Akara dari winata antik yang masih berjalan kini perlahan hirap, entitas berupa kudapan dalam keranjang nian bernas. Namun tak membuat basirah sang pengayuh pedal mala sarat puspas.
Torso jangkung dengan kayuhannya ialah harkat korelasi yang presistensi. Tanpa terdayuh ihwal kumpulan kudapan artifisial sang ibu pada keranjang yang tak lekas kandas dalam isi. Pantang kembali jikalau setidaknya lima buah kandas dibeli.
Dibawah naung gemintang beserta temaram lindap ranah Costwolds, dirinya singgah sejenak; ambau diri di atas bangku di tepi bulevar. Sebelah hastanya menginvasi isi tas guna mengambil botol air mineral.
Salju yang ambau dalam bumantara lilin batik kali ini tak terlalu lebat. Sanggup membuatnya berani untuk mencabar jalanan.
Samar-samar, birama sajak sarat gempita dari wisma di belakang sang teruna merasuk dalam ruang rungu. Menajuk nada dalam kampana resonansi yang tercipta dari gesekan dawai. Ia merotasi durja, ajun memperhatikan sejenak apa yang terjadi dari dalam wisma kecil di belakang sana.
Sepasang obsidian kelam itu terpaku pada ruang riuh dari balik bingkai jendela. Merekam banyak insan saling beradu cakap, saling mengejar, berbagi kehangatan dengan perapian yang menyala.
Labiumnya melengkung getir, pasang obsidiannya memendar binar pias. Ia lupa kapan terakhir kali berkumpul saling melontar seloroh, menyalur afeksi dalam dekapan dama pergantian tahun yang olenka.
Derana dalam atmanya meluruh, mencoba menerima tirta amerta untuk semestanya yang kini hanya selayang angan belaka. Pemilik torso jangkung itu berdiri, merajut langkah tungkai mendekati sepeda kayuhnya.
Sayang, langkahnya terhenti tatkala coat yang ia kenakan merasa ditarik pelan. Sekon usainya pasang netra lain iris saling bersirobok, disertai senyuman gemas mematri kurva labium dari lain daksa. Yoon Kevin─asma sang pemuda yang ditahan malah tergugu, ia tak tahu harus membalas senyuman manis itu seperti apa.
Lain perihal untuk sang pemilik torso kecil yang masih loyal menahan coat tebalnya. Pasang maniknya kini melongok pada presensi diatas winata sang teruna.
"Uncle!" panggilnya, jemari telunjuk sebelah hasta kecil yang menganggur, mengudara guna menunjuk keranjang. Sepasang kelopak milik Kevin melebar, turut memaku atensi yang sama dengan si pemilik netra kelabu yang kini berada sedikit di belakangnya.
"Y-ya?" Sungguh, dirinya bingung hendak bertutur bahana. Lantas Kevin beralih kembali untuk memaku agah pada si gadis dengan surai berkepang dua. Kurva triangulasi sepasang sudut si dara cilik itu sanggup mengundang fokus sang teruna untuk loyal menatapnya.
Hingga sepasang obsidian kelam itu jatuh pada manekin kecil di sebelah kaki si gadis. Kevin tanpa sadar tersenyum pias.
Andai dirinya bisa mengirim hadiah semanis itu untuk sang adik.
"Mum ingin membeli semua yang ada di dalam keranjang paman, boleh?"
Mendengar tuturan lugu si gadis membuat kelopaknya mengerjap. Astu sang adi, si teruna bukan kepalang terkejut. Lantas dirinya mendongak durja, menatap beranda kediaman si gadis cilik yang rupanya mendapati presensi sang ibu yang dimaksud.
"Tentu bisa! apa kamu keberatan membawanya?" Kevin tak berhenti bersungging labium berma saat sepasang jemari kecil itu dengan antusias menerima keranjang. Mengulas kurva manis dengan deretan gigi susu yang berjejer rapi.
"Aku bisa, ini uangnya!" si gadis berlarian kesana kemari guna mengantar pesanan sang ibu lalu kembali dengan menyodor beberapa lembar pound untuknya.
"Terima kasih banyak, nona. Terima kasih banyak lady!" sahut Kevin mengusak ringan surai sang gadis yang dilanjutkan dengan penghormatan untuk sang ibu dari si gadis. Yang hanya dibalas anggukan dan senyuman dari sang pemilik.
Setidaknya ia bisa merasakan malam pergantian dengan sang ibu dan tak lagi merayakannya di surau kecil belakang puri.
meet him, the beloved one.
to be continued,
©aiursgalaxy, 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐢𝐟 𝐭𝐡𝐞 𝐬𝐤𝐲 𝐡𝐚𝐝 𝐧𝐨 𝐬𝐭𝐚𝐫𝐬.
Poetry➳┊ 𝐟𝐭, 𝐭𝐫𝐞𝐚𝐬𝐮𝐫𝐞 𝐎𝟏'𝐬 if the sky had no stars, it would be better if our story didn't exist either. ©𝐝𝐮𝐧𝐤𝐞𝐥𝐝𝐰𝐚𝐥𝐤𝐬, 𝟐𝟎𝟐𝟏