pesisir kuta

31 4 0
                                    

        “Kenapa tiba-tiba, Binar?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

        “Kenapa tiba-tiba, Binar?”

        Binar menunduk pandangi tungkainya gelisah. Pesisir Kuta dengan nabastala jingga yang buru-buru menyiapkan singgasana candra mendampingi sepasang insan yang bersisian.

        “Aku harus pergi, Lentera.”

        Hening yang menjelma diantara deburan ombak membuat Binar gamang.

        “Ah, pergi ya..” Pandangannya jauh kehadapan, menghiraukan eksistensi Binar di sisi.

        “Kalau kamu benar pergi, akankah kamu pulang?” Masih dengan pandangan lurus kehadapan, berusaha mempertahankan matanya untuk tetap sama.

        Kalimat bertanda tanya itu, sungguh, mencekam Binar hingga lidahnya kelu berujung kaku.

        “Kenapa kamu diam saja? Jawab, Binar, kamu pergi kemana?”

        Satu hembusan napasnya yang gusar lolos. Kali ini Binar benar-benar harus mengaku. Ia tak bisa untuk terus berkejaran dengan waktu.

        “Korea, Lentera, negeri ginseng itu. Keputusan ayahku sudah final.”

        Sebaris jawaban telah memberi informasi dan pemahaman bagi Lentera. Binar memang sudah lama menyimpan semua tanpa ada membaginya.

        “Kapan kamu berangkat?”

        “Tiga hari lagi, waktu penerbanganku.”

        Ah, kalau ditanya apa yang dirasa, sudah pasti pedih. Dadanya sesak hanya untuk mengiyakan hati pasal Binar yang tak menganggap serius perjalanan mereka lima warsa ini. Waktu yang lambat untuk ceritera yang singkat.

        Terpejamlah netranya bersama hembusan napas dalam-dalam demi menghiraukan begitu bejatnya rangsangan lara relung daksanya. Sang surya tenggelam, bersama afeksi dua insan yang kini padam.

        “Aku paham maksudmu. Pergi saja kalau begitu, aku juga tak akan tinggal.”

        Melangkah berbalik memunggungi, setelah sebelumnya diserahkannya polaroid gambar sang taruna yang dirangkum senja saat berada diatas tanah Karimunjawa. Iya, setelah mereka bertemu pertama kali.

        “Lentera, kalau kamu pikir aku tidak mengganggap serius perjalanan kita selama ini, kau jelas salah,” Sekonyong-konyong katanya, menghentikan langkah Lentera.

        “dan beribu maaf, aku tak mampu pulang.”

        Malam itu juga, Lentera terbang meninggalkan ranah Bali bersamaan melabeli diri sebagai patah. Sedang yang tertinggal menamai diri pasrah.

Lentera KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang