1-Mitos-Mitos yang Berlebihan

69 8 4
                                    

Kala gelapnya malam menelan keramaian kota, menyalakan lentera-lentera di depan rumah para warga seiring rembulan dan bintang-bintang yang bertabur di angkasa, pepohonan di hutan bergoyang tertiup hembusan angin. Semilir angin malam itu tidak hanya menyibak dedaunan yang hijaunya tertutup karena bayang, melainkan juga menyibak lembut rambut perak seorang gadis yang baru saja melangkah masuk menyelip ke dalam barisan pohon. Seolah tidak gentar oleh ranting-ranting pohon yang bercabang bagai jari-jari raksasa yang siap menyambar—karena memang gadis itu tahu, mitos hidupnya pohon-pohon hutan di malam hari itu hanya dongeng agar anak kecil tidak berkeliaran ke hutan saat waktu tidur.

Ada banyak lagi mitos yang diceritakan turun-temurun di Kota Woodise, yang terkadang beberapanya bercabang menjadi versi-versi yang lama-lama semakin tidak masuk akal, tetapi tetap dipercayai mentah-mentah. Seperti mitos burung hantu raksasa pemakan anak-anak yang nakal, ular berkepala dua yang menyusuri sungai setiap senja, pohon pengetahuan yang hanya menampakkan diri pada orang-orang bijak, atau mitos tentang siluman serigala putih penunggu hutan yang senang merayu orang-orang agar menjadi mangsanya.

Padahal, gadis itu tahu betul burung hantu raksasa yang katanya pemakan anak-anak nakal itu sebenarnya lebih suka memakan kue cokelat yang sering bertengger di saku anak-anak.

Padahal, gadis itu tahu betul ular yang katanya berenang dari hulu ke hilir sungai tiap senja itu sebenarnya bukan kepalanya yang dua, melainkan matanya yang empat sewarna batu ruby.

Padahal, gadis itu tahu betul pohon pengetahuan yang katanya hanya menampakkan diri kepada orang-orang bijak itu sebenarnya selalu menampakkan diri kepada semua orang, tetapi tidak ada yang cukup jeli untuk menyadarinya yang selalu berpindah-pindah posisi di antara teman-temannya.

Gadis itu juga tahu betul, bahwa siluman serigala putih penunggu hutan itu tidak pernah merayu orang-orang untuk menjadi memasuki hutan dan menjadi mangsanya. Siluman serigala itu juga tidak menghabiskan seluruh waktunya menunggui hutan—di siang hari, siluman serigala itu akan menyamar menjadi seorang gadis untuk memantau kota. Sebab, siluman serigala itu juga mengemban tugas melindungi Kota Woodise.

Tetapi entah mengapa, entah siapa, entah sejak kapan, rumor bahwa siluman serigala penunggu hutan itu senang memakan orang—terutama para pemburu yang terlalu jauh mengusik wilayahnya—lah yang tersebar. Padahal, justru siluman serigala itulah yang membantu para pemburu yang tersesat untuk menemukan jalan keluar.

Gadis itu sangat mengetahuinya, sebab dia sendirilah siluman serigala putih itu.

***

Srek.

Gadis itu terkesiap begitu pendengaran tajamnya menangkap bunyi gemerisik semak yang disibak oleh langkah kaki manusia. Untuk menghindari kecurigaan dan pertanyaan apa yang dilakukan seorang gadis sepertinya sendirian di tengah hutan malam-malam, maka gadis itu merundukkan tubuhnya di balik batu besar yang sebelumnya menjadi tempatnya duduk. Meletakkan wadah airnya yang isinya tinggal setengah, ia menopang tubuhnya di atas kedua telapak tangannya yang segaris lurus dengan kedua lututnya di atas rerumputan.

Seolah terpanggil, angin malam kembali berhembus. Kali ini semilirnya menelusuri rambut perak gadis itu yang perlahan-lahan menyatu menjadi bulu-bulu tebal berwarna putih di sekujur tubuhnya. Kedua tangannya yang mungil tertutupi bulu seiring kukunya yang meruncing menjadi cakar. Kakinya tertekuk menyusut, menjadi sepasang kaki belakang karnivora yang kokoh dengan ekor seputih saljunya yang terbelai angin lembut. Sepasang telinga segitiga runcing mencuat di sisi kepalanya, matanya yang terbuka menampakkan iris biru terang berpupil tajam bersamaan sempurnanya perubahan wujud serigalanya.

Perlahan dan waspada, gadis yang telah berubah menjadi seekor serigala putih setinggi lutut manusia dewasa itu melongok keluar dari balik batu. Mata tajamnya mengawasi setiap pergerakan yang bukan disebabkan oleh hembusan angin, telinganya bergerak-gerak berusaha menyaring suara mencurigakan di antara suara-suara serangga malam dan hewan nokturnal, pun hidung tajamnya mengendus udara untuk melacak aroma yang tidak seharusnya ada.

Manusia, batinnya bergema menambah kewaspadaannya, cuma satu orang, tidak jauh dari sini—tapi terlalu dalam untuk orang yang tersesat. Walau begitu, keempat kakinya tetap melaangkah keluar untuk menghampiri aroma manusia yang diendusnya itu. Sebab sudah kewajibannya untuk tidak membiarkan seorang manusia mati di hutan penjagaannya.

Srek.

Telinganya berkedut mendengar langkah yang sama. Menyadari hawa keberadaannya yang semakin dekat, gadis serigala itu memutuskan menipiskan hawa keberadaannya sendiri—nyaris menjadi tak terlihat, berkat kemampuan yang dimilikinya sebagai siluman serigala—sekaligus bersembunyi di balik semak.

Dari balik semak, dilihatnya sesosok manusia melangkah keluar dari deretan pohon. Dalam remang lentera kecil di sebelah tangan sosok itu, penglihatan gadis serigala itu tetap tajam untuk mengenali busur yang tergenggam siaga di tangan kanan sosok manusia yang rupanya masih seorang pemuda itu. Juga tabung anak panah yang tersampir di punggungnya, tas buruan, serta pisau yang tersangkut di ikat pinggangnya. Pemburu? Gadis itu mengira, apakah dia tidak mendengar pantangan untuk tidak berburu ke jantung hutan di malam hari? Tidak terlihat seperti sedang tersesat—apakah dia pemburu dari luar kota?

"Siapa?!"

Gadis serigala itu mematung mendengar gelegar suara si pemburu yang tiba-tiba menoleh tepat ke arahnya dengan sebatang anak panah siap dilentingkan di busurnya. Dilihat dari insting pemuda itu yang cukup tajam untuk menyadari dirinya sedang diawasi, gadis serigala itu tahu dia adalah pemburu yang cukup handal. Tetapi selama gadis itu memakai kekuatannya untuk menipiskan hawa keberadaannya, manusia tak akan bisa melihat dirinya—

Swish!

Gadis serigala itu mematung merasakan anak panah membelah angin dengan cepat, tepat menggores kumisnya secepat kilat. Karena terkejut dan refleks melindungi diri, gadis serigala itu memundurkan langkahnya hingga gemerisik semak terdengar—yang pastinya membuat si pemburu benar-benar melihat posisinya.

Dan tak perlu menunggu lebih lama lagi bagi gadis itu untuk merasakan anak panah yang kembali memelesat padanya—yang kembali meleset. Tetapi jelas bukan untung, gadis itu tahu betul si pemburu tidak membidiknya maksimal karena hanya refleks awal melesatkan anak panah pada objek yang bergerak. Selanjutnya, tidak akan ada lagi bidikan sekedar refleks.

Lari!

Tanpa perlu berteriak lebih keras pada keempat kakinya, wujud serigala gadis itu telah berderap menginjak rerumputan, menyibak semak, dan menyelipkan diri di deretan pepohonan secepat kilat. Pilihannya hanya lari sejauh-jauh dan secepat-cepatnya demi bertahan hidup untuk tetap melanjutkan kewajibannya, dirinya tak bisa melawan—atau lebih tepatnya tidak diperbolehkan melawan—sekalipun wujudnya adalah seekor serigala. Pantang hukumnya sebagai sang penunggu hutan.

Bagaimana bisa dia melihatku? Tidak ada manusia yang bisa melihat wujud siluman dibalik selaput penipisan hawa keberadaan!

Ketika benaknya tengah sibuk mencari kemungkinan jawaban di sela-sela deru napas dan derap langkah kakinya, instingnya tidak bekerja dengan baik untuk menyadari suara angin terbelah yang tertuju padanya. Detik selanjutnya, ia merasakan sengatan rasa sakit menusuk lipatan kaki depannya. []

•Silakan berikan vote & comment untuk mengapresiasi chapter ini jika kalian menyukainya :)
#BLPWritingMarathon.

Arigato~,

A/Z.

AratalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang