3. Tuan Im

38 7 14
                                    

Harus vote dulu! Habis itu komen, ya.

--

Gwan Jimin menyuap dengan enggan nasi yang tertampung rapi pada sendoknya. Dentingan perpaduan antara sendok dan piring menjadi harmoni tersendiri untuk menemani makan malam keluarga yang luar biasa memuakkan. Tuan Gwan tampak sesekali melirik Jimin dari sudut pandangnya. Mendelik kecil melihat wajah datar si bungsu yang tidak pernah berubah barang hanya sekali, ah—pernah, saat Jimin membentaknya beberapa hari yang lalu.

Hari ini, entah kenapa Jimin mendadak disuruh pulang ke rumah orang tuanya. Ada urusan penting yang sekiranya Jimin tidak ingin menaruh peduli sama sekali. Tidak ada yang namanya urusan penting jika menyangkut Jimin, semuanya hanya paksaan berkedok urusan penting atas nama keluarga. Selalu begitu. Jimin sudah cukup dewasa dan luar biasa muak untuk drama ini.

Jimin meraih gelasnya dan meneguk airnya dalam sekali teguk. Tanpa sepatah kata ia bangkit dari duduk dan melangkah menuju kamar lamanya. Agaknya Jimin ingin mengistirahatkan diri sejenak setelah menyiapkan banyak design untuk artis dari perusahaan kakaknya Youra. Tapi, sepertinya bukan itu yang ayah Jimin mau, ia berdeham dan memanggil Jimin dengan suara kelewat penuh dominasi yang mau tidak mau membuat Jimin menghentikan langkahnya.

"Duduk kembali," perintah Tuan Gwan.

Jimin menghela napas. Ia terlalu lelah untuk sebuah perdebatan tak berarti jadi ia berbalik badan dan kembali menjatuhkan bokongnya. "Hm?"

Tuan Gwan mengelap mulutnya sejenak dengan mata yang terus menatap Jimin. "Bagaimana perusahaanmu? Apa ada kendala?" tanyanya.

Manik Jimin menatap ayahnya sejenak, tidak butuh waktu lama ia tertawa remeh. Benar, jika sudah bersikap sok peduli seperti ini pasti ada maunya. Jimin yakin seratus persen. "Langsung saja. Telingaku terlalu mahal untuk mendengar omongan busuk anda."

Nyonya Gwan yang berada tepat di depan Jimin menghela napas, ia melirik suaminya yang sudah menggertakkan rahang kuat menahan amarah lalu menatap si bungsu dengan prihatin. Ia juga tidak bisa membantu banyak. Semuanya sudah terkendali di tangan suaminya dan dia tidak memiliki barang satu kesempatan saja untuk membela sang putra.

"Kau—tidak memiliki kekasih, kan?" tanya Tuan Gwan.

Tepat saat itu jantung Jimin berhenti berdetak barang sejenak. Ia menatap sang ayah dengan pikiran yang melayang ke tempo hari lalu—mengenai perkataannya pada Youra. Wanita itu belum menerima tawarannya hingga saat ini. Pun untuk ini agaknya Jimin memang masih membutuhkan izin Youra. Tapi, melihat peluang yang cukup besar dan Jimin tidak perlu repot-repot mengucapkan duluan, harusnya tidak disia-siakan.

"Ya."

Hening sejenak. Jimin dapat melihat kedua tangan ayahnya yang mulai terkepal. "Bicara yang jelas, Gwan Jimin!"

"Aku mempunyai kekasih," jawab Jimin.

Mata coklatnya menatap lurus tepat ke mata ayahnya. Tidak gentar dan menantang walau mata itu dulu pernah menjadi hal yang paling menakutkan untuknya. Agaknya Jimin memang harus mempersiapkan diri untuk menerima semua kalimat kelewat tajam dari Youra sebab sudah memberitahu orang tuanya. Tapi, untuk saat ini Jimin paham kemana arah pembicaraan ayahnya. Jimin tidak mau. Tidak suka.

Demi Tuhan, Eun Youra adalah wanitanya. Cinta sempurnanya.

"Kau..."

Tuan Gwan menggeram kesal. Ia memukul kepalan tangannya pada sisi meja hingga mampu membuat Jimin tersentak dalam diam. Ia menatap geram pada Jimin. Lagi-lagi anaknya ini memberontak. Melanggar semua ucapannya. Durhaka. Tidak tahu diri dan tidak tahu terimakasih.

MOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang