Mimpi Dita

6 1 0
                                    

Semburat jingga memayungi semesta, menyambut rembulan setelah sang surya kembali keperaduan. Cahaya keemasan menjadi lukisan alam yang terbentuk dari kemurnian.  Menyongsong malam yang dipenuhi dengan kegelapan. Selayaknya sepasang manusia yang saling berhadapan tanpa sepatah kata ucapan.

Dari kejauhan di balik gersang, menjadi tempat kisah awal mula segalanya terjadi.
“Izinkan Aku bersamamu,” pintanya dengan sudut netra meneteskan air mata.
Langkahnya semakin menjauh mengabaikan pinta yang terucap nelangsa. Juga, telah meninggalkan sederet luka yang mendiami jiwa.

Dia, semakin tergugu di bawah langit yang mulai temaram. Jiwanya melepuh, hancur menyisakan kenangan yang melintas sebagai angan. Perasaan murni yang ia berikan dengan percuma, terbalas duka lara. Tertatih langkahnya menuju jurang kehampaan. Tiada lagi harapan, semuanya hancur tanpa menyisakan kebahagiaan.
“Biarkan aku memilih jalan ini!”
Dia terjatuh, memilih pergi untuk selamanya meninggalkan duka menghantamkan raganya kedasar jurang yanga tajam.

“Astagfirullah.” Dita mengusap kedua mata yang masih berair. Ia baru saja bermimpi buruk, sama seperti malam-malam sebelumnya.

Dita meminum air yang ia tuang tergesa-gesa. Peluh didahi ia seka dengan telapak. Ia segera mengambil wudu, menyucikan diri agar lebih tenang menghadap Sang Ilahi. Tekanan dan kebingunan yang datang secara tiba-tiba membuat pikirannya dipenuhi banyak masalah. Dengan mengadu kepada Sang Pencipta, meminta kemudahan dan petunjuk atas segala yang menderanya selama ini.

Keheningan malam mengantarkan Dita bersama munajat yang panjang. Pinta yang selalu terucap dari lisan setiap selesai salat, selalu ia ulang-ulang. Dengan berharap semuanya agar segera terkabulkan, menjadi nyata sekaligus pelipur lara bagi ia dan kedua orang tua.

***

Bangunan kokoh berwarna hijau berjejer mengelilingi indra penglihatan Dita. Ia melangkah melewati gerbang hitam menuju salah satu bangunan, yaitu ruang  guru. Dita merupakan salah satu staf pengajar di sekolah tersebut. Lebih dari tiga tahun, ia menjadi seorang guru bahasa Indonesia. Berbekal lulusan Strata 1 di universitas negeri yang ada di kota.

“Assalamualaikum,” sapa Dita, seraya melangkah menuju tempat duduknya.

Terdengar dari beberapa guru menjawab salamnya, “Waalaikumsalam.”

Dita mulai menekuni buku bacaan yang ia bawa dari rumah. Sembari menunggu waktu mengajar, ia menyibukkan diri dengan membaca. Jam telah menunjukkan pukul 08.38 Wib, sebentar lagi ia harus masuk ke kelas.

“Assalamualaikum, permisi. Bu Dita dicari Pak Hadi,” ungkap salah satu guru diambang pintu.

“Terima Kasih, Pak.” Dita segera berdiri, memenuhi Panggilan Pak Hadi yang merupakan kepala sekolah.

Koridor sekolah tampak lengang dari hiruk pikuk siswa, karena jam pelajaran masih berlangsung. Terdengar sorak-sorai dari arah lapangan yang berada di belakang ruang kelas. Siswa-siswa tersebut sedang menikmati terik matahari, dimana pelajaran olah raga sedang berlangsung.
Langkah Dita telah sampai di depan ruangan kepala sekolah. Ia segera mengetuk pintu dan mengucap salam seraya berkata “Bapak, memanggil saya?”
“Silahkan duduk, Dit,” pintanya.

Pak Hadi masih berkutat dengan laptop, membiarkan Dita dengan kecanggungannya. Padahal sebentar lagi ia ada jam mengajar, bagaimana jika telat? Ujar batinnya.

“Begini Dit, ada yang menanyakanmu. Apakah kamu bersedia taaruf denganya?"
Dita terdiam, menundukkan kepala antara bingung dan malu. Sedangkan Pak Hadi terdengar tertawa cekikikan melihat tingkahnya.

“Bagaimana Dit?” ulang, Pak Hadi.

“Saya ... lebih baik Bapak berbicara langsung dengan kedua orang tua Saya,” Sedikit terbata, Dita bersuara.

“Baiklah akan Saya sampaikan,” ujar Pak Hadi, mengakhiri pembicaraan.

Dita segera pamit, meninggalkan ruangan Pak Hadi beserta rasa penasaran yang mulai bercokol dibenaknya.

Lebih lima tahun, Dita menunggu datangnya hari ini. Setelah menyelesaikan studi strata 1 ia memilih pulang ke kampung halaman. Mengabdi menjadi seorang guru dengan memperbaiki niat guna mengharap Ridlo-Nya. Dita adalah wanita yang melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi di kota. Bisa dikatakan, ia adalah satu-satunya. Dita tergolong siswa pintar sewaktu masih di Sekolah Menengah Atas dan termasuk jajaran yang memiliki orang tua mampu dalam perekonomian. Sehingga ia memilih meneruskan cita-cita dari pada menikah muda.

***

Selepas salat malam, Dita memilih mendengar tilawah dari seorang hafizah yang terdengar merdu dan fasih. Sambil menyelami setiap kalimat, ia memejamkan mata merenungi segala kejadian yang menimpanya semenjak lulus kuliah. Pembicaraan para tetangga yang menganggapnya terlalu berlebihan dalam mencari ilmu. Serta, menyebarkan berita yang terdengar buruk tentang dirinya.
Padahal, Dita hanya ingin mengenyam pendidikan yang lebih tinggi sebelum menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya kelak. Ia ingin membanggakan kedua orang tua dan seluruh keluarga, tak terkecuali bagi lingkungan sekitar yang masih asing dengan wanita berpendidikan tinggi. Karena ia tinggal di desa yang masih kental dengan pernikahan usia dini.

[Ami Lila: Assalamualaikum, Dita. Bagaimana kabarmu?]

Dita melengkungkan kedua sudut bibirnya ke atas. Menerima pesan dari salah satu sahabatnya yang sudah menikah dan mempunyai dua orang anak.

[Dita Khairunnisa: Waalaikumsalam, Lila. Alhamdulillah, Baik. bagaimana denganmu?]

Dita balik bertanya, menumpahkan segala kerinduan yang sudah lebih dua tahun tidak berjumpa. Terakhir kali ia bertemu dengan para sahabatnya, ketika reuni tiga tahun lalu yang berada di kecamatan sebelah. Setelah itu ia tidak bisa datang, karena terkendala dengan jarak yang terlalu jauh.

Tak terasa adzan subuh telah berkumandang, memanggil para manusia yang masih terlelap di dalam tidurnya. Air membasahi kulit Dita, membawa kedinginan yang semakin kentara. Ia bergegas memakai mukena, lalu melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba bersama kedua orang tua. Bapaknya menjadi imam sedang ia dan sang ibu sebagai makmum.

“Nak, tolong ambilkan kue lapis di rumah Bu Tatik. Uangnya ada dilaci dapur,” ucap sang Ibu berlalu dari hadapan Dita setelah meletakkan mukenah di atas gantungan baju.

“Iya, Bu.”

Dita segera bergegas memakai jilbab setelah membersihkan kamar tidur. Ia mengambil uang dan langsung keluar menjalani perintah dari sang Ibu.
Awan mengiringi langkahnya pagi ini, bertepatan hari libur. Pria yang mengajak Dita bertaaruf, akan bersilaturahmi membawa serta keluarganya. Ia belum tahu siapa pemuda tersebut. Dita pasrah kepada kuasa-Nya, semoga ini menjadi jalan yang terbaik. Segala pil pahit telah ia telan selama ini untuk membahagiakan kedua orang tua.

Sang surya telah terpancar sempurna melingkupi dunia yang dipenuhi beraneka macam peristiwa. Dari sukacita hingga duka lara, semua ikut berputar mengikuti poros kehidupan. Harapan-harapan yang terucap dalam doa, kini menjadi kenyataan memberikan kebagaiaan yang tak terkira. Senyum yang terkembang adalah tanda bahwa janji Tuhan benar-benar nyata.

Dita kembali tersenyum mendengar cerita Lila yang telah berada di dalam kamarnya, bersama satu anak kecil yang masih setia dia gendong. Lila tertawa menggoda Dita yang tampak tersipu dihadapan sang sahabat tersebut. Dita berkali-kali mengucap syukur, melafalkan Asma-Nya di dalam jiwa.

“Dit, awalnya Aku enggak nyangka juga kalau Abang pengen taaruf sama kamu. Ya udah, langsung Aku suruh lamar saja. Dia langsung setuju,” ujarnya retorika.
Rahman Ramadhan, seorang pria yang telah datang meminang Dita. Kakak dari sahabatnya sendiri yaitu Lila. Ia tak pernah kenal dengan pria tersebut, ternyata takdir-Nya benar-benar sempurna.

Berawal dari permintaan Ramadhan yang ingin mencari seorang pendamping setelah ia menuntaskan pendidikan strata 3. Dari situlah ia mulai meminta pendapat para saudaranya yang sudah berkeluarga. Dan jika berkenan, Ramadhan meminta pertolongan mereka. Dari semua tawaran yang datang kepadanya, ternyata yang mendiami jiwanya adalah Dita Khairunnisa.

Mimpi yang menghantui Dita, kini terkuak ternyata dialah orangnya.
 

 

SEBUAH HARAPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang