2-Aristaeus

34 8 6
                                    

Awalnya, Aristaeus hanya ingin pulang kembali ke kota kelahirannya—yang tak pernah sempat ia kunjungi sejak tujuh tahun lalu kedua orangtuanya harus pindah rumah ke seberang pulau demi merawat sang nenek yang mendadak jatuh sakit. Saat itu tak ada saudara yang lebih dekat untuk menemani, maka ayahnya-lah yang mengajukan diri. Padahal di umur Aristaeus yang baru dua belas tahun saja ia sudah tahu, bahwa paman-paman dan bibi-bibinya hanya beralasan saja karena malas meluangkan waktu merawat seorang wanita tua sakit-sakitan di saat sibuk menumpuk pundi-pundi harta.

Sekarang Aristaeus sudah cukup dewasa untuk tidak mengungkit-ungkit kepindahan mendadaknya ketika kakinya kembali menjejak tanah kelahiran yang dirindukannya. Banyak yang berubah dari Kota Woodise tujuh tahun lalu, tentunya. Tetapi beberapa masih bertahan, seperti ingatan beberapa warga kota yang menyambut ketukan Aristaeus di pintu rumah mereka dengan ramah dan antusias.

Tetapi sepertinya Aristaeus belum diizinkan bernostalgia dengan tenang di kepulangan pertamanya ini. Perbincangan seorang tetangganya tujuh tahun lalu yang mengundang Aristaeus makan malam di rumahnya tentang seekor serigala raksasa di dalam hutan Aratales yang belakangan ini meresahkan warga, sukses merebut fokus dan simpati pemuda itu.

Menurut Wliom—pria paruh baya tetangganya itu—serigala raksasa itu berwarna seputih salju dan selalu bersembunyi dalam gelapnya malam dan rimbunnya semak. Ketika semua orang terlelap, ia terbangun, melolong panjang dan melengking seolah mengumumkan kedatangannya. Untungnya, belum ada korban karena pihak keamanan kota sigap memperketat diri. Tetapi Wilom yang termasuk sukarelawan keamanan kota itu berkata, hampir setiap malam ia dan teman-temannya melihat siluet serigala putih yang mengintai dari baris pepohonan batas hutan. Siapa yang tidak resah dengan tatapan laparnya tiap malam yang berkilat sebiru telaga itu?

Maka, Aristaeus yang pada dasarnya tak bisa mengabaikan kesusahan orang lain—terlebih yang terbilang dekat dengannya—itu segera menyandang busur, menyelempangkan tabung anak panahnya dan menyarungkan pisau pendek di ikat pinggangnya untuk jaga-jaga. Berangkat seorang diri menembus sepi dan gelapnya malam, melewati rimbun pepohonan yang ranting-rantingnya terjulur seolah siap menyambar dirinya kapan saja, bertekad mencari serigala itu dan memastikan apakah keberadaannya sungguh menjadi ancaman bagi warga kota.

Jika iya, maka pemuda itu tak akan ragu mengangkat busurnya untuk melesatkan anak panah pada serigala itu.

Ketika langkahnya semakin masuk dalam menyibak semak-semak hutan, semakin waspada pula genggaman siaganya pada busur di tangannya. Hingga pemuda itu sampai pada area lapang kecil—yang diduganya sebagai jantung hutan, saat itulah instingnya seolah tersengat. Instingnya sebagai pemburu terlatih selama bertahun-tahun membuatnya sadar ada sesuatu yang tengah mengamatinya selain dari hewan-hewan nokturnal hutan biasa—yang memang sudah mengawasinya sejak masuk hutan.

Ada sesuatu yang lain, pikirnya, tapi apa?

"Siapa?!" Aristaeus refleks berteriak mengancam sekaligus dengan anak panahnya yang teracung ketika merasakan hawa tatapan itu semakin kuat mengawasinya. Firasat pemuda itu mengendus sesuatu yang aneh; jika itu hewan buas yang sedang butuh makan malam, kenapa dia hanya mengawasi? Apakah sedang menunggu kawan-kawannya berkumpul untuk mengepung?

Kalau benar, maka Aristaeus seharusnya tidak berdiam diri saja.

Mendadak, hanya selintas dan samar terombang-ambing di antara firasat kewaspadaannya yang berlebihan dengan penglihatan jelinya yang hanya mengandalkan pendar lentera kecilnya, pemuda itu melihat siluet berbulu putih di balik semak-semak. Tingginya yang menyiratkan bahwa siluet itu adalah makhluk berkaki empat langsung memantik kewaspadaaan Aristaeus menyentuh batas maksimal atas kemungkinan bahwa mungkin saja itu seekor karnivora yang sedang mengincarnya untuk santap malam.

Bermodal insting waspada yang haus akan kepastian, maka ia melesatkan anak panahnya, berdesing membelah angin, lajunya terganggu kecil karena menggores sesuatu yang nyaris tak kasat mata sebelum menancap di rerumputan.

Jantung Aristaeus memompakan kewaspadaannya kian cepat begitu mendengar suara rumput terinjak. Juga gerakan semak yang jelas bukan karena angin, sebab bulu putih seekor karnivora jelas terlihat di baliknya dengan ukuran yang tak bisa diremehkan. Anak panah pemuda itu kembali teracung—menerapkan ajaran sang ayah untuk memancing buruan keluar dari persembunyiannya selekas mungkin—meski lagi-lagi meleset, setidaknya itu cukup membuat matanya melihat dengan jelas sosok seekor serigala putih yang keluar dari semak-semak.

Serigala raksasa berbulu seputih salju.

Teringat tujuan awalnya menyibak hutan tengah malam, maka Aristaeus turut memacu langkahnya mengejar ketika serigala itu berlari menjauh, menyelip deretan pepohonan. Meski benaknya sontak dibanjiri keheranan mengapa karnivora itu justru melarikan diri padahal biasanya hewan buas akan langsung menerjang saat diusik mangsanya duluan, Aristaeus tak kehilangan fokus untuk membidik sembari mencari sudut dan jarak yang ideal. Berniat memperlambat targetnya melarikan diri, maka pemuda itu melesatkan anak panahnya pada kaki serigala itu.

Jleb!

Tepat sasaran! Aristaeus bersyukur bakatnya berburu tak langsung menghilang hanya karena dijauhkan dari busurnya selama perjalanan pulang kampung. Pemuda itu melangkah hati-hati, menggunakan tangannya untuk menyingkirkan ranting pohon rendah yang melintang di depannya. Selepas pandangannya tidak terhalang apapun, dengan bantuan lentera yang diacungkan, Aristaeus melihatnya—seekor serigala yang tergeletak dengan darah merah yang kontras dengan bulu putihnya dari tancapan sebatang anak panah di kaki depan kanannya.

Lalu, mendadak pemuda itu tersilaukan oleh kerlip cahaya seperti kunang-kunang berwarna biru—namun tak membuatnya menutup mata sedetik pun dari buruannya. Ketika kerlip-kerlip cahaya biru itu menyusut, Aristaeus terkesiap menyadari serigala besar berbulu putih itu tak terlihat lagi. Pemuda itu hampir bertanya-tanya kapan kiranya ia lengah, tetapi ketika kerlip cahaya kunang-kunang itu semakin mengabur, ia melihatnya.

Bukan lagi seekor serigala putih. Seorang gadis. Rambutnya yang berantakan sewarna cahaya rembulan. Jubahnya kusam dan koyak di beberapa tempat, tetapi yang paling mencolok adalah sobek di bagian lengan kanannya di mana sebatang anak panah tertancap di sana berlumur darah merah—

Pikiran Aristaeus masih sibuk memproses kejadian yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri itu, sehingga tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak menyusul derap langkah gadis berambut putih keperakan itu yang menghilang dalam rimbun dan gelapnya malam.

Seekor serigala raksasa ... baru saja berubah menjadi seorang gadis?

Aristaeus kini berharap seseorang ada di sampingnya untuk mencubitnya kuat-kuat, membangunkannya dari mimpi di tengah malam. []

#Silakan berikan vote & comment untuk mengapresiasi chapter ini jika kalian menyukainya :)
#BLPWritingMarathon.

Arigato,

A/Z.

AratalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang