Aji : Awal Kenal

1.1K 158 39
                                    

"Yas, ini Aji... anak ibu yang paling kecil."  Itu awal perkenalan Aji dengan Tyas, terjadi dikamar ibu tepat saat adzan magrib baru usai. Aji mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh perempuan berkacamata yang ada di hadapannya.

"Aji."

"Tyas." Hanya sesingkat itu. Tapi mampu menggelitik hati Aji Tanu Atmaja yang telah mati. Perempuan bernama Tyas ini adalah perempuan berperawakan semampai dengan tubuh ramping dan rambut hitam dengan sedikit ikal diujungnya, penampilannya bukan tipe yang neko-neko. Biasa saja, tapi justru menjadi daya tarik yang tidak mampu didustakan. Aji bahkan mengakuinya sejak pertemuan pertamanya di beranda rumah minggu lalu. Tyas sudah lama menjadi dokter pribadi dari Bu Atmaja tapi ia baru dua kali itu bertemu dengan si putra bungsu.

"Gimana Yas? Anak ibu lumayan to?"

Perempuan yang masih memegang stetoskop itu tersenyum kecil, mengangguk lirih karena pada dasarnya ia tidak yakin. Ia dan laki-laki bernama Aji itu baru bertemu dua kali, yang pertama di beranda rumah bernuansa jati ini dan yang kedua sekaligus perkenalan pertama mereka yang terjadi dikamar ini, tentu itu bukan dasar yang bagus untuk beranggapan bahwa anak bungsu pasiennya ini pantas dikatakan lumayan.

"Ibu tu udah capek nyariin dia calon istri, semuanya ngga ada yang cocok... Mbak-mbaknya juga udah ngenalin dia sama ini itu tapi ngga pernah jadi..." Ujar ibu dengan nada putus asa yang kentara. Walaupun Tyas itu bukan seorang yang peka, tapi tanpa peka pun ia tau kemana percakapan ini akan bermuara, selalu seperti itu hingga Tyas hapal.

"Kamu ngga tertarik sama anak ibu Yas?" Tyas berkata dalam hati.

"Kamu ngga tertarik sama anak ibu Yas?" 100% akurat. Dan setiap kali pasiennya ini menanyakan hal yang sama, setiap itu pula kepala Tyas rasanya ingin meledak. Memikirkan apa kata-kata yang tepat untuk menjawab ibu berusia enam puluh tahun ini.

"Saya belum tertarik buat menjalin hubungan bu." Lagi-lagi itu yang keluar dari bibir tipis yang dipoles dengan warna pink ceri itu, padahal Tyas sadar usianya sudah sangat amat matang untuk menjadi seorang istri bahkan seorang ibu. Dan ibu yang duduk selonjoran diatas tempat tidur di hadapannya ini seketika tersenyum maklum.

'Pelan-pelan, toh nanti juga bakal nyantol.'

Tyas dengan cekatan memasukkan semua alatnya ke dalam tas, stetoskop, sfigmomanometer dan juga lembar jurnal pasien. Jarum pendek dijam tangannya sudah menunjukkan pukul delapan, ia sudah punya janji dengan salah satu sahabatnya. Jadi ia bergegas pamit atau dirinya akan terjebak dengan obrolan pasiennya ini tentang anak bungsunya yang Tyas dengar-dengar seorang du to the da. Yap! Duda tepatnya Duren alias Duda Keren. Tyas jadi penasaran siapa kira-kira yang pertama kali mencetuskan singkatan -Duren- itu.

"Yas, pamit ya bu, ibu jangan makan sembarangan, inget ibu kan harus diet gula dan jangan stress terus obatnya harus diminum sesuai jadwal." Ocehnya lalu berdiri dari duduk dan mengusap lengan sang pasien

"Kalo ndak diminum, Yas ndak mau jadi dokternya ibu lho yaa..."

"Yaudah jadi mantu ibu aja gimanaaa?" Astagaaa nagaa! Tyas jadi tambah pengen cepetan kabur dari kamar ini.

"Yeee... ibu ngaco ah." Tyas membuka pintu kamar bebarengan dengan seseorang yang mendorong daun pintu itu dari luar. Pelakunya adalah yang sejak tadi menjadi objek dari cerita ibu. Yup! Si satu-satunya anak lanang-nya ibu. Bungsu dari keluarga Atmaja.

The DurenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang