Gagang Pintu

34 0 0
                                    

Hidup seorang anak laki-laki yang selalu mendambakan banyak hal dalam hidupnya. Berkelana kemanapun yang ia mau, menari dan bernyanyi di sepanjang jalan yang dilalui, kebebasan dalam memilih persimpangan, terbang melintasi lembah juga bukit.

Dia bertemu seorang nenek memegang kendi yang menangis dalam bayangannya sendiri. "Kenapa menangis Nek?" Dihampirinya dengan penuh penasaran. "Aku kesepian, hidup panjang umur tapi teman dan pasangan telah lama mati." Jawabnya sambil tersedu-sedu dan terus memalingkan mukanya. "Bagaimana jika aku temanani nenek agar tidak kesepian?" Sambutnya untuk meredakan tangis. "Engkau pasti mati juga tidak ada yang bisa menemani ku selamanya seperti rembulan dan mentari" sahutnya dengan melangkah pergi.

Satu hal yang tidak bisa ia lakukan bukan masalah besar kata dalam hatinya, kemudian ia mengikuti sang nenek. Sang anak laki-laki memutuskan untuk menemani sang nenek sampai sang nenek bahagia, ia enggan meninggalkan orang dalam perjalanan dengan tetes air mata juga ketidakpuasan.

Sang nenek berjalan dengan tongkatnya diikuti anak laki-laki yang sedari tadi memikirkan hal yg dibutuhkan sang nenek. "Apa nenek tidak haus berjalan jauh seperti ini?" Tanyanya untuk memecah sunyi dan lelah. Sang nenek kemudian duduk dan menundukkan kepalanya. "Sebentar Nek biar aku ambilkan air, di depan sana ada sungai." Berlari dia  dengan semangatnya ke tepi sungai.

Kembali dengan gembira ia memberikan air yang sudah diambilnya "Ini Nek airnya." Sang nenek pun meminumnya secara perlahan-lahan. "Nenek senangkan sekarang karena telah aku temani" sahutnya setelah melihat sang nenek minum, tetapi sang nenek malah membuang air itu lalu berdiam diri.
"Nenek kenapa? Nenek marah padaku?" Tanyanya dengan marah dan kebingungan melihat kejadian tersebut. "Lihat dirimu nak, dirimu tidak seperti air yang menghidupi tanpa pamrih. Berbuat baik padaku dan mengharapkan aku senang." Jawabannya lembut pereda untuk anak laki-laki. "Tapi Nek...." Anak laki-laki yang mencoba menjelaskan dan melangkah untuk menatap mata sang nenek "Tidakkah kau tau kenapa aku menumpahkan air itu? Aku ini sudah buta tak sengaja menginjak rerumputan juga bunga, sampai aku injak-injak menjadi tanah gersang tapi dia akan jadi tempatku kembali, salahkah aku memberinya air yang kau ambil untuk menghidupinya?" Terdiamlah anak laki-laki.

"Duduklah di samping ku Nak." Duduklah anak laki-laki diiringi angin yang berhembus menerpa dedaunan. "Kau merasakannya Nak?" "Merasakan apa Nek?" Tanya sang anak laki-laki dalam Tanya. "Meskipun aku buta, angin selalu setia menemaniku meski tak terlihat. Dingin dikala malam, hangat dikala pagi, sejuk dan panas masih dapat aku rasakan." "Iya Nek aku merasakannya, angin berhembus kencang dan dingin sepertinya akan turun hujan." Perbincangan keduanya.

Hujan pun mulai turun membasahi sekeliling mereka. "Turun hujan Nek, untung kita berada di bawah pohon rindang." Kata anak laki-laki. Kemudia sang nenek berdiri dan berjalan menghadapi hujan. "Nenek mau kemana?" Anak laki-laki sambil mengikuti sang nenek. "Aku suka hujan Nak, mereka rela jatuh berkali-kali tapi tidak pernah menyerah." Kata sang nenek dengan senyum dan menikmati hujan.

Anak laki-laki yang senang dan menari dengan hujan dan berkata "Terima kasih Nek."
Anak laki-laki tersadar bahwa tak ada yang sempurna dan ia tidak bisa mendambakan sesuai harapannya. Tapi dia mencoba lebih berarti dari mereka semua dengan segala kekurangan yang dia miliki.

Sudut PandangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang