. Xavier tertawa melihat Chiara tersenyum, alis gadis itu bertaut. Bingung mengapa Xavier tertawa.

“Kenapa kamu ketawa?”

“Itu!” tunjuk Xavier ke arah gigi Chiara, “gigi kamu ada cabenya Chiara. Dasar jorok!”

“Biarin!” sahut gadis itu dan teeus menunjukan giginya pada Xavier, membuat anak laki-laki itu bergidik. Kemudian menarik pipi Chiara hingga gadis itu meringis dan berteriak. Xavier berlari menuju ke dalam rumah, disusul oleh Chiara.

Under The TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang