Dia melihatku.
Kalimat itu terus terngiang menghantui benak gadis yang baru saja kembali berubah menjadi manusia itu. Perih terasa menusuk-nusuk ketika ia menyiramkan air sungai di pagi buta yang terasa sedingin es ke luka di lengannya. Anak panah yang menancap di lengan atasnya itu terpaksa ditangguhkannya dicabut sampai ia tiba di pondok kecil tempat tinggalnya-agar tidak meninggalkan jejak ceceran darah sepanjang derap langkahnya. Beruntung gadis itu tidak menemukan tanda-tanda cairan racun di mata anak panah yang menancap dalam dagingnya itu-memang wajar karena tujuan pemburu itu pasti membunuhnya, bukan melumpuhkannya untuk dijadikan hewan sirkus.
Setelah lukanya dirasa cukup bersih, gadis itu mengoleskan cairan racikan tanaman herbanya untuk mencegah infeksi lanjut-yang sayangnya tetap melanjutkan perihnya. Sembari melilitkan perban untuk menutupi lukanya, gadis itu berkutat dengan hantu-hantu pikirannya.
"Kenapa dia bisa melihatku?" Gadis itu mulai bergumam, alisnya bertaut serius mengingat reka ulang kejadian beberapa saat lalu-bidikan pertama si pemburu yang menggores kumisnya itu jelas bukan tembakan asal. Ia yakin, meski sekilas atau hanya sebatas siluet, pemuda pemburu itu pasti melihatnya. Melesatkan anak panah untuk memastikan, lalu melihat gerakan yang lebih jelas untuk bidikan yang lebih tepat.
"Mustahil manusia biasa bisa melihat wujud sang penunggu hutan yang sedang menipiskan hawa keberadaannya. Apalagi, saat itu aku tidak lengah sama sekali untuk memberikan celah pada selaputku," Gadis itu lanjur bergumam, meyakini ingatannya yang tidak salah soal kewaspadaaannya yang tinggi saat itu.
Lalu pandangannya jatuh pada lukanya yang sudah setengah jalan dibalut perban, "Kenapa luka anak panahnya bisa separah ini?" bisiknya lirih begitu menyadari bahwa perban putih yang baru saja membalut lukanya sudah terembes oleh merah darah di baliknya. Cepat-cepat gadis itu membuka kembali lilitan perbannya, menadah lengannya hati-hati agar tidak mencecerkan darah selagi ia bergegas melangkah kembali ke sungai. Sayangnya, pendarahannya tak kunjung berhenti sekalipun gadis itu telah berusaha mengikat kuat-kuat lengan di atas lukanya dengan kain untuk menghalangi peredaran darah sementara.
Gadis itu mendongak ke langit yang terbingkai pucuk-pucuk pohon, memandangi kelamnya langit malam mulai dilunturkan oleh semburat jingga di ufuk timur yang menyebarkan gradasi biru pucat di antara awan-awan tipis. Meskipun dirinya adalah siluman serigala yang bisa mencari makanan alami yang disediakan gratis oleh hutan, tetap saja apel dan perasan beri tidak lebih baik dari roti gandum berlapis mentega di kota.
Memasrahkan diri pada semua resiko, ia mengambil jubah bertudungnya dan mengenakan sepatu boot lapuknya, mengantongi beberapa keping koin logam dalam kantung kecilnya, lantas melangkahkan kakinya menyibak batas hutan.
***
Saat-saat ketika pagi baru saja merebak, birunya langit masih pucat dan hembusan angin masih sebelas-dua belas dinginnya dengan angin malam, maka itulah saat terpadat di Kota Woodise. Kedai-kedai bermeja bulat mungkin belum membalik papan toko mereka menjadi sisi bertuliskan 'buka', tetapi gerai-gerai jendela yang menghamparkan roti-roti pertama mereka atau bahan sarapan lain, sudah siap melayani dari balik jendela mereka.
Keramaian mobilitas distribusi transaksi warga kota yang memanggul keranjang sayur dan buah, gerobak berisi karung-karung beras dan gandum, tong-tong pasokan bir, dan kantung-kantung gula dan tepung, serta bel sepeda pengantar botol-botol susu atau koran itu memudahkan si gadis penunggu hutan ikut dalam antrian gerai jendela roti langganannya tanpa perhatian berlebih tentang bisunya.
"Ah, gadis kecil, kau yang katanya menjual ramuan herba itu, bukan?"
Ketika tiba giliran gadis itu memilih roti di antara hamparan aneka bentuk dan jenisnya-yang tidak pernah tidak membuatnya ingin memborong semuanya saja-tiba-tiba saja wanita penjual roti di balik jendela itu melontarkan pertanyaan. Hampir tergagap karena sedang berwaspada penuh, gadis itu lekas mengangguk sembari mengangkat sedikit wajahnya dari hamparan roti, "Eh, iya, saya memang meracik dan menjual ramuan herba. Ada yang bisa saya bantu?"
Wajah wanita penjual roti itu langsung tersapu kelegaan, seolah-olah gadis itu adalah penyelamat hidupnya. "Syukurlah kabar itu benar! Apakah kau bisa meracik ramuan untuk meredakan sesak napas? Putriku sejak minggu lalu sering mengeluarkan suara seperti tercekik, dan napasnya kadang berdengking saat tidur. Bagaimana?"
Dalam hati gadis itu membatin, sepertinya itu bukan sesak napas, gejalanya lebih mirip asma. "Baiklah, saya akan meracik ramuannya. Kalau tidak keberatan, nanti bisakah saya memeriksa kondisinya dulu?"
Wanita itu segera mengangguk-angguk penuh harap, "Tentu saja aku tidak keberatan! Bagaimana kalau nanti siang? Apakah kau senggang?"
Gadis itu akhirnya memasukkan dua potong roti gandum bulat dan dua potong roti lapis mentega ke dalam kantong kertas yang disediakan, lantas menyerahkan beberapa keping koin dari kantung bajunya. "Nanti siang tidak masalah, apakah saya hanya perlu datang kemari?"
Sembari menerima koin pembayaran, wanita itu pun tersenyum lebar, "Iya, datanglah kemari saja dan ketuk pintunya. Aku pasti ada di rumah saat siang hari, terima kasih!"
Setelah melipat ujung kantong kertasnya, gadis itu melangkah mundur dengan anggukan sopan, "Sama-sama, Nyonya. Sampai jumpa siang nanti,"
Mendadak teringat satu hal, wanita penjual roti itu lekas berseru sebelum gadis di hadapannya terlanjur berjalan terlalu jauh, "Tunggu, gadis kecil! Siapa namamu?"
Gadis itu menghentikan langkahnya, berbalik kembali dengan seulas senyum kecil. "Louve, Nyonya. Panggil saja begitu."
Lalu, gadis itu kembali melanjutkan langkahnya di sela-sela keramaian yang mulai menghangat diterpa cahaya mentari pagi-yang juga menghangatkan hatinya karena mendapat pesanan. Bukan uang yang diincarnya, tetapi dirinya merasa berguna ketika orang lain meminta bantuan padanya. Membuatnya dapat menutup luka rasa bersalah masa lalunya yang masih setia mengintai, yang akan menghujamkan cakar-cakar derita di setiap celah kelengahannya.
Bicara tentang kelengahan, barulah gadis itu sadar ia telah lengah dari kewaspadaan awalnya ketika ia merasakan sebelah bahunya ditarik dari belakang. Membuat tubuhnya yang tidak siap berbalik sepenuhnya pada si pencegat.
Seketika, kedua mata gadis itu melebar menyadari siapa yang menarik bahunya. Tepat di depannya, masih dengan sebelah tangan menahan bahunya, seorang pemuda yang cukup tinggi hingga kepala gadis itu hanya sampai sejajar bahu pemuda itu telah menguncinya dalam tatapan intens iris hazel pemuda itu. Rambut cokelat gelapnya yang agak ikal menyentuh tengkuk, membingkai wajah kokoh pemuda itu yang terdapat sebuah plester luka putih di pipinya.
Dia adalah pemburu yang semalam berhasil memanahnya. []
#Silakan berikan vote & comment untuk mengapresiasi chapter ini jika kalian menyukainya :)
#BLPWritingMarathon.Arigato,
A/Z.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aratales
FantasySelamat datang di Aratales; hutan di mana sejuta mitos yang turun-temurun dikisahkan bersemanyam. Mari mendekat, dengarkan kisah nomor satu jika kita bicarakan Hutan Aratales--apa lagi kalau bukan sang Penunggu Hutan? Siluman serigala yang konon sen...