31 Oktober 2022
•••
"Tugas kalian, menuliskan tiga hal, universitas favorit kalian, jurusan kalian, cita-cita kalian, beserta keterangan lain tentang hal itu. Lalu setelahnya, kita berdoa bersama agar terwujud, semakin banyak doa ... semakin cepat terkabul. Ibu harap, kalian menulisnya serius, oke?" pinta sang guru di depan pada murid-muridnya, dan mereka menjawab paham.
Namun, seorang murid ganteng dengan wajah tengil mengangkat tangan, mengajurkan pertanyaan.
"Apa, Wawan?" tanya sang guru, wajahnya langsung merasa tak nyaman dengan pertanyaan yang akan diajukan.
"Kalau gak niat kuliah, gimana, Bu? Saya nulis apa?" tanya sang cowok cengengesan.
"Lho? Kenapa kamu gak niat kuliah?" Gurunya mengerutkan kening.
"Gak niat aja, Bu." Wawan menjawab seraya cengengesan sementara sang wanita menggeleng miris.
"Wawan, cobalah untuk memiliki harapan di masa depan, agar bisa jadi motivasi untuk diri kamu. Khawatirnya, kamu tahu apa yang terjadi, kan?"
Wawan tersenyum kecut sejenak, meski demikian ia menyengir lagi. "Kalau gitu saya mau sekolah game aja, mungkin kalau saya GG bisa jadi penjoki handal atau gamer profesional?" Teman-temannya tertawa akan pernyataan tersebut.
Sang guru menghela napas pasrah pelan. "Tulislah apa yang ingin kamu tulis, Nak. Ibu pusyiiing."
"Hehe, canda, Bu." Wawan dan yang lain pun mulai menuliskan apa yang mereka inginkan.
Meski tadi selalu tersenyum, Wawan terlihat sendu menulis semua yang diperintahkan sang guru. Dia menulis, jika sebenarnya sangat tertarik pada dunia hukum, karena di dunia ini banyak hal yang tidak adil.
Ia hanya ingin menegakkan sesuatu selain itu, yaitu keadilan.
Setelah selesai, Wawan menghela napas pasrah.
"Sudah, Anak-anak? Sekarang, kumpulkan di kotak harapan ini, ketua kelas tolong kumpulkan." Ketua kelas berkeliling dan meminta kertas yang sudah dilipat ke dalam kotak tersebut.
Termasuk milik Wawan.
"Wan, nanti abis pulang mabar."
"Oke deh, tapi sampe jam 3 aja yak." Wawan memberi syarat.
"Bentar amat, paling juga tiga match itu."
Wawan hanya tertawa menanggapi. "Ya gimana, gue ada urusan pas pulang, pankapan nanti gue chat lu."
"Ya udah serah deh." Ketua kelas pun beranjak pergi mengumpulkan kertas lain, hingga semuanya terkumpul, barulah diserahkan ke sang guru.
Sesuai perkataan, mereka berdoa bersama untuk masa depan yang mereka harapkan nanti, dan Wawan tampak sangat menghayati apa yang dilakukannya.
Dan sesuai ungkapan, setelah pulang, Wawan CS mabar di belakang perpustakaan, di mana di sana ada jaringan wifi sekolah yang lancar jaya karena tak banyak orang memakainya lagi. Selama satu jam mereka bermain hingga pukul 3, Wawan pulang ke rumahnya.
"Wawan pulang, Kakek," sapa Wawan memasuki rumah lusuh sederhana, dan tampak sang kakek duduk di kasur tipis di sana. Pria tua renta itu mendongak, tersenyum ke cucunya seraya merubah posisi dengan tertatih.
Wawan tersenyum menyalami sang kakek. "Udah makan, Nak?"
Wawan menggeleng. "Wawan nunggu pas pulang, Kek. Kakek sendiri udah makan?"
"Kakek nunggu kamu." Pria tua itu tertawa pelan, tampak agak kesulitan bergerak.
"Aduh, Kek, jangan gitu. Kakek kan harus minum obat tepat waktu, makan aja duluan gak usah nungguin Wawan." Wawan berkata sedih, dan sang kakek agak menyesali perbuatannya.
"Maaf, Nak. Tapi Kakek ngerasa gak enak kalau makan sendiri." Wawan menghela napas pasrah.
"Maaf pulang telat ya, Kek." Memang salahnya ternyata, dipeluknya tubuh kurus keriput dengan rambut putih itu. "Ya udah, Wawan siapin makan buat Kakek ya."
Kakeknya mengusap puncak kepala Wawan dengan jemari rapuh itu, Wawan tersenyum manis sebelum akhirnya beranjak ke dapur. Menyiapkan makanan untuk mereka makan. Ada lauk telur dadar tadi pagi, nasi, sambel, dan sayur.
Menu yang bagi Wawan dan kakeknya sangatlah mewah.
Mereka makan dengan lahap, bercengkerama satu sama lain dengan kebahagiaan kecil itu, hanya mereka berdua. Setelah makan, sang kakek minum obat, dan setelahnya keduanya bersantai sejenak di sana.
Barulah, Wawan memandikan sang kakek yang memang sebagian tubuhnya mengalami kesulitan gerak, stroke, yang menyerang sisi kiri tubuhnya. Jadi, dengan telaten, Wawan membasuh tubuh kakeknya. Lalu, memakaikan pakaian baik.
Wawan juga melakukan ragam pekerjaan rumah, cuci baju, piring, dan beres-beres. Semua dilakukan pemuda itu tanpa keluhan sama sekali sampai akhirnya, malam tiba.
"Kek, Wawan berangkat dulu," kata sang pemuda, menyalami kakeknya.
"Hati-hati, Nak." Kakeknya memberi wejangan.
"Kakek mau nitip apa?"
Sang kakek menggeleng. "Gak usah, tapi mungkin lauk aja buat kita sarapan besok."
"Oke siap, Kek."
Wawan pun berangkat, pemuda itu menuju ke depan gangnya, ke sebuah warung makan yang ada di pinggir jalan. Di sana, Wawan memanggil sang penjual yang tak lama datang.
"Eh, Wan, nih wadahnya di sini," kata sang ibu penjaga warung, Wawan mendekati dan melihat dua wadah nampan plastik bertutup ada di belakang dapur. "Abis, Wan."
"Wah, syukurlah. Seratus ya, Bu." Wawan berkata, mengambil dua buah wadah itu.
"Heem, banyak yang suka kan kue kamu, ada yang ngeluh kurang, biasanya sampe dua ratusan." Ibunya berkata seraya mulai mengeluarkan uang dari lemari uang di sana.
Wawan cengengesan. "Bentar lagi ujian, Bu. Jadi waktunya rada mepet gitu, buat belajar."
"Oh iya, ya. Kamu kan kelas dua belas, ya?" Wawan mengangguk. "Nih uangnya, plus ini, lauk Ibu sisa banyak, buat kamu sama Kakek."
"Wah, makasih banyak, Bu." Kalau begini dia tak perlu beli, bersyukur sekali.
"Iya, sama-sama."
"Saya pulang dulu."
"Iya, Wan. Hati-hati di jalan." Wawan pun beranjak dengan bahagia, membeli banyak bahan untuk membuat kue, barulah menuju rumah, nasib mujur ini, oh betapa baiknya Tuhan pada ia dan kakeknya.
"Kakeek, tebak apa yang Wawan bawa? Ibu ngasih kita sisa lauk, makan enak Kek!"
Kakeknya tersenyum hangat. "Syukur, Nak. Syukur."
Malam itu, Wawan dan kakeknya makan dengan lahap, karena jarang sekali mereka bisa makan ayam yang bagi mereka amatlah mahal, hanya telurnya saja kadang. Lalu, kegiatan Wawan sehari-hari dilaksanakan secara berulang.
Malam membuat adonan, belajar sebentar, tidur, mulai menggoreng kue subuh hari, mandi, mengganti pakaian kakeknya, dan mulai berangkat, menuju warung mengantar kue, lalu sekolah. Rutinitas yang bagi banyak orang mungkin melelahkan, tetapi Wawan sudah biasa dengan hal tersebut, karena hanya ada ia dan kakeknya, maka ialah yang harus membalas semua jasa pria yang telah merawatnya sedari kecil itu.
Orang tua? Wawan tak tahu ke mana, mereka hilang tanpa jejak, bahkan Wawan tak tahu wajah mereka bagaimana ....
Namun, tak mengapa, Wawan punya kakek yang amat menyayanginya, dan dulu pun mendiang neneknya sangat sayang padanya, ia tak butuh siapa pun. Cukup ia, kakek, dan neneknya di surga sana. Kehidupannya baik, bahkan sejauh ini sangat baik.
Meski dia tak mendaftar SNM dan SBMPTN, dan memang tak akan berkuliah karena kondisi kehidupan begini, ujiannya lancar jaya, lalu semuanya berjalan sangat baik ketika tahu dirinya lulus. Bersama sang kakek dengan kursi roda yang disewakan, mereka merayakan kelulusan itu dengan gembira.
Namun, inilah awal dari semuanya ....
BERSAMBUNG ....

KAMU SEDANG MEMBACA
TANTE ... NIKAH YUK!
Roman d'amourWawan (19) dikejar tante cantik karena perkara TOD! "Tante ... nikah, yuk!" "Oke, kalau kamu mau jadi suami saya."