BAB 1

40 5 1
                                    

Semua akan baik-baik saja, selama orang-orang tidak tahu kebenarannya.

Gadis dengan rambut menjuntai sebahu itu melangkahkan kaki dengan mantap setelah turun dari bus. Hanya dengan satu tarikan napas, senyumnya mengembang hingga kedua manik matanya nyaris tenggelam. Dia berjalan menyusuri trotoar menuju sekolahnya, sepanjang jalan, orang-orang yang memakai seragam yang sama dengannya menyapa.

“Pagi, Ra!” Begitulah ucapan yang keluar setiap kali mereka melintas.
Yara, gadis yang tidak pernah lepas dari senyuman itu selalu membalas sapaan tersebut meski dia tidak mengenal setiap orang yang menyapanya.

“Pagi!”

Satu kalimat yang kemudian orang-orang bisikan setiap kali Yara membalas ucapan mereka, “Gila, gue disapa balik!” Lagipula, siapa yang tidak mengenal Yara di sekolah. Dia bagai malaikat yang selalu dipuja oleh orang-orang di lingkungannya.

Orang-orang di sekitarnya ingin dekat dengannya. Bisa disapa oleh Yara saja mereka sudah kegirangan seperti mendapat undian milyaran rupiah.
Bukan hanya kalangan siswa saja, di antara guru-guru, Yara juga disenangi karena nilai-nilainya yang memuaskan. Gadis itu seakan menjadi idola tersendiri karena tidak banyak bertingkah seperti siswa lain. Satu kata yang dapat menggambarkan Yara, “sempurna”.

Maka begitulah, hari-hari Yara di sekolah begitu menyenangkan. Tidak ada gangguan dan begitu tentram. Iya, setidaknya seperti itulah harapan gadis itu.

***

“Yara!!” sang pemilik nama terlonjak kaget saat seseorang melompat dan merangkulnya dari belakang.
Jantung Yara hampir saja melompat keluar jika tidak mengetahui siapa pemilik tingkah menyebalkan itu.

“Leni?! Bisa nggak sih biasa aja kalau nyapa?” Yara bersungut, melepas tangan Leni yang menggantung di bahunya, meski akhirnya dia tetap tertawa juga.

“Itu juga udah biasa kali. Tiap pagi kan juga gitu, ya nggak, Mon?” Leni membela diri, meminta bala bantuan dari Monica yang datang bersamanya.

“Iya, lo kayak nggak tahu tabiat Leni aja, Ra. Dia kalau nggak teriak-teriak kayak monyet emang nggak bisa.” Monica dan Yara cengengesan.

“Sial! Kampret emang lo pada!” Leni pura-pura marah. Dia mendesis kemudian berjalan menuju kelas mendahului kedua temannya.

“Ah nggak seru, gitu aja ngambek.” Yara menyusul bersama Monica di belakangnya. Satu dua siswa mengamati mereka, atau lebih tepatnya mengamati Yara. Ingin rasanya menjadi Leni dan Monica yang dengan bebas bisa berbicara dengan Yara setiap hari.

“Emangnya, gue itu lo, Ra? Yang nggak bisa marah?” Leni berkata sambil lalu. Yara yang mendengar ucapan itu hanya tersenyum simpul.

Nggak bisa marah ya....

“Eh! Stop! Stop!” Tiba-tiba, Leni menghentikan langkah. Kedua tangannya merentang ke samping. Mau tidak mau, Yara dan Monica yang mengekorinya ikut berhenti.

“Apaan sih, Len?” Monica celingukan, mengikuti arah pandang Leni yang tertuju di lapangan.

“Itu, si Gavin, kan?” Leni menunjuk seorang siswa yang sedang menggiring bola di lapangan. Langkahnya gesit menghindari lawannya seraya menuju ring basket yang tinggal berjarak dua meter itu.

Penasaran, Yara mencoba mengikuti arah pandangan Leni. “Gavin?” Yara memang dikenal oleh orang-orang di sekolahnya, tapi gadis itu hanya mengenal beberapa orang saja dan itu tidak termasuk dengan cowok yang sedang menjadi bahan pembicaraan mereka.

“Iya, itu lho ... yang sering menang lomba karya ilmiah. Masa lo nggak tahu sih, Ra?” Leni menepuk jidatnya. Gavin sama terkenalnya di sekolah seperti Yara dan temannya itu tidak tahu? Yang benar saja.

It's Okay to Take a BreakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang